Misa Tridentina atau selanjutnya disebut sebagai Misa Forma Extraordinaria mengambil nama dari Konsili Trente (1545-1563) yang membuat sedikit penyesuaian dari ritus Roma. Secara garis besar, Misa Tridentina tidaklah memasukkan praktek baru yang berbeda dari tradisi penyembahan yang telah berlangsung secara organik di Roma dan negara-negara Eropa sejak tahun 300-an. Oleh karena itu, misa ini lebih tepat disebut sebagai ritus Tradisional Roma. Liturgi Tridentina sendiri termasuk ke dalam edisi 1570-1962 di Roman Missal, berdasarkan Bulla Quo Primum oleh Paus Pius V.
Misa Forma Extraordinaria sendiri disajikan dalam bentuk bahasa Latin. Awalnya misa ini disebarkan oleh para rasul dan misionaris Kristen perdana di seluruh kekaisaran Roma. Bahasa kekaisaran Roma yang umum adalah bahasa Latin. Namun di bagian Timur, bahasa Yunani adalah bahasa vernacular (bahasa pribumi). Karena itu dalam Ritus Roma, bahasa Yunani dan Latin dipakai sebagai bahasa liturgis atau bahasa pemersatu walau pada akhirnya bahasa Latin dipergunakan lebih intensif sementara beberapa penggunaan bahasa Yunani masih dipelihara hingga saat ini. Secara konsisten, para paus telah mengajarkan bahwa bahasa Latin memiliki kualitas spesial sebagai bahasa pemujaan dalam ritus Roma karena bahasa latin memberikan identitas umum dengan nenek moyang kita dalam iman. Bahasa Latin juga disebut sebagai simbol universalitas yang tampak dan kesatuan Gereja yang membantu mmelihara ikatan kesatuan dengan pusat umum gereja kita, yaitu Roma, “Ibu dan Guru segala bangsa”.
Konsili Vatikan II mendeklarasikan dalam bubungannya dengan semua ritus liturgis yang disetujui pada waktu itu, bahwa Gereja memiliki keinginan untuk memelihara mereka. Gereja juga melestarikan ritus-ritus liturgis di masa depan dan perkembangannya dalam setiap jalan (Sacrosanctum Concilium, #4). Ritus Roma yang baru diumumkan secara resmi setelah Konsili Vatikan II oleh Paus Paulus VI (Forma Ordinaria), yang sekarang digunakan pada umumnya. Tapi Liturgi Latin Kuno (Forma Extraordinaria), yang tetap digunakan dan dengan sepenuhnya disetujui oleh Supreme Pontiff. Selama Konsili Vatikan II edisi Missale Romanum 1962 dipublikasikan, yang adalah Missal yang masih digunakan sekarang untuk perayaan Misa Latin Tradisional.
Hari minggu kedua prapaskah lalu, Misa Tradisional Tridentine atau Forma Extraordinaria dilaksanakan di Gedung Pusat Pastoral Keuskupan Agung Pontianak dipimpin langsung oleh Uskup Emeritus Mgr. Hieronimus Bumbun, OFMCap. Misa dari awal dibawakan dengan penuh hikmat dengan menggunakan bahasa latin hingga misa berlangsung. Koor yang sangat indah yang dibawakan oleh Paduan Suara Gli Angeli Cantano Choirs dengan bahasa latin pula. Beberapa umat ikut serta melalui undangan yang disebar melalui jejaring sosial. Di kalangan awam, misa Tridentine begitu kurang populer karena sudah lama praktik misa Latin ini tidak digiatkan kembali. Namun melalui komunitas Misa Latin, maka misa Extraordinaria dapat dinikmati kembali. “Misa Extraordinaria bukan berarti luar biasa karena ditambahkan sesuatu, tetapi misa ini sudah jarang dilakukan di berbagai tempat,” tukas salah satu penggiat gerakan Misa Latin Tradisional, Saudara Viktor menjelaskan kepada umat sebelum pembukaan misa. Atas inisiatif Paus Benediktus XVI mengamanatkan untuk mengijinkan pengadaan misa tradisional tanpa izin Uskup setempat. Sehingga saat ini, tradisi yang sangat berharga ini boleh dinikmati oleh umat di manapun dan oleh siapapun. Yang menarik di sini adalah tradisi “Mantila” yang merupakan ciri khas wanita Katolik di masa silam yang berdoa dengan menutup kepalanya. Meskipun dalam Konsili Vatikan II tidak disebutkan lagi penggunaan mantila, sesungguhnya bukan berarti penggunaan Mantila dilarang. Maka dari itu, dalam Misa Forma Ordinaria tidaklah salah jika ada umat yang menggunakan mantila untuk berdoa dalam misa. Namun, pada misa Forma Extraordinaria penggunaan Mantila adalah hal yang wajib sebagai salah satu bagian yang turut dilestarikan. (Sdr. Fransesco Agnes Ranubaya,OFS)
Misa Forma Extraordinaria sendiri disajikan dalam bentuk bahasa Latin. Awalnya misa ini disebarkan oleh para rasul dan misionaris Kristen perdana di seluruh kekaisaran Roma. Bahasa kekaisaran Roma yang umum adalah bahasa Latin. Namun di bagian Timur, bahasa Yunani adalah bahasa vernacular (bahasa pribumi). Karena itu dalam Ritus Roma, bahasa Yunani dan Latin dipakai sebagai bahasa liturgis atau bahasa pemersatu walau pada akhirnya bahasa Latin dipergunakan lebih intensif sementara beberapa penggunaan bahasa Yunani masih dipelihara hingga saat ini. Secara konsisten, para paus telah mengajarkan bahwa bahasa Latin memiliki kualitas spesial sebagai bahasa pemujaan dalam ritus Roma karena bahasa latin memberikan identitas umum dengan nenek moyang kita dalam iman. Bahasa Latin juga disebut sebagai simbol universalitas yang tampak dan kesatuan Gereja yang membantu mmelihara ikatan kesatuan dengan pusat umum gereja kita, yaitu Roma, “Ibu dan Guru segala bangsa”.
Konsili Vatikan II mendeklarasikan dalam bubungannya dengan semua ritus liturgis yang disetujui pada waktu itu, bahwa Gereja memiliki keinginan untuk memelihara mereka. Gereja juga melestarikan ritus-ritus liturgis di masa depan dan perkembangannya dalam setiap jalan (Sacrosanctum Concilium, #4). Ritus Roma yang baru diumumkan secara resmi setelah Konsili Vatikan II oleh Paus Paulus VI (Forma Ordinaria), yang sekarang digunakan pada umumnya. Tapi Liturgi Latin Kuno (Forma Extraordinaria), yang tetap digunakan dan dengan sepenuhnya disetujui oleh Supreme Pontiff. Selama Konsili Vatikan II edisi Missale Romanum 1962 dipublikasikan, yang adalah Missal yang masih digunakan sekarang untuk perayaan Misa Latin Tradisional.
Hari minggu kedua prapaskah lalu, Misa Tradisional Tridentine atau Forma Extraordinaria dilaksanakan di Gedung Pusat Pastoral Keuskupan Agung Pontianak dipimpin langsung oleh Uskup Emeritus Mgr. Hieronimus Bumbun, OFMCap. Misa dari awal dibawakan dengan penuh hikmat dengan menggunakan bahasa latin hingga misa berlangsung. Koor yang sangat indah yang dibawakan oleh Paduan Suara Gli Angeli Cantano Choirs dengan bahasa latin pula. Beberapa umat ikut serta melalui undangan yang disebar melalui jejaring sosial. Di kalangan awam, misa Tridentine begitu kurang populer karena sudah lama praktik misa Latin ini tidak digiatkan kembali. Namun melalui komunitas Misa Latin, maka misa Extraordinaria dapat dinikmati kembali. “Misa Extraordinaria bukan berarti luar biasa karena ditambahkan sesuatu, tetapi misa ini sudah jarang dilakukan di berbagai tempat,” tukas salah satu penggiat gerakan Misa Latin Tradisional, Saudara Viktor menjelaskan kepada umat sebelum pembukaan misa. Atas inisiatif Paus Benediktus XVI mengamanatkan untuk mengijinkan pengadaan misa tradisional tanpa izin Uskup setempat. Sehingga saat ini, tradisi yang sangat berharga ini boleh dinikmati oleh umat di manapun dan oleh siapapun. Yang menarik di sini adalah tradisi “Mantila” yang merupakan ciri khas wanita Katolik di masa silam yang berdoa dengan menutup kepalanya. Meskipun dalam Konsili Vatikan II tidak disebutkan lagi penggunaan mantila, sesungguhnya bukan berarti penggunaan Mantila dilarang. Maka dari itu, dalam Misa Forma Ordinaria tidaklah salah jika ada umat yang menggunakan mantila untuk berdoa dalam misa. Namun, pada misa Forma Extraordinaria penggunaan Mantila adalah hal yang wajib sebagai salah satu bagian yang turut dilestarikan. (Sdr. Fransesco Agnes Ranubaya,OFS)