Dalam berbagai acara, pesta adat dan kegiatan masyarakat Dayak di Kalimantan, penyajian bir, arak dan tuak merupakan kebiasaan yang lazim dilakukan. Bukan hal yang tiada artinya banyak pemimpin dan tokoh adat Dayak melakukan kebiasaan ini. Karena memang dalam menjamu para tamu undangan, baik bir, tuak dan arak merupakan pemersatu semua kalangan tanpa pandang bulu. Baik tuan rumah maupun tamu undangan ketika disuguhkan minuman-minuman tersebut harus mencicipinya walau sedikit saja sebagai bentuk rasa hormat satu dengan yang lain. Akan tetapi dalam hal ini selalu ada aturan yang perlu dijaga oleh setiap orang ketika disuguhi oleh air hidup ini. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, tokoh masyarakat menyarankan untuk tidak minum sampai mabuk sehingga kondisi keamanan di sekitar tetap dijaga bersama-sama.
Sebagaimana di setiap daerah, memiliki minuman khas tersendiri. Khusus di Kalimantan Barat, minuman yang dijadikan sebagai ciri khas masyarakat Dayak adalah tuak. Sebagaimana daerah lain di luar Kalimantan, minuman brem dari Bali, Medan, Solo hingga Papua memiliki minuman beralkohol khas buatan daerahnya. Dalam setiap pertemuan, tuak senantiasa disuguhkan sebagai pelengkap makanan. Jika tidak tersedia, alternatif yang dapat digunakan adalah bir ataupun arak. Teman dari minuman tersebut tidak jauh dari lemang, tumpi, pulut atau daging yang disediakan. Tak hanya itu, dalam serangkaian acara seperti menari jonggan, ataupun berkondan ria, minuman tersebut menjadi penyemangat dalam setiap rangkaian acara yang dilakukan.
Di berbagai tempat di Kalimantan, minuman beralkohol tersebut tidak semata menjadi ukiran tanpa makna belaka. Ada filosopi yang perlu diketahui agar banyak pihak yang belum mengenal budaya berkumpul ala masyarkat Dayak ini sebagai sisi yang negatif, melainkan juga dari sisi positifnya. Contoh minuman beralkohol masyarakat khas Dayak Ngaju yaitu Baram. Dapat dikatakan untuk mengolah minuman Baram sendiri tidak dibuat secara asal-asalan, asalkan dapat disuguhi saja. Baram sendiri dibuat dari berbagai rempah-rempah yang sangat baik bagi kesehatan seperti laos, uhat tingen, lengkuas, merica uhat pinang, uhat enyuh, pala, kayu manis, lombok, bawang putih dan lain-lain. Untuk membuat Baram sendiri perlu melakukan pantangan-pantangan dan menentukan hari yang baik misalkan dibuat pada saat suasana damai, tidak boleh dalam suasana bertengkar, bahkan hewan berkelahi pun seorang pembuat Barang dilarang meraciknya. Tak hanya itu, jika ada keluarga meninggal, tidak diperbolehkan membuat Baram, hal tersebut dipercaya dapat mempengaruhi rasa maupun kematangan Baram dan mempengaruhi emosi bagi orang yang meminumnya.
Sedangkan di tempat penulis sendiri yaitu daerah Engkadin, Kecamatan Nanga Tayap Kabupaten Ketapang minuman tuak memiliki filosopinya sendiri. Minuman khas hasil fermentasi nira atau beras ketan ini biasanya disajikan dalam kondisi kebersamaan. Tuak tersebut menjadi lambang kekeluargaan dan persahabatan. Dalam acara kekeluargaan biasanya meminum tuak dengan cara yang khas yaitu dengan menghisap tuak di dalam tajau (guci). Minum tuak dengan cara tersebut merupakan lambang kehormatan antara satu dengan yang lain sehingga pada akhirnya akan mendapatkan giliran yang sama untuk meminum tuak di dalam tajuk. Berbeda dengan mabuk jalanan dan mabuk dalam acara kebersamaan, mabuk tuak dikontrol baik secara pribadi maupun komunitas. Oleh karena itu, minuman tuak sendiri tidak diperjualbelikan secara bebas ke khalayak ramai jika tidak diketahui untuk apakah minuman tersebut digunakan. Masyarakat Dayak sendiri tentunya tidak mau mengambil risiko untuk mabuk diluar kontrol, karena saksi hukum adat untuk hal tersebut tidaklah murah dan gampang.
Baru-baru ini terdapat tulisan yang menyatakan bahwa uskup di Kalbar sebaiknya menghentikan budaya mabuk-mabukan. Penulis merasa hal tersebut terlalu arogan jika dipandang dari sebelah kacamata belaka. Pemuka agama Katolik khususnya yang memang berasal dari suku Dayak tidak mungkin meninggalkan kearifan lokal yang ada di tengah-tengah umat. Apalagi setelah dipaparkan beberapa filosopi yang berkaitan dengan kearifan lokal, pernyataan yang agak menjurus kepada kata ‘menghentikan’ terlihat seperti tanggung jawab untuk membasmi ‘penyakit’ berbahaya. Sejauh mata memandang, nilai kearifan lokal ini tidak hanya bersifat eklusif dan parsialistik belaka melainkan nilai filosofis yang telah dijaga pemuka adat Dayak sejak zaman dahulu hingga sekarang oleh penerusnya. Alangkah elok jika ranah filosopis budaya yang terkesan diambil kesimpulan pada mabuk-mabukkan dipandang dari satu sudut pandang saja. Karena adat budaya Dayak tidaklah mati, namun hidup dalam mengontrol setiap sudut sosial masyarakat. Bukan sebuah kesalahan, jika di tengah-tengah itu, seorang pemimpin besar umat Katolik menjadi orang yang dihormati oleh masyarakat, ikut ambil bagian dalam tradisi ramah tamah dan kekeluargaan tersebut. Sementara dari sudut agama Katolik sendiri, Yesus Kristuspun berada di tengah-tengah orang ketika pesta digelar, ia tidak menolak mengubah air menjadi anggur yang menjadi salah satu suguhan di kala pesta di Kana. Sementara anggur bagi umat Yahudi merupakan minuman wajib di kala pesta dan bahkan dalam liturgi, anggur menjadi lambang sakral yang mewakili darah Kristus untuk perjanjian baru dan kekal bagi seluruh umat manusia. Nilai kearifan baik anggur di Kana maupun tuak di Kalimantan tidak berbeda yaitu ingin menonjolkan sikap kekeluargaan dan kebersamaan.
Gereja Katolik memiliki pemahaman tersendiri mengenai kearifan lokal. Bagi Gereja Katolik, kearifan lokal merupakan sarana yang baik dalam membangun dialog dan meningkatkan kerukunan dan toleransi. Kearifan lokal yang telah dibangun oleh manusia sejak zaman dahulu telah mengakar dari generasi ke generasi. Gotong royong, kekerabatan, musyawarah dan tepa selira merupakan salah satu unsur kearifan lokal yang telah ada sejak masa yang silam. Bukan menjauhi hal tersebut, Gereja malah memberikan perhatian besar untuk mempertahankan kearifan lokal sebagai hal yang perlu dilestarikan. Sebagaimana ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II, Gereja harus mampu memberikan nilai-nilai kekristenan, dan pada saat yang bersamaan mengambil nilai yang baik dari budaya yang ada dan memperbaharuinya dari dalam. Maka dari itu, Gereja Katolik harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat tanpa mengorbankan nilai-nilai Katolik. Hal ini merujuk pada inkulturasi yang terus menerus diperjuangkan oleh Gereja Katolik berdasarkan dua dokumen yaitu Redemptoris Missio: Chap. : The Paths of Mission, Paragraph 52: “As she carries out missionary activity among the nations, the Church encouters different cultures and become involved in the process of inculturation (Saat melaksanakan aktivitas misionaris di antara bangsa-bangsa, Gereja menemukan budaya yang berbeda dan terlibat dalam proses inkulturasi). Selanjutnya, KGK 854 mengatakan, dalam perutusannya, Gereja menempuh perjalanan bersama dengan seluruh umat manusia, dan bersama dengan dunia mengalami nasib keduniaan yang sama. Gereja hadir ibarat ragi dan bagaikan penjiwa masyarakat manusia, yang harus diperbaharui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga Allah.” (GS 40,2) Maka dari itu misi Evangelisasi pasti akan bersentuhan dengan manusia yang mempunyai peradaban, budaya yang berbeda-beda, maka Gereja akan memberikan nilai pengajaran kemudian mengambil unsur-unsur baik yang ada dalam budaya lokal dan kemudian memperbaharuinya dari dalam.
Nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan yang tercermin dalam kearifan lokal masyarakat Dayak inilah yang ingin semakin didekati oleh Gereja Katolik. Budaya berkumpul bersama dengan disuguhi berbagai aneka makanan dan minuman yang menjadi lambang persatuan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan begitu saja. Suguhan pesta dikomparasikan dengan aksi mabuk-mabukkan jalanan jauh berbeda dengan tujuan akhir yang ingin dicapai. Berbagai pihak sebaiknya berintropeksi terlebih dahulu apabila hendak menyinggung dalam ranah budaya yang menjadi bagian Evangelisasi, bukan menelanjangi sepihak pemimpin umat Gereja Katolik di Kalbar dengan memberikan tanggung jawab yang tidak perlu. Gereja Katolik memiliki ciri hierarkis tersendiri. Tanpa pihak luar manapun, pelayanan Gereja pada pembinaan iman tidak pernah ada intervensi pihak luar ke dalam tubuh Gereja, bahkan untuk ikut campur secara langsung dalam ranah di luar Gereja melalui politik praktis. Ingin melawan lupa, bahwa Gereja Katolik sejak zaman dahulu memiliki peran besar dalam perkembangan sosial masyarakat serta mempertahankan nilai kearifan lokal. Tidak baik arogan ketika pihak di luar Gereja, memberikan pernyataan sepihak dengan mengkonotasikan secara negatif ciri khas pemimpin umat Katolik Kalbar dalam hal ini uskup yang sarat dekat sekali dengan umatnya di manapun ia berkunjung. Karena pendekatan yang saat ini paling baik untuk mengetahui permasalahan masyarakat dan memberikan solusi di Kalbar salah satunya adalah pendekatan pada kearifan lokal budaya setempat. Semoga hal ini dapat menginspirasi kita semua agar gereja tidak disalahartikan sebagai ladang kepentingan apapun. (Sdr. Fransesco Agnes Ranubaya, OFS)