SEJARAH HIDUP DAN PANGGILAN FRANSESCO AGNES RANUBAYA



PENGANTAR

Saya secara pribadi merasa sangat bersyukur dan bersukacita karena telah diberikan tugas ini. Hal tersebut menjadi kesempatan bagi saya pribadi untuk membagikan berbagai pengalaman serta pendapat yang dapat dibahas melalui tulisan saya yang sederhana ini. Melalui tugas ini, saya dapat merefleksikan kembali serta melihat lebih dalam apa dan bagaimana sebenarnya yang terjadi pada diri saya di masa lalu untuk melihat kembali motivasi awal saya masuk sebagai anggota Seminari.

Dari pengalaman yang ada, saya melihat kecenderungan orang muda yang lebih senang pada kehidupan yang menyenangkan, bebas, penuh gairah, selalu mencoba, berpetualang dan tidak mau dibatasi ruang geraknya. Tetapi bagi kami yang bersedia menjadi anggota Seminari, bisa dihitung jari siapa saja yang tergerak hatinya untuk menjawab panggilan. Sebenarnya krisis yang terjadi bukanlah krisis panggilan, melainkan krisis pada jawaban. Ketika dihadapkan pada pertanyaan,”Apakah kamu mau menjadi imam?” Banyak dari kaum muda akan berpikir kembali, lihat-lihat dahulu, nanti saja, atau menyerahkan jawaban tersebut kepada orang lain saja. Namun sangat sedikit yang mampu mengatakan dengan mantap,”Ya, saya mau.” Maka, tentu keberanian menjawab panggilan tersebut merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi anggota Seminari Tinggi San Giovanni XXIII Malang. Namun demikian, bagaimana saja pergulatan hidup kami, prosesnya hingga bisa sampai menjadi seorang Seminaris dan apa latar belakang kami? Jawaban beberapa seminaris mungkin akan bervariasi, namun di bawah ini saya mengutarakan alasan tersebut menurut apa yang saya alami secara sadar dan sejujurnya.

LATAR BELAKANG KELUARGA
1. AYAH
Serilus Edy Boy, S.Pd.Ing.

Nama Ayah saya Serilus Edy Boy, biasanya dipanggil orang-orang di sekitar sebagai pak Boy. Pekerjaan ayah saya saat ini adalah seorang Guru Pegawai Negeri Sipil dan menjabat sebagai Kepala Sekolah SMPN 1 Kec. Nanga Tayap Kab. Ketapang. Kehidupan ayah saya sebelumnya tidak seperti saat ini, sebelumnya ia bekerja sebagai honorer di SD Bruder Melati Pontianak sebagai guru Bahasa Inggris, beliau juga mengajar les private bahasa Inggris di sela-sela kegiatan hariannya mengajar di Sekolah.  Ayah saya inilah yang selalu mendukung saya dalam berbagai hal, meskipun orangnya keras, mudah marah, tegas kepada kami anak-anaknya, tetapi kepada orang lain, beliau begitu ramah, supel, humoris dan sangat santai. Beliau juga yang menentukan pendidikan saya dari saya Sekolah Dasar hingga Kuliah. Dalam pendidikan agama, beliau mengarahkan saya pada sekolah yang mengajarkan tentang pendidikan Agama Katolik. Maka, dari Sekolah Negeri saya disekolahkan ke sekolah Swasta di SD PL St. Yoseph Ketapang. Pada saat itu pula beliau pindah tugas ke Ketapang karena memiliki usaha kayu di Nanga Tayap, namun usaha tersebut hanya berjalan 1 tahun, ayah saya dibohongi oleh rekan kerja yang membantu usahanya sehingga mengalami kerugian. Dalam keterkatungan, beliau tidak patah arang, meskipun kami harus tinggal menumpang ke rumah kakek kami, bapak dari ayah saya, beliau mencoba melamar menjadi PNS dan berhasil. Semangat ayah saya sangat gigih tersebut menjadi inspirasi saya setiap saat. Meskipun puluhan tahun kami harus hidup terpisah karena bapak saya bertugas di pedalaman, daerah Seponti, Teluk Batang. Selanjutnya beliau menjadi Kepala Sekolah di SMPN Nanga Tayap dan sudah menjawab dua periode hingga saat ini. Namun saya agak khawatir karena kesehatan beliau akhir-akhir ini menurun dan pernah beberapa kali masuk rumah sakit karena keras kepala, tidak mau pantang makanan anjuran dokter dan kurang memperhatikan obat-obatannya. Beliau mengalami kerusakan paru-paru karena sejak muda sudah merokok, mengalami pembengkakan pada jantung dan asma. Beliau awalnya berat melepaskan saya untuk masuk Seminari, tetapi pada akhirnya beliau membuka hatinya dan mengijinkan saya masuk Seminari. Dalam perjalanan waktu, pada 10 Juni 2023 di akhir semester 4, ayah saya meninggal dunia karena serangan jantung. 

2. IBU
Juraini

Ibu saya bernama Juraini. Beliau adalah ibu rumah tangga biasa. Pekerjaan hariannya adalah mengurus kami anak-anaknya, mempersiapkan masakan pagi, siang dan malam. Hobby ibu saya adalah memasak. Sebagai anak bungsu yang dididik keras oleh bapak dan ibunya (kakek dan nenek saya) maka sifat ibu saya ini sangat keras, cerewet dan rajin mengomel nyaris setiap hari. Ibu saya sebenarnya bukan seorang Katolik karena sejak kecil keluarga mereka dididik dari latar belakang Agama Protestan. Maka, di kelas 1-5 SD, saya mengikuti pendidikan agama ibu saya. Setelah saya kelas 6 SD dan pindah ke Ketapang, barulah saya mengikuti pedidikan agama Katolik sesuai anjuran ayah saya. Ketika saya melanjutkan Sekolah Menengah di SMP PL St. Albertus,  saya mulai mengikuti katekumen dan dibabtis secara Katolik menyusul adik saya yang kedua. Saya paham bagaimana perasaan ibu saya yang jauh dari keluarganya, namun pada akhirnya beliau membaharui janji pernikahan dengan ayah saya dan bersedia menjadi seorang Katolik juga. Maka saat ini, kami sekeluarga lengkap sebagai seorang Katolik.

3. SAUDARA KANDUNG
Fransiska Merry Agustin & Jane Yolanda

Saya mempunyai dua saudari kandung, kedua-duanya perempuan. Yang pertama adik kedua saya namanya Fransiska Merry Agustin, pendidikannya hanya sampai SMA saja dan sudah menikah dan mempunyai seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Yang kedua adik bungsu saya bernama Jane Yolanda. Adik-adik saya ini keduanya dahulu mengikuti saya sehingga sikap dan gayanya agak tomboy. Ia juga berhasil menyelesaikan kuliah D3 di Politeknik Negeri Ketapang dengan jurusan yang sama dengan saya yaitu Ilmu Komputer. Saya merupakan anak pertama atau putera sulung dari tiga bersaudara.

4. PENGALAMAN SEWAKTU KECIL
a. Pengalaman yang saya sukai:
Pengalaman yang saya sukai ialah saat berjalan-jalan bersama ayah saya menggunakan sepeda motor. Saya sering digendong ayah saya ketika masih kecil. Sewaktu kami pindah ke daerah Sui Raya Dalam, saya yang masih kecil sudah membantu ayah saya menebang pohon di hutan dan mengangkutnya ke rumah untuk dijadikan pagar rumah, membangun kandang ayam dan membuat kolam ikan lele. Selain itu pengalaman diberikan hadiah berupa sepeda, tas baru, baju baru dari ayah dan dimasakkan makanan kesukaan saya. Di masa kecil saya, ketika hujan tiba, saya dan adik-adik boleh main di luar dan main hujan-hujanan, saya biasa bermain dengan teman-teman satu gang, menangkap ikan kecil di sungai, dibelikan playstation dan masih banyak lagi.

b. Pengalaman yang tidak saya sukai:
Pengalaman yang tidak saya sukai adalah ketika saya bertengkar dengan adik-adik saya, beradu mulut dan kadang saling memukul. Kemudian saya sering dimarahi jika bermain terlalu lama bersama teman-teman. Saya sering diejek teman-teman sewaktu kecil karena saya gendut, tidak bisa berlari kencang dan ada pula karena agama berbeda, saya dimusuhi di sekolah. Meskipun demikian, saya tidak pernah ambil hati, dan besoknya sudah lupa dan bermain juga dengan mereka yang mengejek saya itu. 

c. Kondisi rumah saya 
Kondisi rumah saya setiap beberapa waktu dari saya masih kecil sampai dengan sekarang berbeda-beda  karena kami tidak pernah menetap. Saya masih ingat ketika saya di Pontianak beberapa kali pindah rumah karena kami mengontrak, pertama kami tinggal di Kota Baru, kemudian Pindah ke Komplek Air Karya Indah, dan barulah ke Sui Raya Dalam di Perumahan Disbun Pontianak. Selanjutnya kami pindah ke rumah kakek saya dan bapak melanjutkan usaha di Ketapang. Karena mengalami kebangkrutan, ayah saya melamar menjadi PNS dan kami baru bisa menempati rumah dinas. Saat ini rumah dinas ayah saya ada dua, pertama di Ketapang sebagai tempat tinggal utama dan rumah Dinas Kepala Sekolah di SMPN 1 Nanga Tayap. Sebelum meninggal dunia, ayah saya bekerja di Kelurahan Sukaharja sebagai staff oleh karena kesehatan. Kami juga membangun rumah di Perumahan Dalong di mana ibu menetap di sana bersama adik bungsu, sementara rumah di Gg. Pinang diberikan kepada adik saya yang kedua di mana ia bersama suami dan anak-anaknya tinggal.

C. SEKOLAH
1. SEKOLAH DASAR
Saat menjalani pendidikan SD saya merupakan siswa yang cukup rajin karena ayah saya seorang guru dan ibu saya juga dari pendidikan SPG. Maka setidaknya saya harus meningkatkan prestasi setidaknya masuk sebagai 10 besar. Dan selama saya bersekolah, saya tidak pernah memiliki sahabat tetap, karena kami selalu berpindah rumah dan otomatis sekolah saya juga berpindah-pindah. Pertama saya sekolah di SDN 34 Kota Baru, selanjutnya di kelas 4 saya pindah lagi ke SDN 66 dan menetap di Ketapang serta bersekolah di SD PL St. Yoseph Ketapang di kelas 6 caturwulan II. Saya baru mengetahui bahwa mata saya mengalami rabun jauh ketika kelas 6 ini. alhasil nilai saya biasa-biasa saja dan tidak ada yang istimewa tetapi saya berusaha keras untuk mendapatkan nilai terbaik meskipun terbatas dalam pengelihatan. Pengalaman yang tidak saya sukai adalah perundungan yang saya alami. Saya dibully oleh teman sekelas yang badannya besar sekali, tangan saya dipelintir setiap hari dan sampai pernah bengkak. Tetapi saya tidak pernah mengadu kepada orang tua dan pada guru karena jika terjadi, maka saya akan disakiti lebih parah dari itu. Tidak hanya pada saya saja, beberapa teman yang badannya kecil mengalami hal yang sama. 

2. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)
Orang tua saya memutuskan saya melanjutkan sekolah di SMP PL St. Albertus Ketapang. Di saat ini saya mulai memberitahu kepada orang tua saya bahwa mata saya mengalami minus. Dan untuk pertama kalinya saya menggunakan kacamata. Seketika itu juga, prestasi saya melesat. Di antara teman-teman saya termasuk 5 besar dan bahkan terkadang bisa bersaing dengan mereka yang juara 1,2 dan 3 dengan nilai yang tidak berbeda jauh. Di masa SMP inilah saya mulai mendalami pelajaran Agama Katolik, dan saya meminta diri untuk mengikuti Katekumen. Sehingga saya akhirnya dibabtis dan menjadi seorang Katolik seutuhnya. Selanjutnya saya juga mengikuti Sakramen Krisma di tahun berikutnya, dari sinilah panggilan saya bermula ketika saya mulai merasa kagum dengan Para Imam yang berjubah dan memimpin misa. Selain itu, saya juga mengikuti berbagai macam kegiatan seni di sekolah baik seni rupa, seni suara, seni musik, seni teater. 

3. SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Setelah tamat SMP, saya melanjutkan sekolah saya di SMA USABA St. Petrus (sekarang SMA St. Petrus). Saya merupakan angkatan pertama sekolah ini. Di masa SMA, prestasi saya melesat jauh sehingga pernah menjadi juara 1 umum di sekolah. Saya juga ikut kepengurusan OSIS selama 2 periode. Saya mendirikan Asosiasi Asisten Lab Komputer untuk membantu guru TIK mengajar di Lab Komputer. Selain itu saya juga mendirikan Paduan Suara SMA St. Petrus yang dilatih oleh guru saya Pak Hendrikus Hendri. Di bidang olahraga, saya menjadi Ketua Dojo untuk Karate-Do KKI di SMA. Karena sangat aktif di organisasi, saya menjadi terkenal dan banyak sekali siswi-siswi dari luar sekolah maupun di dalam sekolah yang mengenal saya. Saya juga pernah mengikuti Olimpiade Sains Biologi tingkat Kabupaten, namun tidak berhasil karena saingannya sangat hebat. Seluruh pelajaran yang ada di SMA saya sukai dan tidak ada satupun yang tidak saya senangi karena saya selalu bertanya pada guru. Di masa SMA ini juga saya mengenal banyak gadis dan berpacaran beberapa kali baik dengan teman sebaya maupun dengan adik kelas, dari berbagai daerah sehingga saya mempelajari bahasa-bahasa daerah mereka. Namun yang menjadi kesedihan saya di masa SMA ini adalah kegagalan dalam UAN. Saya dan teman-teman adalah generasi pertama yang mengalami uji coba UAN pada tahun 2008. Hampir semua teman-teman sekelas saya yang dikenal cerdas tidak ada yang lulus UAN, sehingga kami semua nyaris putus asa karena kegagalan ini. Ayah saya yang biasanya tegas dan keras, melihat saya tidak lulus mungkin merasa iba dan menyemangati saya. Beliau berkata ikuti saja paket C dan terus melanjutkan kuliah. Maka, saya dan teman-teman yang tidak lulus tersebut mengikuti paket C dan lulus dengan ijazah dari Dinas Pendidikan Kabupaten Ketapang. Sejak saat itu saya bertekat untuk kuliah demi menghilangkan Ijazah Paket C saya.

4. PENDIDIKAN DIII (DIPLOMA)
Setelah lulus dari SMA, saya melanjutkan kuliah di AMKI (Akademi Manajemen Komputer dan Informatika) di Ketapang. Sama seperti waktu di SMA, saya sangat aktif dalam organisasi sehingga menjadi salah satu pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Ketika semester 5, saya mencoba untuk melamar pekerjaan di Bank Central Asia yang saya temukan di Koran. Ternyata saya diterima untuk test dan berhasil melewati test tersebut. Hanya saja saya harus memilih antara kuliah dan pekerjaan saya. Saya kemudian berhenti kuliah dan memilih pekerjaan saya di Bank Central Asia (BCA) sebagai teller. Saya kemudian bertemu Romo Yuli dan mengutarakan niat saya sejak lama bahwa saya ingin menjadi pastor, beliau mengajak saya berjalan-jalan dan menceritakan kehidupan tentang seorang Pastor, namun saya harus melewati terlebih dahulu tahap awal di Seminari Menengah. Pada akhir bulan Agustus 2012 kontrak kerja saya akan berakhir, maka saya saat itu diantar oleh orang tua saya menemui Romo Cyrilus Ndora untuk masuk Seminari. Beliau mengizinkan saya untuk hidup di Seminari sambil bekerja sampai kontrak kerja saya selesai. Saya tidak bisa menyelesaikan tahap di Seminari karena mengalami sakit Vertigo dan dilarikan di rumah sakit. Romo Cyrilus meminta saya beristirahat di rumah dan tidak usah melanjutkan lagi di Seminari. Saya merasa sedih saat itu dan tentu saja karena itu, orang tua saya tidak lagi mengijinkan saya untuk masuk ke Seminari. Ditambah lagi tak lama setelah itu, saya mengalami batuk yang tak kunjung sembuh. Ketika saya memeriksakan diri ke Dr. Eva Munthe, ternyata saya mengidap TBC pada paru-paru. Maka saya harus mengikuti pengobatan wajib dan intens selama 6 bulan sampai saya dinyatakan sembuh.

5. PENDIDIKAN SARJANA (S1)
Setelah sembuh dari sakit, saya memutuskan untuk melupakan panggilan dan melanjutkan misi saya utuk menghilangkan ijazah paket C saya ke jenjang S1. Karena uang yang saya peroleh dari pekerjaan saya selama 3 tahun, saya akhirnya bisa membayar biaya kuliah sendiri di STMIK Widya Dharma Pontianak. Namun Tuhan mengarahkan saya untuk tetap menjadi diri saya yang dahulu, saya selalu aktif dalam organisasi dan di semester  3 saya menjadi Kordinator Kerohanian dan di semester 5 saya menjadi Sekretaris Jendral pada Senat Mahasiswa STMIK Widya Dharma Pontianak. Saya juga aktif dalam kegiatan kerohanian di kampus dan menjadi pelatih Paduan Suara Kampus yang bernama Deo Gracias selama 2 tahun. Di sini saya juga mengikuti kegiatan-kegiatan kerohanian di luar kampus. Selain itu, saya juga menulis artikel-artikel rohani dan jurnalistik gerejani melalui media-media Katolik Lokal seperti Majalah Duta Pontianak dan juga media Katolik Nasional di penakatolik dan sesawi.net dengan bimbingan Bapak Mathias Hariyadi dan juga Komsos Keuskupan Agung Pontianak.  Selain itu, di masa kuliah ini juga saya mengikuti Ordo Fransiskan Sekuler sembari menyelesaikan kuliah dan juga studi spiritualitas Fransiskan di Ordo awam tersebut sehingga secara otomatis saya tergabung ke dalam anggota Keluarga Fransiskan-Fransiskanes Pontianak (KEFFRAP). Karena kegiatan-kegiatan tersebut, saya menjadi sangat dekat dengan Bapa Uskup Mgr. Agustinus Agus, Pastor William Chang OFMCap dan beberapa pastor yang ada di Keuskupan Agung Pontianak. Bukan malah menjauh dari panggilan, malahan saya semakin dekat dengan Tuhan dan semakin mencintai cara hidup seorang imam, para bruder dan juga para suster. Meskipun saya punya pacar, saya sudah banyak sekali mengikuti kegiatan turney bersama pastor Kapusin ke kampung-kampung. Hubungan saya dan pacar saya saat itu berjalan kurang lebih selama 4 tahun, meskipun dia tidak terlalu aktif dalam kegiatan bersama para imam, suster dan bruder, tetapi sangat aktif dalam kegiatan seni suara dan paduan suara di Gereja. Sembari berjalan apa adanya, saya berhasil menyelesaikan kuliah sarjana komputer saya dan juga saya menyelesaikan pendidikan saya di Ordo Fransiskan Sekuler. Sampai pada akhirnya saya kembali ke Ketapang dan memperoleh pekerjaan baru.

6. DUNIA KERJA
Dunia kerja bukanlah hal pertama bagi saya, karena sudah memiliki pengalaman, selesai dari kuliah saya melamar pekerjaan dan berhasil bekerja di sebuah hotel ternama di Ketapang. Saat bekeja pun saya masih aktif dalam organisasi OMK Keuskupan Ketapang dan di Komisi Kepemudaan Keuskupan Ketapang. Selain itu, saya juga dipercayakan sebagai Ketua Komunitas Karyawan Muda Katolik (KKMK) St. Rafael di Paroki Katedral. Namun saya kembali dihadapkan pada gejolak bathin di mana hubungan saya dan pacar saya semakin retak karena ia berulangkali mengatakan bahwa ia tidak bisa dan tidak mampu menjalani hubungan jarak jauh (LDR), ia menganggap tidak seperti dahulu yang selalu ada dan memberikan perhatian secara langsung. Saya berulang kali meminta ia untuk bersabar dan terus menanti sampai tabungan saya cukup. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain, ia tidak bisa melanjutkan hubungan kami dan saya tidak bisa memaksa ia untuk terus bertahan. Apalagi saya mendengar dari teman-temannya bahwa ia telah memiliki seseorang di sana yang menggantikan saya. Kemudian saya mulai menjaga jarak dan kami melepas hubungan kami secara baik-baik. Selama setahun (1 tahun) saya berjuang mendapatkan restu orang tua untuk kembali bergabung ke Seminari. Setelah mendapatkan restu dari orang tua, dengan bantuan ibu Sri, Suster Florentina PIJ dan teman-teman yang menolong saya melakukan pendekatan kepada orang tua saya khususnya mama, saya akhirnya diizinkan bergabung di Seminari Menengah St. Laurensius Ketapang. Saya juga mendapatkan dukungan penuh dari Manager saya di Nevada Ketapang Hotel Bpk. SR. Enrico untuk menjadi calon imam. Beliau selalu meminta saya untuk mendoakannya jika saya kelak sudah menjadi seorang Imam. Tentu, saya menangkap peristiwa-peristiwa ini dari kacamata iman saya, tidak ada yang kebetulan, Tuhan telah mengantarkan saya kembali kepada-Nya.

D. PROSES PENGOLAHAN PANGGILAN
1. AWAL KETERTARIKAN MENJADI CALON IMAM
Awal ketertarikan saya menjadi calon pastor adalah ketika saya menginjak bangku SMP sekitar kelas 2 pada saat saya menjalani Katekumen. Saya begitu terkesima setiap kali misa di Katedral karena jubah pastor terlihat keren saat itu, sangat menarik hati, selain itu saya juga kagum dengan bagaimana para pastor dalam homili menyampaikan kotbahnya. Dan, saya tertarik karena rata-rata para pastor bisa bernyanyi mulai dari awal pembuka misa, tanda salib yang dinyanyikan dan setelah misa, umat ramai-ramai menuju kepada imam untuk minta berkat. Di situlah saya merasa menjadi Pastor sungguh menyenangkan bisa dekat dengan banyak orang, disegani dan melayani umat dengan sepenuh hati. Dalam perjalanan waktu, saya memasuki masa remaja dan saya mulai mengikuti kegiatan OMK, di situ saya mulai mengenal Romo Yuli, Romo Pamungkas, Romo Lintas, Romo Is, Romo Ubin, dan teman-teman koster yang melayani Keuskupan, Kek Lantum. Para teman yang bekerja di Keuskupan penuh sukacita dalam melayani, dan mereka juga kagum pada kehidupan para romo yang sederhana dan mengasyikkan. Romo yang paling saya kagumi waktu adalah Romo Pamungkas, karena Romo ini sangat dekat dengan anak-anak muda, pemikirannya mirip orang muda dan nyambung jika diajak ngobrol. Beliau juga sama seperti saya, suka bernyanyi dan suara beliau mirip Kak Seto yang biasa menjadi Si Komo. Selain itu, saya juga kagum dengan Romo Yuli yang waktu masih muda, menggebu-gebu saat kotbah dan sangat disegani banyak orang. Karena dekat dengan teman-teman koster, saya jadi terbiasa ikut membantu mereka koster dan juga berbincang dengan para Romo di Pastoran. Selain ikut OMK, saya juga ikut paduan Suara AMBA hingga saya SMA dan beberapa teman-teman kami yang merupakan anggota paduan suara AMBA sudah ada yang menjadi Pastor, mereka Romo Yohanes Endi dan Romo Karel. Sewaktu Romo Yohanes Endi masih frater, kami sering mengobrol dan saling sharing mengenai pengalamannya selama pendidikan calon imam. Sedikit demi sedikit benih panggilan dalam hati saya mulai tumbuh, seiring sifat muda saya yang masih penuh idealisme sehingga motivasi saya pada saat itu belum murni. Berbagai kejadian seperti masalah-masalah hidup, kecelakaan, memahami keadaan keluarga dan banyak hal telah membentuk saya menjadi lebih dewasa. Kemudian saya dibentuk melalui berbagai macam retret rohani, kegiatan rohani, persekutuan doa, turney dan hubungan akrab bersama komunitas bruder, suster dan imam di Keuskupan Agung Pontianak sewaktu saya mulai kuliah. Saya juga mengenal banyak frater yang ada di Pastor Bonus Antonino Ventilignia Pontianak sehingga boleh saling sharing mengenai panggilan. Ibarat seperti tangan, Tuhan telah menangkap hidup saya dan memurnikan motivasi saya. Awalnya saya tergugah karena kondisi Keuskupan kami di Ketapang yang kekurangan imam, sehingga membuat saya sungguh-sungguh ingin menjadi imam dan membantu dengan menyerahkan diri saya sebagai calon imam. Namun setelah mengalami pembinaan di Seminari Menengah St. Laurensius, saya banyak merenung dan merefleksikan panggilan saya lebih dari sebagai sikap keprihatinan tetapi oleh karena rasa Cinta saya pada Kristus dalam hidup saya, maka saya ingin melayani Dia yang disalibkan karena dosa kita semua melalui pelayanan terhadap sesama. Melalui peneguhan dari Bapa Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi, hati saya dibukakan untuk menerima Kristus secara total supaya kelak tidak mendapatkan kekecawaan sebab motivasi saya masih belum murni dan hanya sikap keprihatinan semata. Saya sangat berterima kasih atas bimbingan Romo Budi, Romo Frans, Frater Tono dan teman-teman Seminaris yang banyak mengajarkan saya tentang arti panggilan yang sejati.

2. PEMBINAAN DI SEMINARI MENENGAH
a. Manusiawi
Selama saya menjalani pembinaan calon imam di seminari, saya merasakan begitu banyak perubahan dalam diri saya. Dari hidup rohani yang kadarnya biasa-biasa saja, kini tidak hanya menjadi rutinitas tetapi sebagai kerinduan, seperti misa harian, ofisi pagi dan siang hingga completorium, cara hidup berkomunitas untuk saling membantu dan kompak dalam melaksanakan tugas-tugas komunitas, pembelajaran fisik dan mental yang tidak saya dapatkan di tempat pembinaan manapun kecuali di seminari. Selain belajar, saya juga dapat membagikan ilmu yang saya miliki kepada teman-teman yang membutuhkan bantuan. Tugas mazmur dan lektor mungkin bukan hal yang baru bagi saya, tetapi di Seminari kita harus lebih kreatif untuk belajar dari mempelajari orang lain. Maka, awalnya yang tidak bisa menjadi bisa karena pengamatan dan pembelajaran langsung di sana. Saya juga tekun berdoa, menulis refleksi harian, membaca literasi-literasi dan membuat laporan literasi, yang awalnya terlihat sebagai kewajiban berat kini telah menjadi hal yang menyenangkan. Selain itu hidup berkomunitas, kita tidak bisa mementingkan diri sendiri, sebab di dalam komunitas, kita harus selalu tolong menolong, kompak dan solid agar segala aktivitas di komunitas berjalan dengan lancar. 
Saya sendiri memiliki kekurangan dalam diri saya yakni sikap pikun atau pelupa. Namun di Seminari saya belajar untuk lebih banyak mencatat agar kekurangan saya tersebut tidak menjadi penghambat saya melangkah maju lebih jauh nantinya.
Setelah saya masuk Seminari, saya tidak lagi menjalin hubungan dengan lawan jenis karena saya sudah memutuskan untuk fokus pada pendidikan calon imam yang akan saya jalani. Adapun itu sekedar sebatas hubungan yang wajar antara saya sebagai calon imam dan mereka sebagai umat. Saya secara sadar sudah tahu apa konsekuensi menjadi seorang Frater apalagi saya sudah cukup memiliki pengalaman soal pacaran, jadi hal tersebut cukup menjadi sharing saya kepada teman-teman seminaris. Sebagai laki-laki normal, tentu saya masih menyukai lawan jenis, namun saya harus tahu pada diri saya sendiri. Tahu pada apa yang saya pilih dan putuskan, maka saya berjuang terus untuk maju pada jalur yang benar agar tidak mengalami kegagalan untuk kedua kalinya, walaupun saat itu karena sakit, apalagi jika gagal karena perasaan. Saya tidak mungkin mengorbankan cinta Tuhan hanya karena cinta manusia.
Puji Tuhan, sebelumnya saya adalah orang yang mudah sakit, tetapi selama di Seminari, saya seolah-olah mendapatkan kekuatan dari Tuhan untuk kuat dari berbagai macam penyakit, meskipun terkadang masih mengalami pilek, batuk dan sakit perut. Hal tersebut bukan suatu masalah bagi saya. 

b. Rohani
Saya sangat menyadari dengan sungguh bahwa kehidupan rohani merupakan pondasi yang sangat penting dalam proses panggilan saya sebagai calon imam. Maka di dalam kelemahan saya selalu berusaha untuk sekuat tenaga untuk menjiwai kehidupan rohani. Misalkan ketika hasrat malas mulai menguasai saya, maka saya akan memaksa tubuh fisik saya untuk bangkit, entah itu bangun tidur saat pagi hari, membuat refleksi harian dan membuat laporan literasi. Semua itu butuh perjuangan keras untuk bisa menjadikannya sebagai kebiasaan yang baik.
Kebiasaan literasi sendiri membuat saya menjadi semakin menggiatkan hobby saya untuk membaca di Perpustakaan serta membuat jurnal penelitian. Ada begitu banyak buku-buku rohani yang bisa saya baca di Seminari sehingga semakin memperkaya pengetahuan saya tentang hal-hal rohani yang sangat berguna bagi kehidupan nyata dan juga panggilan saya sebagai calon imam. Saya sendiri juga berharap, melalui teman-teman Seminaris saya dibantu untuk semakin memperdalam hidup rohani. 
Di Seminari, saya selalu mendengar kotbah atau homili serta sharing dari Romo dan juga teman-teman. Maka dari situ saya juga bisa memahami pengalaman-pengalaman rohani yang menjadi motivasi, pesan-pesan baik, teguran-teguran serta nasehat-nasehat yang membangun. Saya juga menjadikan kotbah/homili/sharing tersebut sebagai bahan perenungan saya agar bisa bertolak lebih dalam ke dalam sisi pribadi saya untuk diubah semakin lebih baik. Awalnya motivasi saya sebatas kagum atas sosok imam, kini berubah drastis dengan lebih memahami bahwa Tuhan Yesus begitu mengasihi saya dengan rela mengorbankan diri-Nya demi saya yang hanya seonggok debu yang tak berguna. Dengan menyerahkan diri saya sebagai calon imam, inilah cara saya untuk membalas Tuhan dengan mengasihi-Nya seperti diri sendiri dengan sepenuh hati dan jiwa, daya dan kekuatan, pikiran dan akal budi serta perhatian yang lebih melalui hal-hal sederhana yang saya lakukan dengan perhatian yang besar. Semuanya itu bukan demi diri pribadi, melainkan hanya untuk kemuliaan Allah yang paling besar. 

c. Sosok Imam, Menurutku
Sosok Imam yang saya damba-dambakan tentu saja tidaklah terlalu jauh dengan citra Kristus sebagai gembala dan Imam Agung. Sosok imam yang saya dambakan adalah sosok yang penuh kasih: murah hati, rendah hati, tidak menyombongkan diri, hidup doa yang kuat, tidak memegahkan diri, sederhana dan tidak memandang siapapun dari derajat, kedudukan dan martabatnya, serta bisa diandalkan setiap saat, kapanpun dan di manapun. Seorang Imam yang tahu membaca situasi zaman, kreatif, pandai menilai orang dari sisi baiknya, dan tidak mudah untuk menghakimi karena kekurangan seseorang. Citra imam yang penuh kasih ini saya harapkan bisa menjiwai panggilan saya orang yang penuh kekurangan ini untuk semakin bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dan bisa menjadi contoh serta teladan bagi Umat. 

3. PEMBINAAN DI SEMINARI TINGGI
a. Rohani
Saya bersyukur boleh merasakan proses yang luar biasa di Seminari Tinggi San Giovanni XXIII Malang. Ketika saya tingkat satu, saya mengalami aneka macam pembimbingan secara rohani baik dalam rutinitas yang sudah dilatih sejak Tahun Orientasi Rohani (TOR) hingga sekarang. Saya tidak mengalami kesulitan untuk menyusaikan diri karena pembinaan rohani di Seminari Tinggi tidak jauh berbeda dengan pembinaan di Seminari Menengah. Hanya saja, saya menemukan ritme rohani diri saya sendiri dengan melaksanakan devosi khusus kepada Bunda Maria melalui Rosario dan Doa di Depan Salib. Doa di depan salib ini mulai saya lakukan kembali di setiap  doa-doa pribadi saya. Dahulu ketika bergabung bersama di Ordo Fransiskan Sekuler (OFS) saya sering mendoakan ini setiap memulai pekerjaan. Do aini mengingatkan saya betapa saya harus berkomitmen terus menerus demi Kristus yang telah mengurbankan diri-Nya di kayu salib untuk menebus doa-dosa saya dan seluruh dunia. Sementara doa Rosario, menjadi doa yang saya lakukan ketika saya tidak tahu lagi harus melakukan apa di tengah kekeringan hati. Puji Tuhan, saya dapat melalui persoalan-persoalan hidup dengan tenang melalui ritme doa yang demikian, selain rutinitas doa seperti ibadat harian. Namun kekuatan harian selalu saya temukan dalam Ekaristi. Tidak peduli saya mengalami kelelahan karena tugas-tugas yang menumpuk, meski tidak sering, saya tetap hadir, dan saya yakin dan percaya, Ekaristi memberi saya daya dan kekuatan untuk menjalani hari-hari saya di Seminari.

b. Kepribadian
Di Seminari Tinggi, saya juga mencoba menemukan bakat yang relevan dan sesuai dengan kehidupan saya sebagai calon imam. Saya menekuni literasi, menulis berbagai macam artikel reportase di majalah-majalah Katolik, membuat opini di media-media online, dan membuat jurnal penelitian publikasi di berbagai jurnal universitas yang ada di internet. Saya berpikir bahwa menulis merupakan sebuah pekerjaan keabadian. Dari menulis, saya meninggalkan jejak dan sejarah hidup saya. Melalui menulis saya bisa mencurahkan apa yang saya pikirkan sampai apa yang saya rasakan. Saya menulis bukan untuk mencari ketenaran, tetapi saya menulis untuk meluangkan sisa-sisa hidup yang saya jalani untuk hal yang berguna. Saya menyadari bahwa menulis tidak lagi menjadi hal yang menarik bagi orang-orang zaman sekarang karena trend yang begitu cepat, hal yang viral lalu menghilang sehingga orang sulit untuk menemukan makna dari dirinya sendiri dan kehadirannya di dalam dunia ini yang harusnya melahirkan makna yang ada di sekelilingnya. Tetapi saya mencoba melawan arus, dengan menekuni bidang ini agar saya tidak jatuh pada pemikiran instan yang hanya menerima begitu saja informasi yang ada dan meyakininya tanpa mencoba memikirkannya kembali, merefleksikannya dan menemukan arti mendalam dalam hidup ini. Selain itu, saya juga melatih kemampuan paduan suara, menekuni hobby bersepeda, dan lain-lain. Saya juga masih dan sedang berjuang melawan kecenderungan negative diri sendiri yakni rasa malas dengan cara untuk tidak malas, sesederhana itu. 

c. Intelektual
Intelektual bagi saya hal yang sangat penting selain kerohanian di mana saya harus mempertanggungjawabkan apa yang saya ketahui, apa yang saya pahami dan akan saya bagikan kepada orang-orang. Saya sangat takut apabila saya membagikan kepada orang-orang informasi yang salah. Maka dari itu, saya sebisa mungkin menyeimbangkan ritme hidup rohani juga dengan ritme hidup intelektual. Saya berusaha menahan kantuk di kelas dan mencatat dalam bentuk ringkasan agar saya mudah memahami pelajaran. Saya juga terkadang berdiskusi dengan beberapa teman yang saya anggap mumpuni di bidang intelektual agar mendapatkan cakrawala yang lebih banyak dari sudut pandang orang lain. Selain itu, saya juga berusaha keras untuk tidak menunda-nunda pekerjaan yang diberikan dosen. Maka dari itu, saya termasuk orang yang cukup disiplin dalam menyelesaikan tugas di mana pemikiran SKS (Sistem Kebut Semalam) mulai menjangkiti setiap anggota di tingkat saya, saya melawan arus untuk menyelesaikan secepatnya, bukan dengan asal-asal tetapi denganpengerjaan yang serius. Saya juga memberikan sumbangan intelektual dari berbagai lomba-lomba menulis dan artikel-artikel jurnal dengan berkolaborasi bersama dosen. Selain melaksanakan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi, kesempatan semasa kuliah saat ini adalah juga kesempatan untuk berkarya di mana ketika menjadi imam mungkin akan memiliki waktu yang sedikit untuk berkarya dan meneliti. 

d. Pastoral
Saya juga bersyukur bahwa bidang Pastoral menjadi salah satu hal yang digiatkan di dalam Seminari Tinggi. Mulai dari tingkat satu, saya boleh merasakan pastoral rumah, mengenal para Romo, para karyawan, staf-staf dan sesama anggota komunitas. Saya juga mengenal lingkungan dan situasi unit yang terdiri dari aneka macam basis baik tingkat, keuskupan, hingga regio. Pada tingkat dua, saya diberi kesempatan untuk pastoral sekolah, meskipun sebenarnya pastoral sekolah tidak wajib untuk mengajar tetapi juga mengenal lingkungan sekolah, tetapi saya dan teman-teman yang satu tempat pastoral dengan saya diberikan kesempatan untuk mengajar siswa-siswi kelas XA dan XB di SMAK Frateran Malang. Beberapa kesempatan saya gunakan untuk mengenal kepala sekolah, staf karyawan, para guru dan siswa-siswi di SMAK Frateran. Saya juga berinisiatif untuk berkenalan dengan para Frater BHK yang melayani siswa-siswi di SMAK Frateran dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Frater-Frater BHK di bawah Yayasan Mardi Wiyata. Saat ini, di tingkat tiga kami masih menunggu untuk melaksanakan Pastoral Lingkungan karena masih harus menunggu kepastian dari Romo Adam selaku Pastor Paroki Ijen Malang. Dalam situasi ini, kami difasilitasi oleh Seminari untuk mengikuti kegiatan Psikologi Pengenalan Diri bersama Romo Teguh setiap hari Kamis. Saya sangat beruntung, karena waktu yang “kosong” tersebut dapat diisi oleh kegiatan yang membangun. Ilmu psikologi ini sangat menarik dan memberikan saya gerakan hati untuk tidak mudah menghakimi orang karena setiap manusia tentu saja mengalami problem-problem hidup semasa kecil yang mempengaruhi sifat dan karakter di masa kini. 

e. Komunitas
Dalam Komunitas terbagi menjadi beberapa basis. Pertama kehidupan komunitas dalam basis tingkat. Saya merasa bersyukur karena memiliki konfrater tingkat yang sangat solid, walaupun kadang cekcok, namun masih dalam batas kewajaran dan situasi bercanda. Dalam perjalanan waktu, satu dari 35 anggota tingkat 3 projo berkurang karena mengundurkan diri. Meskipun begitu, tali silaturahmi di antara kami yang sudah keluar tersebut dan kami yang masih menjalani formatio tetap berlanjut hingga sekarang. Kedua, kehidupan komunitas dalam basis keuskupan. Saya juga bahagia karena memiliki konfrater Keuskupan yang peduli dan paham situasi Keuskupan di mana kami memang berasal dari aneka paroki di Keuskupan Ketapang, tetapi sikap tenggang rasa, kekeluargaan, pengertian masih terasa di antara kami. Kami juga tidak segan untuk saling mengingatkan apabila ada konfrater keuskupan yang mengalami masalah sehingga semuanya dapat diatasi bersama-sama. Ketiga, kehidupan komunitas dalam basis unit. Begitu juga dengan basis yang paling unik ini. Selama tiga tahun terakhir, sudah mengalami tiga kali pindah tempat dengan anggota unit yang berbeda-beda ada pula yang di tahun ketiga kembali dengan anggota yang dulunya di unit yang sama. Di basis unit ini terjadi dinamika paling dekat di mana semuanya terasa seperti rumah sendiri di basis unit. Kami melaksanakan piket unit, pertemuan unit, ibadat setiap Selasa dan Sabtu, semua anggota unit berjalan bersama. Di unit kami saling membangunkan apabila ada yang sudah bangun duluan. Di basis unit ini, sikap pengertian seperti saudara di rumah lebih terasa karena dinamika harian yang terjadi setiap saat. Meskipun demikian, saya juga biasanya membuka diri untuk menerima orang lain di unit berbeda untuk bertukar pikiran, memperbaiki komputernya dan mendengarkan masalah meskipun tidak mengatakan apapun. Keempat, kehidupan komunitas dalam basis regio. Mungkin basis ini tidak terlalu hidup karena merupakan basis yang cukup luas dan dari beberapa keuskupan. Dua tahun lalu, pernah ada kepengurusan tingkat regio dan beberapa dinamika kegiatan hidup sewaktu ada acara komunitas bidang studi, cangkrukan, dan renungan mingguan regio Barat. Namun saat ini, regio Barat secara de jure tetap ada keberadaannya, namun secara de facto, semuanya berjalan sesuai keuskupannya. Dan terakhir, komunitas raksasa Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni yang dikepalai oleh Ketua Komunitas di bawah Rektor dan para formator. Komunitas inilah yang paling berpengaruh besar dan acapkali memiliki aneka macam kegiatan-kegiatan yang membangun. Di tahun ketiga ini, saya dipercayakan sebagai Ketua Seksi Komputer di mana bidang inilah keahlian saya dapat disalurkan. Saya berusaha untuk mencoba memberikan sumbangsi bagi komunitas terutama dalam menyediakan jasa perbaikan computer, pelatihan mesin sitasi, perawatan ruang lab, dan penyediaan alat-alat computer. Ini bukan tugas utama saya, tetapi selama pengalaman saya tiga tahun di Seminari Tinggi, saya bersyukur mampu menolong banyak Frater yang kebingungan ketika mengerjakan skripsi atau tesis, komputernya blank, tidak bisa mengetik, tiba-tiba mati dll. Saya bersyukur, karena kebaikan Tuhan melalui orang tua saya yang mempercayakan saya untuk kuliah dan memutuskan bergabung di Seminari, menjadi rantai rahmat untuk menolong sesama pejuang panggilan. Saya merasakan bahwa hal tersebut cukup sederhana, tetapi ternyata membawa dampak besar bagi orang banyak.  Hal-hal sederhana yang dilakukan dengan kasih yang besar tentulah tidak akan pernah sia-sia, demikian St. Theresia Lisieux memberikan inspirasi saya dari pemikirannya yang sederhana dan bermakna dalam sekali. 

E. REFLEKSI
Setelah saya mengalami proses di Seminari, saya merasakan dengan sungguh bahwa apa yang diajarkan dan pembinaan yang dilaksanakan di Seminari mempengaruhi pola hidup saya ke arah yang sangat positif. Saya sangat menikmati segala macam pembinaan yang diberikan di Seminari dan tentu saya merasa sangat nyaman menjalani proses tersebut. 
Saya juga bersyukur karena begitu banyak orang-orang yang mendukung saya di Seminari, terutama orang tua saya, para donatur, teman-teman dan sahabat serta mereka yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Saya merenungkan bahwa beginilah cara Tuhan memanggil saya untuk berpartisipasi di dalam pelayanan. Meskipun mereka tidak bisa memberikan buah hati mereka untuk Tuhan, tetapi melalui rejeki yang mereka bagikan, mereka juga ikut ambil bagian dalam mendukung panggilan saya dan teman-teman yang ada di Seminari. Sehingga persembahan mereka untuk Tuhan dapat berupa materi maupun non materi. Sehingga, saya memahami serta menyadari betapa besar perjuangan mereka untuk kami semua di Seminari. Saya selalu berharap agar mampu membalas kebaikan mereka dengan sungguh-sungguh menjalani pendidikan calon imam dengan baik serta memberikan hidup saya kepada Tuhan sepenuhnya.
Selain itu, saya juga dibimbing oleh Romo dan Staff Seminari Tinggi San Giovanni XXIII Malang. Bagi saya, mereka adalah perpanjangan tangan Tuhan yang membimbing saya secara langsung di sini serta mengarahkan hidup saya pada Imamat. Mereka adalah alter Yesus, Yesus sendiri yang hadir bagi saya yang membimbing dan mengantarkan saya ke arah yang benar. Selain itu, mereka menjadi orang tua kedua bagi saya di sini, oleh karena itu saya harus taat dan patuh kepada mereka sebagaimana saya taat dan patuh kepada kedua orang tua saya. Mereka telah mengorbankan waktu, tenaga, kesempatan secara rela untuk perkembangan hidup rohani saya, maka sebagai anak saya akan memberikan yang terbaik untuk mereka.
Pembinaan di Seminari sangat luar biasa dan baik. Selama pembinaan banyak sekali perkembangan dan hal-hal baru yang saya temukan di sini. Saya telah memiliki hidup yang baru di dalam pembinaan ini, jauh berkembang dan dibandingkan sebelumnya. Oleh karena itu, Seminari menjadi tempat yang baik untuk penyemaian panggilan yang paling baik. Tentunya saya berharap semoga benih panggilan kami dapat tumbuh berkembang serta menghasilkan buah yang banyak.
Saya tetap konsisten dan akan terus memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya dalam rahmat Tuhan. Saya tidak akan serta merta menggaungkan diri pribadi sebagai kekuatan utama, tetapi Tuhanlah yang menjadi penggerak dan motivasi saya untuk terus menyerukan panggilan ini setiap waktu. Disolasi ataupun Konsolasi, adalah hal yang wajar. Tetapi saya tidak akan pernah menyerah berjuang dalam formasi hingga sampai ke tujuan imamat sama seperti Tuhanku yang berjuang memikul salib ke puncak Golgota. Maka banyak hal yang harus saya persiapkan agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik terutama kemantapan diri, mental, dan juga fisik. Tentunya semua itu bukan dari kekuatan saya semata, tetapi juga karena dukungan doa-doa dari semua orang yang telah mendukung panggilan saya serta kekuatan dari Tuhan Yesus yang senantiasa menyertai saya dalam proses ini. Meskipun banyak halangan dan rintangan di masa depan, saya yakin dan percaya semua akan dapat saya hadapi oleh karena Kristus yang berada di depan hidup saya. Untuk dapat membantu Keuskupan Ketapang, saya hanya butuh konsistensi akan diri saya dan memegang komitmen sejak awal. Segala sesuatu tentunya kembali saya serahkan kepada Tuhan Yesus, karena sebesar apapun kesulitan hidup tidak akan pernah melebihi kekuatan kita. Saya hingga saat ini tetap optimis dan melangkah maju serta konsisten pada motivasi saya sejak awal untuk melangkah menuju jalan Imamat. Sebab saya percaya, rencana Tuhanlah yang paling indah yang sudah dipersiapkan untuk saya dan kita semua.

F. PENUTUP
Tulisan sederhana yang saya buat ini juga menjadi refleksi serta perenungan kembali untuk melihat ke dalam diri saya apa saja hal yang perlu saya ubah agar bisa menjadi lebih baik ke depannya. Masa lalu yang pernah saya lalui dahulu telah berkontribusi membentuk kepribadian saya saat ini. Meskipun banyak sekali hal-hal buruk yang telah terjadi di masa silam, itu semua menjadi perenungan yang baik untuk mengajarkan saya bagaimana menjadi manusia yang semakin dewasa dalam menanggapi persoalan dan bertanggung jawab pada keputusan dan pilihan. Ada sisi baik yang terus saya pertahankan namun ada sisi buruk yang harus saya perjuangkan untuk diubah lebih baik dan semua tentu butuh perjuangan keras ibarat sebuah tanah liat yang dibentuk menjadi sebuah guci, harus dibanting, diputar, kemudian dibakar dan dipoles hingga menjadi guci yang sangat indah. Panggilan hidup sebagai imam merupakan suatu pilihan hidup, maka saya harus bertanggungjawab pada apa yang telah saya pilih dan akan saya jalani. Mungkin memang benar, banyak yang terpanggil tetapi sedikit yang terpilih. Sebagaimana saya memperjuangkan sesuatu, maka saya akan berusaha keras agar saya bisa mencapainya, walaupun kita tahu sebesar apapun usaha manusia, semua yang terbaik adalah rencana Allah saja. Namun saya selalu optimis, jika kita ingin menanggapi panggilan Tuhan tersebut, maka pembinaan di Seminarilah menjadi salah satu cara untuk menjawab panggilan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar