Ingatanku Di Masa Kecil


Komplek Tanjung Harapan

Di sinilah aku lahir dan tumbuh besar di masa balita. Aku merupakan anak yang aktif dan suka belajar. Biasanya aku mendengar bapak memutar kaset dalam tape lagu-lagu Barat seperti Michael Learn to Rock, The Beetles, Lobo, dan lain-lain. Di masa ini aku senang bermain-main bersama teman-teman sekomplek. Aku ingat sekali bahwa gang tempatku lahir itu cukup sempit dan tidak jauh dari situ ada sebuah sungai di mana orang mencuci baju dan mandi. Suatu ketika, aku dan bapak mandi di sungai. Aku yang masih kecil belum tahu sama sekali berenang. Maka dari itu, bapak menyiapkan sebuah ban dalam karet yang kugunakan untuk berenang. Kebetulan sungai itu cukup dalam. Nah, tidak tahu bagaimana, aku terlepas dari ban yang kupasangkan di lingkar dadaku. Aku akhirnya tenggelam perlahan. Aku ingat betul, saat tenggelam aku melihat ke atas. Di sekelilingku gelap dan di mana-mana ada ranting-ranting pohon. Aku merasa dunia berhenti berputar. Dan tangan bapak berhasil menggapai tanganku dan aku diselamatkan ke atas. Pengalaman tenggelam ini selalu kuingat, bukan membuiatku takut tetapi malah membuat aku semakin tertantang dan mempengaruhi masa dewasaku yang senang sekali berenang. Tuhan begitu baik, jika Dia melalui tangan bapak tidak segera mengangkat aku, akan jadi apanya nasibku? Mungkin aku tidak akan bisa menuliskan kisah ini.

Tetangga kami adalah seorang Cina Tionghoa yang sangat ramah. Aku agak kurang ingat, tetapi aku tahu betul ada seorang teman aku bernama Along selalu bermain di sekitaran komplek itu. Bahkan bapakku selalu mengantar aku ke rumah Along untuk menonton TV. Saat itu, kami belum memiliki sama sekali televisi. Jadi, kami biasanya menonton TV beramai-ramai di rumah Along itu. Aku ingat sekali film favoritku saat itu, film berbau silat: Siluman Ular Putih. Kartun-kartun seperti P-Man, doraemon, dan semuanya masih serba hitam putih. Kadang Along memukul bagian atas televisi jika muncul bercak-bercak pada layar televisi. Tidak seperti zaman sekarang, televisi menggunakan remote. Televisi di zamanku menggunakan tombol analog, diputar seperti tombol radio, dan memiliki antena yang sangat panjang. 

Di rumahku banyak sekali hewan tokek. Hewan ini selalu muncul di atas atap dan memakan tikus. Dan kadang atap rumah berisik, kukira seekor kucing ternyata seekor tokek mengejar tikus. Aku bahkan pernah ditangkapkan bapak satu ekor dan memasukkannya ke dalam toples. Sayangnya tidak bertahan beberapa lama, tokek itu mati. Aku pernah menyentuh tokek dengan badannya yang penuh gerigi dan ketika tanganku digigit tokek, aku menangis tidak karuan. Entah bagaimana, aku menyebut tokek atau cicak itu "tatung". 

Ada hal-hal khas yang bapak lakukan di masa kecilku. Aku ingat di rumah ada sebuah mesin tik yang digunakan bapak untuk bekerja. Mesin tik itu sering aku tekan-tekan karena ingin tahu. Selain itu, bapak juga sering menggendong aku keluar dan mengajarkan bahasa Inggris sederhana seperti buah-buahan, nama hewan, peralatan-peralatan dapur. Sehingga ketika bapak berjumpa dengan tetangga, bapak menanyakan benda-benda itu kepadaku dan aku menjawabnya dengan bahasa Inggris. Apa bahasa inggris Apel? Aku menjawab,"Apple". Begitu salah satu contohnya. Tidak mengherankan, karena bapak adalah guru bahasa Inggris dan yang diajarkan kepadaku tidak jauh dari itu.

Di sini juga aku mengalami musibah. Ketika itu, bapak dan mama memang merupakan pasangan muda. Aku diasuh oleh seorang asisten rumah tangga. Asisten itu masih muda dan sepertinya kurang paham untuk mengasuh bayi. Maka dari itu, ketika bapak sama mama sedang keluar, aku diberi makan cabe oleh asisten itu. Akibatnya, aku mengalami muntaber. Bapak yang sangat marah besar kemudian mengusir asisten tersebut. Aku kemudian dilarikan ke berbagai rumah sakit, tetapi beberapa rumah sakit yang dijumpai itu tidak mau menerimaku karena aku sudah dalam kondisi yang sulit untuk ditolong. Tidak kehilangan akal, bapak mamak kemudian membawaku ke RS Soedarso, dan di sini aku dirawat dengan pertolongan maksimal. Beberapa infus diberikan kepadaku. Aku yang masih sangat kecil itu hanya bisa BAB di tempat, begitu seterusnya sampai suatu ketika aku dinyatakan sembuh. Setiap kali orang yang berbaju putih itu datang kepadaku, aku berusaha untuk bersembunyi karena takut. Ya, setiap kali dokter dan perawat datang, aku tidak berani melihat mereka karena kedatangan mereka selalu membawa suntik. 

Meskipun tidak banyak ingatan yang melekat ketika masa kecil di komplek Tanjung Harapan ini, tetapi sisa-sisa ingatan tersebut memberikan pelajaran bahwa masa kecil yang kualami begitu indah. Terjadi banyak kenangan tentang hal suka dan duka, tidak ada kekurangan kasih sayang dan hidup sederhana. Aku bersyukur dikaruniai kedua orang tua yang penuh kasih sayang.   

Komplek Perumahan Morodadi

Setelah tinggal di Tanjung Harapan, kami pindah kontrakan dan menempati rumah yang tidak jauh dari jalan raya dan gang Morodadi. Di belakang rumah kami ada semacam hutan yang cukup rimbun di mana di dekat situ merupakan tembusan langsung rumah keluarga teman bapak dan mamak yaitu Pak Anem. Kebetulan anaknya, Bang Dudus, Tia dan Tio merupakan temanku. Tia adalah temanku di sekolah di SDN 34 Pontianak Barat. Aku sering berkunjung ke rumah mereka bersama adikku untuk bermain karena rumahnya tidak terlalu jauh. Di depan rumahnya ada sebuah pohon jambu yang seringkali kami panjati untuk kami ambil buahnya dan dimakan bersama. 


Di sini,aku benar-benar ditempa secara ekstra oleh bapak. Aku diajari cara membaca dan sebagai seorang guru, bapak mungkin ingin aku mampu membaca agar bisa segera sekolah. Saat itu umurku masih 5 tahun, tetapi aku dipersiapkan untuk masuk ke kelas 1 SD. Setiap hari aku berlatih membaca. Bapak membelikanku sebuah papan alfabet yang berisi banyak huruf dari A-Z yang nantinya disusun dan kemudian aku harus bisa membaca kata-kata yang disusun dari papan alfabet itu. Jika salah membaca, bapak akan memarahiku. Setiap kali aku salah, aku akan dimarahi dan aku mulai menangis. Di saat menangis, aku akan tambah dimarahi. Dalam beberapa bulan, akhirnya aku bisa membaca dan akhirnya siap untuk memasuki bangku sekolah di SDN 34 Pontianak Barat. 

Kondisi ekonomi kami saat itu terbilang masih sulit. Akhirnya bapak bekerja dari pagi hingga sore. Aku sangat senang ketika bapak pulang, meskipun aku sering dimarahinya. Kadang, bapak membelikanku kue dan aku membaginya dengan adikku, Mery. Bapak sering mengajakku jalan-jalan dengan motor Astrea Legenda warna putihnya. Aku juga ingat sepertinya sebelum motor itu, bapak memiliki motor yang agak antik dengan stang berwarna merah, lampu bulat, depannya berwarna putih dan itu antik sekali. Bapak pernah jatuh dari motor beberapa kali dan aku sendiri tertimpa oleh motor bersamanya. Tetapi bagaimanapun, bapak tidak pernah mengeluh karena sakit itu. 

Kali ini adalah pengalaman yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Suatu ketika, aku dibelikan dua ekor anjing. Anjing ini seperti di film Dalmatians 100 dengan bintik-bintik di badannya. Nama mereka berdua adalah Bobby dan Poppy. Aku sangat bahagia ketika mendapatkan hewan peliharaan untuk pertama kalinya. Setiap kali aku pulang, aku selalu disambut oleh dua ekor anjing kesayanganku ini. Terkadang, aku bermain-main dengan mereka di ruang tamu. Pernah suatu ketika, di depan rumah kami ada sebuah pohon kelapa dan ternyata ada seekor ular kobra di situ. Ketika aku hendak bermain di dekat pohon itu, anjingku ini terus menggonggong dan muncul seekor ular kobra di sekitar pohon itu. Aku berteriak keras sampai masuk ke rumah memberitahukan kepada mama. Ketika kami keluar ular tersebut sudah kabur. 

Aku tidak ingat kapan pastinya kejadian ini, mungkin sekitar kelas 1 SD. Aku pulang sekolah dan melihat orang-orang di rumah sangat ramai. Hanya saja, aku tidak melihat dua kawan bermainku itu (Bobby dan Poppy). Aku mulai memanggil mereka tetapi tidak ada jawaban. Ketika aku bertanya di mana kedua anjingku? "Itu, ada di dalam dandang,"kata mamaku. Aku mengira mama bercanda dan kuulangi pertanyaanku, ketika dibukanya tutup dandang, kulihat tubuh Bobby yang sudah tanpa bulu ada di dalam dandang. Tidak sadar, air mataku menetes. Aku berteriak sekeras-kerasnya dan marah besar. Aku menendang dinding, apapun yang bisa kutendang, mama mencubitku dan aku tidak peduli. Aku masuk kamar dengan rasa patah hati. Hari itu, aku mulai mengenal rasanya menderita karena kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Aku marah, aku kecewa dan aku kesal tiada hentinya. Dalam hatiku bertanya-tanya,"Kenapa? Kenapa? Kenapa?" Hatiku ingin meledak dan beberapa kali aku berteriak. Sejak saat itu, aku berkata dalam hatiku,"Aku tidak akan pernah makan anjing selama-lamanya." Meskipun begitu marah begitu hebat, aku bisa apa? Menangispun tidak akan bisa mengembalikan Bobby. Aku tidak masuk sekolah selama 2 hari dan mogok makan. Aku pada akhirnya mulai keluar dan merasa lapar. Aku bertanya kepada bapak dan mama, Bobby sudah dipotong, lalu ke mana Poppy? Mereka menjawab bahwa Poppy sudah dijual ke orang lain yang ingin memeliharanya. Walaupun rasanya tidak bisa menerima, pada akhirnya aku mencoba untuk keluar dari situasi ini. Aku kembali sekolah dan bermain bersama teman-temanku.

Suatu hari, ada seorang pengemis, ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya. Aku segera menutup pintu rumah karena takut. Mama berkata kepadaku,"Jangan ditutup pintunya". Lalu mama memanggil ibu-ibu tadi kemudian memberikannya secanting beras dan beberapa kue untuk ibu dan anaknya itu. Aku tidak mengerti mengapa mama melakukan itu? Lalu mama berkata,"Kalau ada pengemis, jangan diusir, kalau ada sesuatu di rumah, berikan saja sebagian, kasihan mereka pasti belum makan." Meskipun mamaku agak cerewet dan garang, tetapi bagaimana bersikap altruis sudah diajarkan kepadaku sejak kecil sehingga aku mulai memahami keadaan keluarga kami yang saat itu serba kekurangan.  

Aku lupa dengan nama beberapa kawanku sewaktu kecil, tetapi aku ingat dua perempuan dan satu laki-laki. Satu anak laki-laki ini agak kemayu (seperti perempuan). Meskipun badannya tinggi, dia tidak berani denganku. Aku sering memukul anak itu dan acapkali karena dia bertingkah seperti perempuan. Ketika aku tahu bahwa adiknya perempuan sama sepertiku. Aku tidak pernah memukulnya lagi dan kami menjadi teman akrab. Setelah aku ingat-ingat lagi, rasanya bersalah sekali memukul dia dan ingatan itu masih terngiang sampai sekarang. Aku berharap, dia tidak mengingat itu dan bisa menjalani hidupnya dengan baik. 

Selain itu di rumahku ini, adikku Mery lahir. Ketika dia lahir, suasana rumah berubah. Setidaknya aku tidak kesepian lagi. Aku juga punya kebiasaan mendengarkan radio di rumah, khususnya cerita tentang Tutur Tinular yang kebetulan nama kecilku diambil dari salah satu nama tokoh Empu Ranubaya. Karena mamak merupakan cucu keturunan Kerajaan Landak, yaitu Nek Sanggup, mamak punya kebiasaan senang mendengarkan kisah-kisah kerajaan di Radio. Nek Sanggup sendiri dikenal sebagai orang Dayak yang sangat sakti dan berkali-kali membantu masyarakat untuk mengatasi berbagai masalah dan beliau juga sangat dihormati. Salah satu peninggalan Kerajaan Landak terdapat sebuah meriam yang bernama Meriam Nek Sanggup. Meriam Nek Sanggup ini berhubungan dengan Nek Dara Hitam. Dara Itam adalah permaisuri dari Raja yang bernama Ria Sinir. Dara Itam adalah sosok wanita yang sempurna dan sampai sekarang penduduk sekitar Kuala Behe menyakini bahwa Dara Itam sampai sekarang masih hidup dan masih menjaga keratonnya. Bunyi Meriam ini sering kali terjadi dan sebagai tanda atau isyarat yang di tujukan Dara Itam kepada warga setempat. Meriam itulah yang disebut sebagai Meriam Nek Sanggup. 

Kenanganku di komplek ini cukup memberikan pengalaman yang indah. Ada berbagai macam tantangan di usiaku saat itu. Aku belajar untuk mengolah diri meskipun tanpa bimbingan. Namun, dari pengalaman-pengalaman tersebut aku memahami bahwa rasa sakit selalu membuat kita kuat. Tidak ada hal yang dapat membuat kita mampu menjalani semua dengan mulus tanpa melalui rasa sakit. Ketika terbiasa melalui rasa sakit, aku dapat menjalani hidupku walau penuh tangisan tetapi kembali berdiri dan melangkah lagi. Memaknai kehilangan sebagai sebuah hal yang tidak bisa dipertahankan, marah memang, sedih, pilu, kecewa, tetapi itu tak ada artinya. Dengan melepas beberapa hal berharga yang kita miliki, semuanya akan kembali dan digantikan dengan hal-hal yang baru setiap hari. Kita tak perlu minta semua masalah agar cepat selesai, cukup percaya bahwa kita akan kuat melalui semuanya. Tuhan pasti akan memampukan kita. 

Komplek Perumahan Ari Karya Indah I Kota Baru

Aku teringat ketika aku tinggal di Ari Karya Indah I, Kota Baru Pontianak. Kami hidup di sebuah rumah kontrakan yang cukup luas dengan tetangganya yang baik hati. Aku memperoleh teman-teman di samping kiri rumah, anak-anak perempuan, nama mereka Tata dan Yaya. Mereka anak-anak yang periang dan selalu gembira. Mereka tidak merasa tertanggu walau bermain permainan anak laki-laki. Dan Aku juga, kadang ikut permainan-permainan mereka seperti tabak dan lompat tali. Di ujung komplek kami, ada sebuah sungai yang dangkal, di mana airnya hanya setinggi lutu kaki. Aku dan mereka biasanya mencari ikan-ikan kecil sedari pagi hingga siang hari, bahkan sore hari. Apa yang ditemukan? Hanya ikan kecil, ketam (kepiting kecil), ikan julung-julung dan terkadang kami berkotor-kotoran penuh lumpur. Saking asyiknya kami bermain sampai lupa waktu. Alhasil, Tata dan Yaya acapkali jadi bulan-bulanan mamanya jika pulang kotor-kotoran apalagi sudah terlampau sore. Aku juga ingat ada seekor ikan kaloi (gurami) raksasa di kolam mereka. Kami sering melempar daun kangkung, melihat ikan itu timbul dan mengunyah kangkung itu dengan lahapnya. 

Suatu hari, Aku, adikku Mery, Tata, Yaya, dan Bowo bermain-main di komplek sebelah. Waktu itu, komplek sebelah kami banyak perumahan baru dan kosong, di belakangnya ada kebun ubi milik orang. Di situ kami biasanya bermain-main. Terkadang iseng, kami mencabut beberapa ubi dan membakarnya di sana. Pernah suatu kali, kami ketahuan pemilik kebun dan dikejar. Karena ketakutan, kami berlari sekuat tenaga dan pulang ke rumah masing-masing. Meskipun begitu, tetap saja aku dan teman-temanku tak jera untuk bermain di situ. 


Permainan yang sangat viral di masa kecilku saat itu adalah cah kartu. Permainan ini semacam adu kartu di mana kartu memiliki dua sisi, di depan bergambar, di baliknya kosong. Cara bermainnya gampang, kartu tersebut ditaruh di telapak tangan, kemudian yang bergambar dihadapkan ke depan. Masing-masing melakukan adu tos dengan kartu masing-masing. Jika salah satu kartu yang jatuh setelah tos tampak gambar depannya, maka dialah pemenangnya. Tetapi jika kedua kartu keluar gambar, maka permainan seri. Ataupun, jika kartu yang nampak belakangnya baik lawan dan milik sendiri, juga dianggap seri. Dalm permainan cah kartu ini, aku termasuk yang cukup hebat dan alhasil kartuku menjadi sangat banyak bahkan bisa disimpan dalam satu plastik besar. Namun, ada juga teman-teman dari satu komplek yang berbuat curang. Dia menempelkan dua kartu menjadi satu, sehingga baik depan atau belakang akan terlihat gambar. Artinya, dia takkan pernah kalah karena tidak menampakkan sisi belakangnya. Aku yang segera sadar bahwa anak itu curang, langsung mengambil kartunya dan menunjukkan kepada teman-teman. Akhirnya semua kartunya diambil dan dia pulang sambil menangis. Ada juga permainan kartu yang potensi untuk menang sangat besar dan cepat, namanya tepuk angin. Permainan ini menggunakan kartu yang disusun, dihitung sehingga baik lawan dan diri sendiri jumlah kartu yang disusun sama banyak. Misalkan lawan menantang kita dengan 20 kartu, maka aku juga harus menyerahkan 20 kartu untuk disusun. Maka kartu yang ada di depan tersusun 40 buah. Kartu-kartu tersebut kemudian diusahakan sampai terjatuh dengan tepukan angin di lantai menggunakan tangan. Biasanya, karena penasaran kalah terus, teman-teman yang tidak sabaran memberikan seluruh kartunya sehingga menjadi tumpukan yang tinggi dan semakin susah untuk dijatuhkan. Tetapi aku, memiliki trik yang kulatih setiap hari. Dua tangan kusatukan sehingga membentuk kipasan, telapak tangan di atas lantai, dan ketika kuangkat, angin di bawah lantai akan keluar sehingga meniup kartu-kartu yang disusun. 

Tidak cuma permain kartu, ada masa juga kami anak-anak bermain layang-layang setiap musimnya. Ada juga permainan guli yang dimainkan beberapa orang atau beramai-ramai. Guli ada berbagai tipe, ada pal, atau kelabang. Ada juga masanya ketika musim permainan tembak-tembakan. Kami semua akan membeli pistol mainan dengan peluru plastik. Kalau pelurunya kena tubuh, itu tidak akan menyebabkan luka tetapi memar dan rasanya lumayan sakit. Bahkan ada yang sampai benjol di kepalanya. Meskipun demikian, namanya permainan akan sangat seru bila dimainkan bersama-sama hingga tidak kenal waktu sama sekali. Karena benjol dan ada yang terkena mata, permainan itu kemudian dilarang orang tua sekitar.

Berkenaan dengan permainan, sejak kecil aku sudah disuguhkan oleh bapak permainan-permainan video game. Di zamanku itu, ada video game yang disebut Nintendo. Sebuah permainan canggih di masa itu, dengan bentuk kotak mirip seperti PS5, dengan kaset berbentuk kotak besar, lebih besar dari telapak tangan orang dewasa. Di dalam satu kaset Nintendo terdapat satu atau beberapa permainan. Game favorit yang sering kumainkan adalah Golden Axe, Duck Hunt, Super Mario Bross, dan lain-lain. Itu yang membuat aku memiliki banyak teman di masa kecil, karena hampir semua anak-anak di komplek akan datang ke rumah untuk bermain Nintendo bersama-sama. Selain mereka, aku juga biasanya bermain bersama bapak. Walau permainannya sederhana, itu adalah kenangan yang sangat indah dan sulit terlupakan. 

Selain itu, aku juga punya pengalaman buruk tentang Nintendo. Suatu hari aku bermain di rumah tetanggaku. Dia juga memiliki Nintendo di rumahnya dan orang tuanya sangat ramah kepadaku. Tetapi tidak tahu kenapa, anak itu tiba-tiba ke rumahku lalu menuduh aku mencuri stik Nintendonya. Aku yang bingung terus dituduh-tuduh demikian tentu saja membela diri karena merasa tidak pernah melakukan itu. Tapi, mamaku di dalam rumah mendengar itu, dan dengan membawa stick Nintendo, disodorkan kepada anak tersebut, dia lupa, kalau aku di rumah juga punya Nintendo sehingga dia cuma bisa diam dan pergi begitu saja. Ya, namanya anak-anak, setelah konflik seperti ini, kami kembali akrab dan bermain kembali. 

Suatu ketika, Aku, Yaya, Tata dan Mery berjalan-jalan ke perkampungan orang Madura. Di sana banyak sekali kebun-kebun sayur. Aku melihat banyak orang-orang menyiang ladangnya dari rumput-rumput liar. Ada juga ternak sapi, aroma-aroma pembakaran kotoran sapi, kebun-kebun nanas dan masih banyak lagi. Di masa kecilku ini, pernah terjadi gejolak di mana ada pertikaian antara orang Madura dan Suku Dayak, tidak tahu dipicu oleh apa, tetapi itu pernah terjadi. Mamaku selalu berpesan untuk tidak bermain-main di perkampungan orang Madura. Tetapi, aku dan teman-temanku tak pernah takut, yang kami pikirkan hanya bermain dan benar, ketika kami bermain agak jauh dari rumah ke perkampungan orang-orang Madura, mereka ramah dan baik. Aku juga punya teman-teman dari mereka yang ikut turun ke sungai mencari ikan-ikan kecil hingga berkotor-kotoran. Saat kami bermain, tidak ada istilah orang-orang Madura dan Dayak atau suku apapun. Yang kami tahu, kami adalah anak-anak. Dan yang kami tahu adalah bermain. Seperti biasa, ketika pulang selalu saja ada yang dipelasah mamanya seperti Tata dan Yaya. Momen seperti ini adalah hal yang biasa, setiap kali Tata atau Yaya dipelasah mamanya, dia datang kepada kami dan aku cuma bisa menghiburnya dengan bermain atau nonton TV bahkan main Nintendo di rumah.

Pernah suatu peristiwa membuatku agak sedih, di mana aku bertengkar dengan adikku Mery saat pulang sekolah. Waktu itu itu, kami masih sekolah di SDN 34 Pontianak Barat. Tidak tahu bertengkar karena masalah apa, lalu di sebuah gang kami berpisah. Gang tersebut memang merupakan jalan singkat menuju Ari Karya Indah I, tetapi aku berjalan melewati jalan raya. Aku tiba di ujung gang, tanpa berpikir kalau adikku akan sampai di gang itu. Aku kemudian menunggu, tetapi kok tidak kunjung datang. Akhirnya perasaan cemas menggerogotiku. Aku masih menunggu di depan gang itu. Perasaan takut mulai menghantui aku, aku takut mama marah karena meninggalkan adik berjalan sendirian. Aku memberanikan diri untuk pulang meskipun dengan perasaan takut. Di dekat rumah, aku masih tertegun, di situ aku berjumpa dengan tetanggaku, seorang wanita muda dan bertanya kepadaku. "Rano kenapa menangis?", dengan sesengguhkan aku berkata,"Aku meninggalkan adikku tadi". "Oh, Mery ya? Kalau tak salah lihat tadi sudah pulang, coba lihat ke rumah" katanya. Lalu aku tiba ke rumah dan melihat dia sedang makan dan hatiku merasa lega. 

Di gang ini, aku punya teman sekelas namanya Hendro. Sehari-hari, aku dan dia sering bermain bersama. Di sekolah, aku kurang mendapatkan banyak teman karena perbedaan agama. Aku sering mendapatkan perlakuan tidak enak dari teman-temanku karena status agamaku yang Kristen Protestan. Aku dan Hendro menganut kepercayaan yang sama sehingga kami sering bermain bersama. Aku mencoba mengingat nama-nama guruku, yang paling kuingat adalah ibu-ibu guru di sekolah yaitu wali kelasku. Pertama Bu Numadyah, ibu guru satu ini sangat baik dan selalu memperhatikanku. Sampai di dalam raporpun, acapkali tertulis "Jangan sering melamun". Ya, memang hal yang paling sering kulakukan adalah melamun. Biasanya tidak ada hal lain yang dapat aku lakukan kecuali melamun karena itu menyenangkan. Membuat segala keterbatasan hidupku menjadi tidak terbatas. Terkadang aku memainkan tanganku, mengadunya seperti dua orang yang bertarung, aku ingat sekali betapa menyenangkan berimajinasi seperti itu. 

Aku juga memiliki teman bernama Miya. Miya ini seorang beragama Budha. Dia baik dan selalu mengajari aku berbagai hal termasuk dalam pelajaran. Miya adalah salah satu siswi yang cerdas di kelasku walaupun tidak bisa menyebur "r" dengan baik. Apabila ditest dengan kalimat "Ular lari lurus", maka ia akan berkata,"Ulal lali lulus". Aku tidak tahu kenapa, dia mau berteman denganku karena sewaktu di SDN 34, aku selalu dijauhi teman-teman karena soal agama. Aku juga ingat bahwa aku sekelas dan duduk sebangku dengannya. Aku bersama mamak datang ke rumahnya dan kami belajar bersama. Sebagai teman, terkadang aku membelanya di sekolah. Dan dia juga membela aku di sekolah. Kami belajar bersama-sama dan karena bantuan Miya, aku mengerti banyak pelajaran. 

Juga Suryadi, seorang siswa sekelasku di kelas 3. Suryanto memiliki keistimewaan, bibirnya agak sumbing dan agak kurang jelas jika berbicara. Meskipun begitu, aku memperhatikan dia berbicara dan nyambung dengan semua perkataannya. Jadi, terkadang aku menterjemahkan maksud Suryadi. Kalau tidak salah ingat, rumahnya Miya dan Suryadi ini dekat Masjid Jami. Mereka sama-sama keturunan Tionghoa dan mamak sering mengantar aku ke tempat mereka dengan menggunakan oplet.

Di sini, adikku yang bungsu lahir. Karena tidak bisa beramai-ramai, aku dan Mery ditinggal di rumah. Sementara bapak dan mamak ke Rumah Sakit. Aku yang sudah mulai mengerti, merasa cemas. Sebelumnya, aku sering melihat mamak di kamar, sambil menyenderkan kepala ke perut. Dan merasakan tendangan si bungsu dari dalam perut mamak. Begitu setiap hari kebiasaanku melihat mamak dan merasakan perutnya. Tiba waktunya melahirkan, aku dan Mery di rumah. Saya lupa kapan, entah pagi atau malam, si kecil Yeyen sudah lahir. Warnanya kemerah-merahan, keriput dan mata belum terbuka. 

Komplek Disbun

Di Pontianak, di sinilah kami pindah untuk yang terakhir. Karena status rumah sebelumnya juga ngontrak, kami akhirnya pindah kontrakan di Komplek Disbun. Karena pindah rumah agak jauh, akhirnya aku bersama adikku Mery dipindahkan ke SDN 66 Sungai Raya Dalam. Komplek Disbun saat itu merupakan komplek baru dan masuk ke dalam. Kiri kanan adalah lalang gambung yang sangat tinggi. Di ujung jalan Disbun ada sebuah jembatan yang menghubungkan Jalan Sungai Raya Dalam. Rumah kami berada di ujung dalam gang Disbun. Ingat kisah di Tanjung Harapan? Di mana aku memiliki teman bernama Elma Hani Yupriska? Aku berjumpa kembali dengan kawan kecilku yaitu Niko di Gang ini. 

Di sini aku diajarkan bapak untuk hidup mandiri dan bekerja keras. Aku biasanya berternak ayam kampung di belakang rumah. Selain itu, kami juga memiliki kolam lele dumbo. Di hutan belakang yang masih rimbun, aku dan bapak biasanya berburu biawak dengan membawa senapan. Waktu itu aku hanya menemani bapak dan seringkali tersesat. Selain biawak, bapak biasanya mendapatkan kera dan tupai. 

Suatu ketika kami akan membuat pagar. Dari manakah kami akan mendapatkan kayu? Pagar ini bertujuan agar pencuri tidak masuk ke dalam halaman rumah karena kami memiliki beberapa hewan ternak. Akhirnya, aku bersama bapak memasuki hutan yang ada di depan rumah kami yang juga sama-sama rimbun. Aku dan bapak memikul kayu dari hutan ke rumah hingga beberapa ratus potong. Kayu itu dipikul kemudian disusun menjadi pagar dan diperkuat dengan paku. Di sini aku benar-benar ditempat habis dengan bekerja, bahkan kulit menjadi gosong dan aku tidak terlalu peduli. Yang penting ayam dan lele yang kami budidayakan memberikan hasil yang banyak. 

Aku pernah bereksperimen dengan gen ayam. Suatu ketika ada ayam katai jantan milik tetangga yang masuk ke pagar rumah kami dan kawin dengan ayam bangkok milik kami. Tidak lama kemudian, ayam betina itu bertelur dan mengeram. Ketika menetas, ternyata ayam yang ditetaskan itu memiliki bulu berwarna emas. Ketika besar, ayam itu tampak sangat sehat dan besar seperti ayam pedaging. Sejak saat itu, aku rajin memberi makan ayam dan sering bolak-balik ke kandang untuk melihat ayam yang bertelur. Setiap kali menetas, ayam-ayam emas itu bertambah dan tetangga kami menjadi takjub karena melihat model ayam yang berbeda dari ayam kebanyakan. Pada saat natal, lagi-lagi ketika aku sekolah seluruh ayam dipotong. Aku tidak tahu apa alasannya, tetapi yang aku tahu, setiap kali ada acara selalu ada saja ayam yang dikurbankan. Akhirnya kandang kemudian menjadi kosong dan ayam emas itu hilang lenyap.

Aku memiliki pengalaman yang sangat tragis saat memelihara seekor kucing. Waktu itu aku sudah masuk di kelas 4 SD saat pindah ke SDN 66 Sungai Raya Dalam. Ketika itu, aku sedang menonton film kartun kesukaan. Tetapi mamak memintaku untuk mengamankan kucing. Aku sebenarnya juga sedang bermain dengan kucing itu. Aku lalu mengambil kotak kayu bekas tempat perhiasan mamak lalu memasukkan kucing itu ke dalam kotak tersebut dan menutupnya. Kenakalanku ini tidak kusadari dan tidak kupikirkan, aku duduki kotak kayu itu agar kucingnya tidak keluar. Tetapi ketika film kartun selesai, kubuka kotak kayu itu dan kucingnya sudah mati.  Aku sangat panik, kaget, bingung, dan kecewa dengan diri sendiri. Aku menangis bertubi-tubi, berkeliling ke sana sini, menarik rambut dan membanting kotak itu. Kalau tidak salah, mamak saat itu tidak ada di rumah dan ketika mamak pulang, aku menunjukkan kepada mamakku mayat kucing dan menceritakan apa yang terjadi. Mamak sangat marah dan aku sangat sedih tidak karuan. Kemudian mamak menyuruh aku menguburkan mayat kucing itu. Dengan bercucuran air mata, aku kuburkan mayat kucing itu. Sejak saat itu, aku cinta mati dengan yang namanya kucing. Setiap kali ada kucing, aku akan mendekatinya dan mencoba memegangnya dengan penuh kasih sayang. Jika diingat kembali di masa ini, aku benar-benar menyesal dan sembari mengetik cerita ini, tidak terasa air mataku berlinang. Tuhan Yesus, maafkan kebodohan anakmu ini.

Aku dan adikku Mery seringkali membawa kucing ke rumah untuk dipelihara. Bahkan pernah terjadi, ketika aku dan Mery berjalan pulang dari sekolah menuju rumah. Kami melihat sebuah karung yang bergerak-gerak dengan suara anak kucing. Saat kubuka, ada beberapa ekor kucing. Sampai beberapa kali, anak kucing dibuang begitu saja di tepi jalan. Aku pungut dan aku pelihara. Sampai jumlahnya jadi 20 ekor. Mamakku sendiri sangat kebingungan karena saking banyaknya. Tetapi akhirnya mereka dipelihara hingga besar dan gemuk-gemuk. Tetapi pada suatu hari, ada sebuah kejadian yang mencengankan dan sekaligus menyedihkan kembali terulang. Kejadian ini membuatku sangat bingung. Semua kucing kutemukan tergeletak di halaman belakang dalam keadaan mati, bertebaran di satu tempat ke tempat lain seperti dalam keadaan tidur. Semuanya mati secara misterius padahal diberikan makanan secara teratur. Mamak bilang mungkin salah satu kucing punya penyakit menular lalu akhirnya menular ke kucing yang lain. Bagaimanapun, kejadian ini membuatku sangat trauma. Dan aku semakin mencintai hewan kucing dengan lebih kuat lagi. 

Suatu hari, ketika masih dalam keadaan sedih itu. Datanglah seekor kucing berwarna hitam putih. Akhirnya kucing itu betah dan tinggal di rumah. Aku memberinya nama Getsby mirip dengan merk minyak rambut. Si Getsby ini kemudian melahirkan banyak anak dan itu membuatku sangat senang. Dan mereka semua sehat-sehat dan tidak ada yang mati hingga besar. Aku bahagia sekali karena memiliki mereka. Sampai suatu ketika, Getsby seperti mendapatkan luka bengkak di dekat mata yang semakin hari semakin besar. Beberapa lama Getsby tidak tampak lagi dan kami merasa dia takkan pernah kembali lagi. Yang tersisa hanya anak-anaknya yang juga sampai pada akhirnya menemani kami sepanjang tinggal di Komplek Disbun ini.

Di Komplek kami ini, ada seekor ayam yang sangat unik. Aku saat itu dibelikan BMX oleh bapak untuk menggonceng adik ke sekolahan. Setiap kali akan berangkat sekolah, ayam ini mengejar kami. Begitu juga pulang sekolah, ayam ini terus menerus mengejar kami. Tidak hanya aku, juga teman-temanku di sekitar komplek acapkali jadi sasaran empuk si ayam jago itu. Suatu hari aku mencoba menghindari ayam ini, tetapi naas, aku jatuh dan dadaku menghantam stang sepeda sehingga aku sulit bernafas. Aku melihat ayam itu berdiri di dekatku, tetapi tidak menerkam atau semacamnya. Lalu perlahan aku pulang, dan ayam itu hanya berdiri di situ. Aku pulang sambil mengobati luka lebam di dada dan berharap tidak melihat ayam itu. Pernah beberapa kali bapak mencoba menembak ayam itu karena marah dan menyebabkan aku luka. Sepertinya kena, tetapi ayam itu sama sekali tidak tumbang. Pada suatu ketika, ayam tersebut dipotong pemiliknya. Ada cerita dari anaknya yang adalah teman bermainku (aku lupa namanya), dia bercerita kalau ayam yang dipotong itu ayam yang mengejar kami, dan saat dia makan, papanya mengunyah peluru senapan angin dan tertawa. Karena papa temanku itu tahu, semua orang berharap agar ayam itu dipotong saja tapi selalu ditunda. Aku yang mendengarnya, dan juga menjadi saksi ketika bapak menembak ayam itu cuma bisa tersenyum saja walaupun sebenarnya dari hati kecilku sendiri merasa bersalah.

Suatu ketika, bapak dan mamak pergi jalan-jalan keluar. Jadi, aku di rumah menjaga adik-adikku. Hari mulai gelap dan aku menghidupkan lampu di rumah. Tiba-tiba bapak dan mamak pulang dengan gerasak gerusuk. Ada apa di luar? Lalu mereka segera memasukkan motor ke dalam. Lalu kudengar mamak bercerita kalau mereka dikejar hantu. Ceritanya, ketika mereka keluar dari gang Disbun mereka melihat arak-arakan orang membawa mayat denga tandu, lalu jalanlah mereka. Saat pulang memasuki Gang Disbun, suasana sudah mulai gelap, kiri kanan semak belukar dan hampir tidak ada rumah di Gang Depan (Disbun I). Lalu di belakang mereka tampak seseorang menggunakan sepeda. Mereka tidak curiga pada awalnya, tiba-tiba orang yang menggunakan sepeda dalam kegelapan itu semakin cepat mengayuh sepedanya lalu mamak yang ada di belakang menoleh dan melihat kalau orang itu semakin lama semakin tinggi tubuhnya, matanya merah dalam kegelapan dan kecepatan kayuh sepedanya juga sama cepatnya dengan sepeda motor dan bulu kuduk mereka berdiri. Lalu melajulah mereka di tengah kegelapan itu. Saat dekat di sebuah simpang di dalam gang yang ada sebuah lampu di atas tiang listrik. Lalu mamak menoleh lagi ke belakang, sosok tersebut sudah menghilang. Lalu mereka masuk ke Gang Dibun II menuju rumah dengan perlahan. Besoknya bapak cerita ke tetangga soal sosok itu dan aku menguping sambil bermain. Ternyata memang di gang depan sering terlihat sosok orang menggunakan sepeda yang dulunya adalah masyarakat di situ yang sehari-hari memang menggunakan sepeda lalu entah karena apa, kemudian meninggal dunia dan arwahnya penasaran. 

Di SDN 66 Sungai Raya Dalam itu, aku memiliki seorang teman namanya Antonius Sabinus. Nanti ketika aku kuliah, aku akan berjumpa lagi dengannya. Di masa kecilku ini, aku dan Anton itu sangat akrab. Aku juga biasanya membantu mamak berjualan bakwan dan korket di sekolah sambil membawa tempat kue. Kadang, kalau kue masih tersisa, aku membaginya dengan Anton dan kawan-kawan. Pulang sekolah aku menyetorkan uangnya ke mamak untuk dibelanjakan lagi dan dibuat kue. Kembali ke kisah Anton, aku sering ke rumahnya dan acapkali melihat Anton dipelasah. Anton ini punya sifat yang lemah lembut sehingga enak diajak ngobrol. Kepala Sekolah kami waktu itu Bu Maria, seorang Katolik dan waktu itu aku masih protestan meminta aku ikut pelajaran Katolik karena beliau tahu bahwa bapak adalah orang Katolik. Di situ, aku mulai mengikuti pelajaran Katolik walau tidak banyak siswa yang beragama Katolik. Kami sering berjalan-jalan di pematang sawah, melewati rumah-rumah dan bermain layangan. Di sini, aku mengenal seorang sosok preman sekolah. Anehnya, dia ini tidak pernah menggangu aku karena dia memiliki adik perempuan. Dan ketika tahu aku juga memiliki adik perempuan, dia akhirnya menjadi kawan akrabku di sekolah. Adiknya juga istimewa, seorang anak gadis dengan kaki yang agak bengkok di bagian telapak. Dan di sini, aku mulai bersimpati karena kasih melihat adiknya yang berjalan seperti itu. Adiknya ini sering dibully, dan aku selalu menolongnya. Karena ini juga, abangnya yang agak preman itu segan kepadaku. Di sini tidak ada istilah perbedaan agama, semua siswa dengan agama apapun di SDN 66 sangat ramah satu dengan yang lain. Suatu ketika, aku memiliki teman sekelas dari Ketapang, muslim (padahal aku juga separuh darah Ketapang). Dia selalu menggunakan logat Ketapang,"Aok te bah" "Aok am". Aku selalu mengolok-olok dia dengan logat itu dan hampir tiap hari pula aku dipukulnya.  Aku agak menyesal karena pernah mengolok orang Ketapang, yang pada akhirnya aku sendiri ketularan logat bahasa Ketapang. 

Hal yang sangat berkesan kala itu adalah ketika musim kelayang. Musim kelayang di sini memperlihatkan aneka bentuk layangan dengan bermacam bentuk, warna, dan ukuran. Kerjaan kami tidak lain adalah mengejar layangan hingga ke semak-semak dan hutan-hutan. Bahkan terkadang, aku tidak pulang ke rumah hanya demi menunggu orang-orang bermain layangan. Nah, selain digunakan untuk adu layangan, layangan itu juga berfungsi untuk menangkap kalong. Kalong adalah sejenis kelelawar dengan bentuk dan ukuran yang sangat besar berkali lipat dari kelelawar. Bapakku juga sering berburu kalong tetapi dengan senapan. Sementara mereka ini menggunakan layangan. Sungguh cara yang unik.

Selanjutnya, bapak kemudian mengatakan kepada kami bahwa di Ketapang akan ada usaha somil. Somil itu usaha untuk memanfaatkan kayu hutan menjadi kayu glonggongan untuk diolah menjadi papan, tiang, reng, pasak dll. Maka dari itu, lagi-lagi kami harus pindah dan memulai kehidupan baru lagi di tempat yang baru. Lagi-lagi saya harus berpisah dengan teman-teman dan di sinilah aku pada akhirnya menjadi orang Ketapang. Bye bye Pontianak. 

SD Pangudi Luhur Santo Yosef

Setelah pindah di Ketapang, aku dan kedua orang tua tinggal di rumah kakek. Bapak dan om mengurus usaha di hulu, saat itu usaha logging. Jadi bapak dan om di Tayap sana punya tanah dan kayu-kayu di atasnya ditebang dan dijadikan kayu gelonggongan. Kalau tidak salah itu sekitar tahun 2000. Aku tinggal di rumah kakek bersama bapak dan mamak di bagian belakang rumah dekat WC dan dapur serta kandang bebek. Sementara om dan tante waktu itu berada di bangunan depan. Jadi rumah kakek ini seperti dua bangunan yang dijadikan satu. Ada satu pintu akses yang memisahkan antara area dapur dan rumah utama. Jadi, kami tinggal di area dapur. Dalam satu kamar itu, aku, mamak, bapak dan adik-adik tidur dalam satu ruangan yang sama. Sehari-hari aku sekolah berjalan kaki bersama dengan adikku karena sekolah kami tidak terlalu jauh. 

Untuk pertama kalinya aku bersekolah di SD Swasta Katolik. Di sini aku belajar agama Katolik di mana sebelumnya, ketika aku masih di SD Negeri, aku mempelajari agama Kristen. Pikirku saat itu, baik Kristen maupun Katolik sama saja, ternyata ada banyak perbedaan. Aku baru tahu, kalau Bunda Maria diberikan perhatian lebih dalam Katolik, bahkan dibuatkan patung. Aku saat itu belum terlalu mengerti mengapa orang Katolik berdoa di depan patung Bunda Maria. Aku saat itu teringat dengan teman-teman yang Budha, apakah mungkin orang Katolik sama kayak Budha, menyembah sosok Maria selain Yesus, begitulah pemikiran seorang anak yang dibesarkan dalam pendidikan Kristen seperti aku ini. Selanjutnya, aku mulai mengenal Gereja Katolik. Aku terpukau dengan aneka macam ornamen-ornamen megah yang ada dalam Gereja Katolik, khususnya Gereja Paroki Katedral St. Gemma Galgani Ketapang. Kebetulan Gerejanya tidak terlalu jauh dari rumah, hanya 5 menit jika menggunakan motor. Saat itu, yang menjadi Pastor Parokiku adalah Romo Ubin. Romo Ubin ini adalah Pastor Paroki yang ramah. 

Dalam pergaulan sekolah, aku mendapatkan sedikit teman. Karena badanku pendek, gemuk dan terlihat lamban untuk ukuran anak-anak sebayaku. Mungkin karena itulah, aku selalu dibully di sekolah. Teman sekelasku, Ariansyah dan Hendi, seorang anak SD dengan tubuh yang besar, jauh lebih besar dariku. Hampir setiap hari membullyku. Kadang teman-teman lainnya di kelas ada juga yang sering dibully oleh dua monster itu. Setiap hari aku selalu ditampar, dipelintir, ditinju di bagian perut. Begitu terjadi berulang-ulang. Mungkin karena kasihan beberapa kawan ada yang mendekatiku, Bavo dan Bernadeta. Dua orang ini kawanku di SD. Terkadang mereka menjahiliku juga. Bernadeta cukup baik, membantuku untuk mencatat di papan tulis karena mataku rabun. Lalu Bavo, sering menjahiliku dengan menggambar sampul buku pelajaranku dengan gambar yang aneh-aneh. Tetapi pada dasarnya mereka baik. 

Suatu hari, aku dibully dengan begitu keras, tanganku dipelintir, dan aku diancam serta ditampar karena aku melawan. Aku dipegangi lalu dipukuli. Sampai di rumah, bapak melihat tanganku bengkak dan mukaku lebam. Besoknya, bapak langsung ke sekolah, memarahi dua monster itu dan menampar wajah mereka. Sebelum mengurus usaha logging, bapak adalah guru, dan sejak kecil bapak sangat tegas dan disiplin. Lalu mereka akhirnya minta maaf dan sejak saat itu tidak berani lagi menggangu hidupku di sekolah.

Satu masalah yang kuhadapi yaitu keadaan mata yang sudah rabun. Meskipun begitu, aku tidak pernah mau mengatakan kepada orang tua kalau aku mengalami rabun. Syukur kepada Tuhan, meskipun mataku rabun, aku masih bisa menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasarku dengan cukup baik. Aku kemudian menyelesaikan pendidikan SD ku di SD PL St. Yosef Ketapang dan melanjutkan sekolah di SLTP Pangudi Luhur St. Albertus Ketapang (sekarang SMP PL St. Albertus Ketapang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar