AWAL KARYA KESELAMATAN DI KETAPANG
CATATAN P. LEO DE JONG, O..F.M.CAP. DARI BALIK PENJARA JEPANG DI KUCHING
OLEH RD LAURENTIUS SUTADI DAN AMON STEFANUS (EDITOR)
AMALIA ASTARI, RISKA RISDIANI DAN RIANTI MANULLANG (PENERJEMAH)
KEUSKUPAN KETAPANG 2019
---
PENGANTAR SERI SEJARAH KEUSKUPAN KETAPANG
Seri Sejarah Keuskupan Ketapang merupakan sebuah usaha untuk mengenal kembali bagaimana Allah telah berkarya untuk membawa umat-Nya pada damai sejahtera yang sejati melalui utusan-utusan-Nya yang menyebarkan Kabar Gembira tentang Yesus Kristus di Keuskupan Ketapang. Buku-buku yang diterbitkan dalam seri ini boleh dikatakans ebagai kelanjutan amat jauh dalam tataran lokal dari Kisah Para Rasul yang ditulis oleh penginjil Lukas dan Historia Ecclesiae (Sejarah Gereja) karya Eusebiuss dari Kaisarea (275-335 M)
Sebenarnya peristiwa-peristiwa yang telah ditata dalam urutan waktu dan tempatlah yang membentuk jati diri seseorang atau sebuah kelompok. Dengan demikian Seri Sejarah Keuskupan Ketapang dapat dilihat sebagai usaha merumuskan secara lebih terang identitas Gereja Keuskupan Ketapang. Dengan membaca buku-buku dalam Seri ini diharapkan para pembaca, khususnya umat Keuskupan Ketapang dapat semakin mengetahui identitas sebagai pengikut Kristus dengan lebih konkret.
Penanggung Jawab Seri
Laurensius Sutadi
Amon Stefanus
---
KATA PENGANTAR
"Stasi Tumbang Titi didirikan oleh para misionaris Kapusin pada tanggal 1 Mei 1938 sewaktu mereka ditahan di Kuching selama penjajahan di Jepang, mereka menulis laporan ini, Mgr. Segala perjalanan mereka selama mereka berkarya di daerah Matan, dan sebelum pembentukan stasi Tumbang Titi, sampai mereka ditahan dan diinternir di Kucing.
Ada usaha supaya tulisan ini diterjemahkan dalam bahasa Indoensia demi kepentingan segala imam/relijius/katekis di Keuskupan Ketapang supaya tahu sejarahnya.
Rupanya ada dua versi, yang tidak banyak berbeda dan bisa saling melengkapi" (P. Vitalis Fraumau, C.P.)
Tulisan P. Vitalis di atas ditemukan pada map di mana ia menyimpa arsip Stasi Tumbang Titi yang disusun oleh P. Leo de Jong, O.F.M.Cap. Ia memberi tahu saya bahwa arsip yang sangat berharga itu ia simpan di Biara Pasionis di Ketapang. Saya lalu menanyakan pada P. Krisantus, C.P. superior biara Passonis Ketapang. Ia menemukannya tersimpan di sebuah kotak di gudang biara.
Sesuai dengan harapannya lalu diusahakan untuk menerjemahkan teks berbahasa Belanda ini ke dalam Bahasa Indoensia. Hal ini tidak mudah karena semakin sedikit orang Indonesia yang menguasai Bahasa Belanda. Penerjemahan ini dilakukan dengan bantuan Amalia Astari, Riska Risdiani dan Rianti Manullang serta dengan memanfaatkan google translate sentence di sana-sini.
Terjemahan ini merupakan perpaduan antara dua versi memoar yang ditulis oleh P. Leo de Jong. Apa yang tidak ada pada versi pertama dilengkapi oleh apa yang ada pada versi kedua.
Catatan-cactatan dari kamp interniran Jepang ini dibukukan sebagai buku pertama dari Seri Sejarah Keuskupan Ketapang. Ia muncul kemudian sebagai buku dibandingkan buku kedua dari Seri Sejarah Keuskupan Ketapang karena menerjemahkan ternyata memerlukan waktu yang lebih lama daripada sekedar menyalin ulang sebuah teks. Seri nomor 2 yang memuat catatan-catatan P. Bernardinus Knippenberg, C.P. tentang karya misi para Pasionis dalam rentang waktu 1946-19978 ini ditulis dalam Bahasa Indonesia. Sedangkan buku yang berada di tangan Anda ini menceritakan karya misi sepanjang periode 1911-1942. Sampai sejauh ini kami belum memiliki informasi tentang situasi Gereja di Ketapang pada zaman pendudukan Jepang 1942-1945.
Seperti diharapkan oleh P. Vitalis, semoga para pelayan Gereja dan umat Keuskupan Ketapang pada umumnya semakin memahami jati dirinya lewat pengenalan terhadap sejarah bagaimana Allah hadir di pedalaman Ketapang untuk membebaskan orang dari berbagai macam ketertinggalan dan penindasan.
Laurensius Sutadi
---
ARSIP
Untuk Stasi Tumbang Titi
Imitatores mei estote!
(Jadilah pengikutku!)
St. Paulus
Lectori Salutem
(Kepada sidang pembaca: Salam)
Pengantar
Arsip berikut disusun selama masa pengarsipan kami di Kuching (Serawak) berdasarkan ingatan dan catatan-catatan para misionaris dari Boven Matan (Matan Hulu).
Maksud dari arsip ini adalah untuk memperkenalkan dan memberi informasi kepada Kongregasi Pasionis tentang tugas yang telah mereka terima dengan senang hati.
Oleh karena itu di beberapa artikel berikut ini, kami akan menjelaskan keadaan terkini daerah dan masyarakatnya serta temuan kami tentang karya misi di masa lalu.
Kami menampilkan hanya hal yang objektif dari ketertarikan pribadi, situasi, dan keberhasilan dan kegagalan; sebagai presentasi yang berguna untuk dipelajari dan dimanfaatkan.
Ini adalah maksyd dari mereka, yang merupakan perintis dan misionasris di Boven Matan (Matan Atas, Matan Hulu).
Semoga memoar ini dapat diterima oleh Anda dengan tujuan ini: AD MAIOREM DEI GLORIAM (Bagi Kemuliaan Allah yang lebih besar).
Untuk salinan asli
Nyarumkop, 28 Agustus 1946
P. Leo de Jong
---
ARTIKEL I
PEMBAGIAN WILAYAH
Wilayah Ketapang meliputi daerah: Kerajaan SIMPANG, Kerajaan SUKADANA¹ dan Kerajaan MATAN (Matan Hulu dan Matan Hilir). Total luas daerah mencakup 34.600 km².
¹"Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sejak 1936 Kabupaten Ketapang adalah salah satu wilayah (
Jalan-jalannya adalah sebagai berikut:
- Telok Batang - Sukadana - Ketapang (134 km)
- Sandai - Singkoep (168 km)
- Ng. Tajap (Nanga Tayap) - Sg. Keli (23 km)
- Sg. Keli - Sidoek (Siduk) (61 km)
Telefon: Teluk Batang - Soekadana - Ketapang
Pelabuhan Ketapang terletak di bagian utara, yakni Kandang Kerbao.
Wilayah Matan (Matan Hilir dan Matan Hulu) seluas 3/4 wilayah Belanda. Jumlah penduduk Matan Hilir dan Matan Hulu dapat dilihat pada statistik terbaru.
Nama sungai-sungainya antara lain: Pawan, Pesagoean, Kendawangan, Air Hitam, Djelai.
Pembagian Wilayah: Matan Hulu dibagi menjadi 4 wilayah yang diatur oleh Controle Mantries (sekarang Assisten Demang); wilayah-wilayah tersebut adalah: Sandai, Nanga Tayap, Tumbang Titi dan Marau (Manis Mata).
Wilayah Matan diatur oleh pemerintah otonom yang dipimpin oleh Panembahan GOESTI SAOENAN (dibaca: Gusti Saunan) (yang pada 1944 dibunuh oleh orang Jepang). Penguasa yang kuat ini secara terus menerus, selama empat tahun misi kami di sana, selalu menentang kegiatan misionaris. "Devide et impera" adalah kekuatannya, dan mereka melaksanakan instruksi rahasia yang diberikan oleh para Mantri Kontrolir (Assisten Demang) yang tidak bisa dipercaya dan kepala desa yang culas.
KOMPOSISI PENDUDUK
Penduduk Matan Hulu terdiri dari: Suku Dayak, Melayu dan Cina.
- Suku DAYAK terutama tinggal di pedalaman dan termasuk ke dalam kelompok KALIMANTAN dan OT DANUM. Mereka dibagi menjadi suku-suku yang terbagi menurut aliran sungai-sungai utama: Pawan dan Dayak Beginci, Keriau dan Jeka dan Dayak Laur; Tayap dan Dayak Kayong, Pesaguan, Kendawangan dan Dayak Jelai. Sebagian hasil dari klasifikasi acak yang dilakukan sebelumnya; mereka bermigrasi ke daerah yang lebih mudah dikendalikan; perpeecahan kampung disebabkan oleh kepala desa yang ambisius serta relokasi desa yang terlalu sering karena kurangnya penanganan penyakit dan kematia. Hal ini mengakibatkan terkikisnya karakter asli suku Dayak. Semua suku ini tak dapat disangkal dirugikan oleh jejak dominasi Melayu dan juga penindasan oleh pemegang kekuasaan, pejabat pemangsa yang terlalu mengeksploitasi. Orang-orang Dayak telah dirugikan dan dimiskinkan, mereka menjadi bodoh dan terbelakang, cenderung takut dan memiliki mental budak. Relokasi dan peprpecahan telah menghambat dan mencegah kemakmuran. Kemunduran dan kerusakan moral menyebabkan segala macam penyakit. Perilaku abnormal juga ditemukan, terutama di antara anak-anak. Sanjungan dan sistem hormat berlebih untuk mengagung-agungkan kebaikan raja serta perilaku serakah dan tirani di antara keluarga-keluarga Demong dan yang terakhir dan tidak jarang juga muncul kebiasaan-kebiasaan rendah adat yang telah melemahkan masyarakat baik secara fisik maupun moral. Hal ini terjadi di sebagian besar daerah.
- orang MELAYU hidup sebagai nelayan dan pedagang, mendiami kota-kota di dekat pesisir, namun juga tinggal di sepanjang sungai, terutama di mulut sungai. Pada umumnya tempat tinggal mereka lebih baik daripada orang Dayak. Banyak kebun karet dan ternak yang ditemukan di sana-sini. Namun orang Melayu sering berkeliaran di pusat-pusat tempat tinggal orang Dayak, dengan dalih urusan perdagangan, menawarkan bantuan dengan memberi pinjaman uang. Mereka memanfaatkan orang Dayak dengan mengambil untung dari keramahan masyarakat suku ini. Sebagian besar orang Melayu, bagaimanapun, menunjukkan diri mereka sebagai warga yang pendiam, puas dalam pekerjaan mereka, saleh dalam keyakinan agama dan nampaknya bersimpati pada kegiatan misionaris.
- Orang CINA, kebanyakan dari kelompok Tjau-tshaie atau Hoklo, lebih suka tinggal di pemukiman besar dan memegang kendali sepenuhnya atas perdagangan. Mereka memasok semua barang yang diperlukan dan menerima imbalan: beras, karet dan hasil hutan. Orang Cina hidup berdagang dan agama bukan menjadi prioritas bagi mereka.
Di Ketapang, sejak tahun 1911, sebuah jemaat Kristen kecil didirikan, yang secara teratur dikunjungi oleh para Misionaris dari Pontianak dan berkembang menjadi paroki kecil dengan anggota sekitar 80 jiwa.
Di Sandai didirikan sebuah sekolah Cina, namun akhirnya ditutup karena kurangnya minat penduduk sekitar. Dalam pekerjaan misionaris kami, banyak hal baik yang harus dilonggarkan dan banyak hal buruk yang mesti ditoleransi agar tidak melukai ambisi orang-orang licik yang punya banyak kepentingan.
Kasus Sindat, dan pergolakan sekolah Randau, penghinaan di Tanjung dan perusakan di Kepari dan Sungai Kiri dan investigasi yang tidak adil di Serengkah cukup menunjukkan cara-cara rendah yang digunakan untuk memerangi pekerjaan misionaris dan umat Katolik. Meskipun semua tindakan yang memiliki kepentingan politik tersebut, pengaruh kami meningkat dan kekristenan yang masih muda semakin tumbuh pesat, bahkan dengan melakukan tindakan menentang yang membanggakan yakni "belot sama Kerajaan".
---
ARTIKEL II
Pendirian Gereja, Sejarah dan Kegiatan Misi di Daerah Tumbang Titi
Sudah dari bulan April 1938, Pater J. Grinsven (P. Gerardus) berangkat ke Matan Hulu untuk membuat persiapan yang diperlukan (ntuk kegiatan misionaris). Setelah mempertimbangkan dengan hati-hati dengan para pastor misionaris pendahulu, pada tahun 1937 Mgr. H.. J van Valenberg dan P. Gerardus memilih Tumbang Titi sebagai stasi permanen yang pertama. Dengan lima gulden, P. Gerardus menyewa rumah kecil milik Mantri Controleur Setoempoel yang terletak di sudut persimpangan Serengkah-Tanjung. Pada awal Juni 1938 pastor kapelan, Pater A.P. de Jong² (P.Leo) tiba setelah perjalanan tugas yang jauh dari Randau. Rumah sewa itu penuh sesak. Pada tanggal 12 Juni 1938, seluruh isi dari pastoran menerima kedatangan P.J. Denggol dan dua pater misionaris, dua kongos dan dua tamu lagi, yakni Sindat dan Nyalang dari Randau. Semua datang dengan pakaian kotor dan bagasi basah, semua lelah dan lapar setelah perjalanan panjang dan berat sejauh 80 km. Ada keriuhan saat mereka hadir di tempat yang kecil ini.
²Penulisan nama-nama orang tetap dipertahankan dengan menggunakan ejaan lama.
Tidak ada resepsi besar atau makan malam meriah yang menyamput kami, tetapi selembar karton sederhana dengna tulisan "selamat datang di rumah" menunjukkan bahwa kami diterima dan bahwa kami berada di rumah. Di atas kami, kami melihat gantungan pakaian yang dikeringkan dan dijemur serta banyak barang rumah tangga digantung: singkatnya, semua yang bisa digantung, harus digantung (agar tidak memenuhi tempat). Di lantai ada tumpukkan tinggi peti, koper dan alat-alat lainnya: singkatnya segala sesuatu yang tidak bisa digantung. Kami telah tinggal di sini selama 8 bulan, ada poliklinik rawat jalan dan dari tempat ini kami melakukan perjalanan pelayanan di area luas Matan Hulu.
Pendirian Gereja
Tanggal resmi pendirian ditetapkan pada 1 Mei 1938. Mengingat rumah kami sederhana sekali, persyaratan pertama adalah menyiapkan lingkungan yang nyaman dengan bangunan lain di lokasi sebelumnya dibeli. Itu adalah tugas yang sulit untuk P. Gerardus.
Karena jarak dari Pontianak yang jauh dan untuk kepentingan penduduk setempat, bahan bangunan akan diambil sebanyak mungkin dari wilayah tersebut dan Penembahan telah mengambil langkah-langkah untuk membantu hal ini. Sebisa mungkin tdiak ada yang tampak mencari gergaji kayu atau pasokan, karena takut bahwa uang yang diperooleh akan dipotong untuk pajak. Selain itu, kerangka kayu yang digunakan terdiri dari ukuran yang tidak normal dan murah.
Atas saran Mantri, P. Gerardus menyetor uang muka di kantor dan dengan uang ini pula ia segera menarik beberapa kelompok penggergaji pemasok. Lebih dari 1.000 gulden digunakan sehingga dengan demikian secara langsung menguntungkan penduduk.
Pada bulan Oktober 1938, P. Gerardus pergi ke Pontianak untuk mendiskusikan keadaan ini dengan sekolah pertukangan, dan dia kembali bersama seorang tukang Cina yang diperlukan setelah persediaan bahan bangunan yang besar telah terpenuhi. Semua bagian yang lebih besar seperti tangga, pintu, jendela dan pagar serta kebutuhan kapel semua siap dibuat oleh pengrajin, sehingga pekerja Cina dengan mudah dapat menyelesaikan pekerjaan ini. Dengan bala bantuan yang spektakuler dari Pontianak, P. Superior juga beperkgian bersama kami untuk mengenal kehidupan kami dan bekerja di markas baru kami. Pada bulan Februari 1939 bangunan lain telah selesai dibangun. Jumlah total biaya pembangunan markas di Tumbang Titi mencapai 6.000 gulden. Pada bulan September, kapel kami diberkati di bawah perlindungan Santo Paulus dan sejak itu Sakramen Suci juga dapat disimpan.
Peristiwa-Peristiwa
Selama bulan Oktober, Pater Gerardus menderita tifus tropis parah dan dibawa dari perjalanan yang panjang dari Simpang ke rumah, penyakit yang hampir merenggut nyawanya.
Pada bulan ini, P. Elias mengunjungi Matan Hulu untuk mengambil foto daerah misi yang belum dikenal ini, tetapi karena penyakit P. Gerardus ia hanya sedikit berhasil. Pada awal November, P. Gerardus meninggalkan Tumbang Titi berangkat menuju pesisir dan mendapatkan cuti kembali ke Belanda. Desember 1939, P. Martinus datang sebagai pastor pengganti dan di tahun 1939 membuka sekolah di Serengkah, Tandjoeng, Randau dan Kepari. Di musim semi 1940, Mgr. V. Valenberg merencanakan bersama dengan beberapa Bruder dari Huybergen untuk mengunjungi markas kami, tetapi kareena perang dan jatuhnya Belanda pada bulan Mei rencana ini ditunda.
Rapat Guru
Pada liburan Agustus 1941, diadakan rapat para guru di Tumabgn Titi, didahului dengan retret singkat. Ceramah yang diberikan dalam rapat ini adalah:
Guru Bantang: Tentang pendidikan dan wewenang orang tua di kampung.
Guru Rehal: Tentang hubungan antara Islam dan Katolik
Guru Tjoroh: Tentang adaptasi adat dalam agama
Guru Sawat: Tentang memperoleh pekerjaan di kampung.
Guru Paoleng dan Ringkat juga hadir, tetapi Guru Rehal tidak dapat hadir. Pada bulan Desember 1941 Mgr. mengadakan perjalanan panjangnya ke Matan Hulu. Dia memberi Sakramen Krisma di Serengkah dan Tanjoeng, tetapi karena keadaan dia tidak bisa mengunjungi Randau.
Hingga 1942, semua pekerjaan berjalan seperti biasanya, tetapi kemudian misi benar-benar ditangguhkan karena rumor perang. Pada bulan Februari 1942 seluruh wilayah diliputi kegemparan karena kedatangan pegawai negeri dan petugas keamanan kota Pontianak dengan peralatan radio dan segala macam bahan perang Kami juga pindah untuk memperbaharui Serengkah.
Namun pada hari ke-2 Pentakosta tanggal 25 Mei, kepergian kami yang menyedihkan dari Serengkah juga terjadi karena sebuah panggilan telefon dari Panembahan Matan. Secara tegas dikomunikasikah bahwa sesedikit mungkin barang dibawa, karena sisanya bisa dikirim. Atas sarannya obat dibawa dan barang yang lain dikemas. Dari 29 Mei hingga 2 Juni 1942 kami tinggal di kamp interniran Ketapang bersama dengan Jut dari Sanggau dan para wanita, yakni Ledeboer dan Veisma yang tinggal di Serengkah. Dari 4 Juni hingga 14 Juni kami tinggal di Pontianak dan tiba 16 Juli 1942 di Kuching, Serawak.
Kegiatan-Kegiatan
Sebelum tahun 1938, Matan Hulu dua kali dilayani setahun dengan perjalanan tugas dari Pontianak. Perjalanan yang penting adalah antara lain, perjalanan Pater Marcellus, yang ditahun 1933 (atau 1934) mengunjungi Simpang Hilir setelah perjalanan di Matan; perjalanan P. Gerardus, yang pada tahun 1934 (1935) yang juga melintasi bagian Sukadana di Simpang Hilir dan kemudian mengadakan perjalanan ke Laoer dan Matan Hulu.
Pada 2 November - 29 Desember 1936 P David melakukan perjalanan dari Sintang sepanjang Oeloe Pinok, Oeloe Ppawan, menyeberangi Hulu Matan dan kemudian kembali sepanjang Oeloe Laoer dan Sekadau kembali ke Sanggau dan Sintang.
Pada bulan Mei 1937 Mgr. Valenberg dan P. Gerardus mengadakan perjalanan ke Matan Hulu sehubungan dengan pembentukan stasi-misi di Tumbang Titi dan menuliskan temuannya dalam memorandum yang terkenal. Pada tanggal 1 Mei, 1938 secara resmi (gereja) didirikan.
Setelah tahun 1938, tahun pertama, banyak waktu dihabiskan dengan membangun Pastoran, membenahi administrasi buku paroki, arsip dan memperlajari situasi di daerah misi yang lebih luas. Sebuah perjalanan studi dilakukan untuk misi Kamphng Kudangan di Kotawaringin. Setiap 2 bulan, P. Leo membuat perjalanan ke Randau, juga ke Laur, Hulu Pawan, Hulu Tayap dan Kayong HUlu. Semua kampung yang dilewati jalan besar dikunjungi olehnya. Demikian juga P. Martinus, dia berhasil menyeberangi wilayah ini dan melakukan eksplorasi yang luas di seluruh Simpang Hulu pada awal tahun 1941. Banyak pekerjaan yang dilakukan juga dengan pemeliharaan rumah di Serengkah, Randau, Kepari, pengajaran katekumen untuk Serengkah dan Tanjung dan pemeliharaan gereja-gereja serta makam.
Kehidupan Para Pastor dan Lingkungan Melayu
Sebelum memulai deskripsi yang lain, inilah beberapa rincian lebih lanjut tentang kehidupan pastoran dan lingkungan Melayu
a. Kehidupan para Pastor
Untuk stasi ini, yang padanya semua perjalanan pelayanan kami bergantung, kami memiliki dua anak laki-laki dari sekolah pertanian yang dilatih untuk pekerjaan rumah tangga di susteran dan pastoran Nyarumkop. Yang tua, yang bernama TIMBAS meminta P. Geradus agar ia nikah secara adat dengan SI SEMPAT, teman sekampungnya dari KOEKOERA dan setelah pelajaran agama keduanya dibabtis pada Paskah 1940.
MANTOEI, yang kedua, telah memilih seorang gadis dari siswi-siswi Kampong Randau sebagai calon pengantinnya, tetapi terlebih dulu ia membiarkan calon pengantin perempuannya itu dididik oleh para suster di Njaroemkop selama satu tahun demi masa depannya dan kemudian menikah di Randau pada Natal tahun 1941. Setelah tinggal sebentar di Tumbang Titi, demi istrinya yang suka ikut campur, ia kembali ke Kampong Randau untuk selamanya.
Saudaranya, AKENG yang juga mantan siswa kursus pertanian, menggantinya bersama PAHIR dari Batu-Tajam³, siswa kelas 5 yang datang untuk liburan di Njarumkop dan keduanya tetap tinggal di pastoran sampai keberangkatan kami ke Serengkah pada Februari 1942. Saudaranya ini hanya menyisakan Timbas yang dengan bantuan sepupunya Moeras, memimpin semua pekerjaan di Serengkah.
³Teks alinya Batoe Tadjam
b. Denggol: Mantan Seminaris yang Jadi Katekis
Sejak awal, kami mempekerjakan P. Denggol, seorang mantan seminaris sebagai katekis. Pekerjaannya, bagaimanapun, tidak memperoleh keberhasilan yang diinginkan, karena anak muda ini selalu melakukan pekerjaan dengan caranya sendiri tanpa bisa kami beri arahan. Sebagai seorang guru yang belum menikah, ia tidak memiliki otoritas yang diperlukan di kampung-kampung, dan karena latar belakangnya yang rendah, ia tidak berdaya melawan keluarga Demong yang angkuh. P. Denggol juga mengalami godaan di kampung. Hadirnya Sindat di Tumbang Titi secara tidak diduga merupakan kesempaan yang menguntungkan dan, setelah perkara di Randau selesai, berujung pernikahan pada 21 September 1938. Namun, mereka tetap tinggal di Tumbang Titi. Mereka tidak menetap lama di Tumbang Titi karena kejadian naas yang menimpa Sindat sehingga memaksanya untuk dirawat di rumah sakit di Pontianak. Setelah dia pulih, P. Denggol ditugaskan sebagai guru agama (katekis) di darah misi Sanggau⁴.
⁴Dalam buku Pertobatan Dyak MUalang, karangan P. Gentilis van Loon, OFMCap banyak diceritakan tentang karya P.J. Denggol selama menjadi guru agama di daerah Mualang, Keuskupan Sanggau. (Catatan Editor)
c. Lingkungan Melayu Kami
Dalam pandangan Agama Islam dengan tradisi masyarakat sipil yang sangat menyatu, kedatangan kami selalu menyebabkan sikap yang aneh. Namun, nyatanya pemimpin mereka tampaknya percaya dan bahkan mengunjungi fasilitas di bangunan yang baru kami bangun, yang menyediakan poliklinik dan fasilitas jasa bermanfaat lain yang mengubah situasi yang ada. Meski begitu, selama lebih dari setengah tahun, Imam mereka melakukan pengawasan yang ketat pada para pastor dan semua perempuan dijaga pada jarak yang terhormat. Namun, secara berangsur-angsur, dia menunjukkan lebih banyak penyesuaian. Terutama kapel yang indah menimbulkan decak kagum semua penduduk. Namun kekecawaan hadir dari kenyataan bahwa Pastor menolak memberikan sedekah untuk mesjid mereka. Namun lepas dari kepercayaan dan pendekatan yang mereka lakukan, kami tetaplah orang asing bagi mereka yang dihindari terutama pada acara-acara keagamaan Melayu. Acara sunat dan tahun baru selalu tidak apat diikuti oleh kami dan hal tersebut adalah wahyu kepada mereka bahwa sesungguhnya para pastor juga menghargai keyakinan mereka, ingin ikut serta dalam sukacita mereka dan bahka memiliki kitab suci mereka (Al-Quran) dalam komunitas kami.
Satu-satunya hal yang kami harapkan di Tumbang Titi tadinya adalah tetangga kami, yaitu klerk (juru ketika) dari kantor. Namun terkuak bahwa ada beberapa surat anonim dengan tuduhan palsu terhadap Controle Mantri (Mantri Pengawas), kupon resmi pemerintah dan orang Cina yang dia palsukan. Untuk orang Dayak dia adalah seorang penjahat dan bagi kita, ia adalah apa yang dsebut dengan subyek yang menjengkelkan. Dia akhirnya dibunuh oleh Jepang.
Pada tahun 1939, kebun kopi yang bersebelahan dengan rumah Uti-Rahimin dibeli dengan harga 325 gulden, yang bagi stasi merupakan sebuah aset, dengan pemandangan kebun sayur dan rumah penginapan, Mgr. juga ingin membeli sebuah tanah untuk sekolah dengan lapangan sepakbola yang terletak di belakangnya; separuhnya diijinkan (secara lisan). Ketika tak lama setelah itu, Panembahan mengunjungi Matan Hulu dalam perjalanan singkatnya selama seminggu, halaman sekolah telah dibersihkan dari alang-alang dan ditanami dengan kacang-kacangan dan sebuah rumah nyaris didirikan.
Sebagai kesimpulan kami dapat menyatakan bahwa orang Melayu dari Tumbang Titi, meskipun keberpihakan dan kedekatan dengan Islam, tetap menghormati para pastor dan memberikan penghargaan pada pekerjaan misionaris kami terhadap orang Dayak, sedemikian rupa sehingga kami mengalami ekspresi-ekspresi kepercayaan dan kedekatan dari mereka terutama pada masa pergolakan perang.
Poliklinik Tumbang Titi
Dalam memorandum dari Mgr. V Valenberg sudah disebutkan salah satu sarana yang terbaik untuk misi Matan Hulu yakni: pendirian poliklinik. Sebuah poliklinik yang bagus dan terawat bukan hanya baik untuk keperluan masyarakat namun juga tanpa diragukan menjadi alat pendukung penyebaran misi baru, baik untuk mendapatkan hak-hak sipil dari orang Melayu yang belum percaya, maupun untuk menjalin hubungan dan kepercayaan dari suku-suku Dayak yang terlalu tertutup.
Sejak pendirian markas di Tumbang Titi, banyak obat-obatan diberikan secara terus menerus dan dengan begitu banyak orang sakit di kampung yang bisa dirawat. Fakta bahwa ada 3000 pasien per tahun yang dirawat di poliklinik ini adalah bukti nyata bahwa kami telah memperoleh kepercayaan dan penghargaan dari masyarakat. Penjelasan berikut mungkin lebih menunjukkan dan mengkonfirmasi kapasitas dan manfaat klinik rawat jalan ini.
Sehubungan dengan pertumbuhan yang cepat dan reputasi luas yang diperoleh oleh klinik rawat jalan, perlu disampaikan tiga keadaan kurang menguntungkan yang memiliki efek yang sangat buruk pada kawasan terisolasi Matan Hulu, dan sisi lain, apakah pengobatan seperti ini cocok untuk daerah Matan atau tidak.
1. Hanya ada satu rumah sakit di seluruh area yang luas ini, tentu ada satu di pusat kota Ketapang dan klinik rawat jalan lain di pedalaman Marau; akan tetapi obat-obatan yang paling diperlukan seperti pil, aspirin, casterolie, santonine tidak tersedia di sini, Praktis, dokter Ketapang mengunjungi daerah Tumbang Titi hanya setahun sekali. Alasannya adalah ia harus menjalankan tugasnya di Ketapang untuk perawatan di tangsi, kunjungan rutin ke Soekadana juga untuk perawatan di tangsi dan daerah Simpang yang sulit dikunjungi.
Selama kunjungan tahunan ke Matan Hulu, empat lokasi distrik dikunjungi dengan tergesa-gesa (masing-masing untuk satu malam), dengan hasil bahwa beberapa pasien di tempat itu diberi obat, tetapi sebagian besar orang sakit di sana tidak pernah bertemu dengan dokter tersebut. Di Tumbang Titi sendiri pernah ada 15 pasien dalam keadaan yang buruk, karena pemberitahuan tentang kedatangan dokter sangat terlambat.
Tur-tur perawat Mantri di Marau dan klinik rawat jalan Nanga Tajap yang didirikan pada tahun 1939, hampir tidak layak disebutkan dan lebih pro format saja. Jadi, misalnya, perawat dari Nanga Tajap pernah membeli pil dari pastor untuk setidaknya dapat membagikan sesuatu dalam turnenya, dan perawat dari Marau juga meminta beberapa pil untuk banyak pasien di daerahnya. Tanpa ada Misi, Matan Hulu kehilangan bantuan medis.
2. Dengan pengecualian beberapa orang yang Melayu yang lebih unggul, populasi Matan Hulu sangat terbelakang, miskin dan sakit-sakitan. Jumlah pasien sakit tersebar di mana-mana. Malaria, disentri, miom dan penyakit cacing lainnya merajalela; angka kematian anak dan tingkat kelahiran yang rendah (hampir 3 per keluarga) menyebabkan kampung besar merana dan mengalami kepunahan kecil. Terutama pada tahun 1938, seluruh Matan Hulu diganggu oleh influenza merusak yang telah membawa ratusan orang ke kuburan. Tahun it, misalnya, Kampung Tandjoeng memiliki 15 kelahiran dan 32 kasus kematian, dan rasio ini ditemukan hampir di setiap kampung, sementara di beberapa rumah bahkan bisa jadi 3 sampai 4 kali lipat kalau betul-betul diamati, seperti yang terjadi di Sungai Bihak. (Data dari kantor Pemerintah tampaknya tidak lengkap dan salah)
Selama empat tahun kami tinggal di Mata, wilayah Pesaguan terus-menerus mengalami gagal panen. Wabah tikus, penyakit padi dan bencana alam yang berarti banyak keluarga harus bertahan dengan mengkonsumsi ubi selama berbulan-bulan. Pada tahun 1941 bahkan masyarakat terpaksa mencari segala macam tanaman umbi liar (gadung?) di hutan karena kurangnya bahan makanan. Kelaparan sering menjadi alasan ketidakhadiran siswa di sekolah (bahkan prosentasenya mencapai 35%). Kelaparan dan kekurangan gizi adlaah penyebab utama dari semua jenis penyakit kronis. Kekurangan gizi juga diindikasikan sebagai salah satu alasan rendahnya angka kelahiran di Matan, meskipun alkoholisme, pernikahan dini, perceraian adalah yang terbesar.
3. Akhirnya, tidak terlihat cerah bahkan di bidang moral. Kami tidak harus memandang Dayak Matan lebih rendah dari suku-suku Dayak lainnya, tetapi saya masih berpikir bahwa di Matan konsekuensi amoralitas dapat lebih jelas dilihat dengan banyaknya orang dengan keterbelakangan mental, keluhan sakit gonorhoe, dismenore dan pengguguran kandungan.
Dengan mempertimbangkan ketiga kondisi yang buruk di Tumbang Titi ini, menjadi dapat dimengerti bagaimana misi kami yang awalnya dicurigai, terlepas dari lingkungan Islam dan pengaruh laki-laki yang mendominasi, pada akhirnya mendapatkan pijakan dan bahkan mendapatkan simpati. Ini juga menunjukkan bagaimana misi ini membawa manfaat dengan menolong penduduk yang mengalami penderitaan dan kesengsaraan tersebut.
Beberapa Kesulitan
Beberapa kesulitan yang dihadapi oleh praktis medis pantas disebutkan:
1. Karena kurangnya perawat perempuan di daerah-daerah ini, perlu untuk diambil sikap mengingat pasien perempuan di Tumbang Titi sangatlah pemalu dan pendiam. Selama lebih dari setengah tahun kami diejek dan ditantang oleh para Mufti dan pengikut Muslimnya. Setelah imam ini memiliki pandangan hidup yang lebih luas, mulailah para perempuan Melayu datang ke poliklinik ditemani dengan suami dan orang tua mereka.
2. Meskipun kami tidak harus memberikan pertanggungjawaban kepada dokter Ketapang, namun terbukti bermanfaat besar bagi kami untuk mengakui dan menghormati mereka; dalam beberapa kasus, pendapat dan sarannya diminta dan dia memberitahunya dengan hati-hati. Dia selalu berterima kasih kepada kami untuk ini dan karenanya menerima beberapa penyakit yang sangat serius atau memberi perawatan yang lebih lembut dan akurat. Hubungan baik yang serupa dianjurkan dalam kaitannya dengan kedua perawat di kawasan ini.
3. Kesulitan ketiga, yang juga kami pelajari dari pengalama, adalah penjualan obat-obatan kepada orang-orang Cina. Pil Kina adalah produk laris di daerah hulu yang diual seharga 3 sen, sedagkan tablet Strovarsol (melawan frambusia) diperdagangkan seharga 75 sen atau dengan keuntungan lebih besar daripada besar. Minyak kayu putih diencerkan dengan minyak dan dijual dalam botol kecil dengan harga yang luar biasa. Singkatnya: aspirin, Salicilzuun iodoform, tablet opium, kaal yodium dan obat-obatan yang bekerja secara kuat dengan senang hati untuk diperdagangkan.
4. Demi mendapat keuntungan dalam perdagangan, penyediaan obat-obatan untuk orang-orang Cina harus dikontrol dengan baik. Orang cina juga tidak bisa dipercaya untuk penggunaan pribadi. Mereka cenderung suka melipatgandakan kuantitas obat dan terutama obat berdosis tinggil; memberikan dosis untuk orang dewasa dengan mudah kepada anak-anak; juga menggunakan obat-obatan eksternal untuk penggunaan internal seperti Dermatoho, minyak kayu putih dan lain-lain atau menggunakan obat-obatan Cina pada saat yang bersamaan.
5. Sebagai aturan umum, pemberian obat harus ditukar dengan uang atau barang. Untuk orang Tionghoa dan Melayu, biasanya terjadi dalam bentuk uang, dan orang Dayak kebanyakan dalam bentuk barang. Serengkah, Tanjoeng dan Randau memiliki apotek mereka sendiri, dan meskipun sebagian besar pasien dirawat di sana secara gratis, mereka juga merekomendasikan obat dengan uang atau barang pertukaran. Anak-anak sekolah di Tumbang Titi selalu bebas perawatan.
Tujuan dari sistem retribusi ini adalah sebagai berikut:
a) orang belajar menghargai manfaat dan melawan biaya melalui kompensasi kecil;
b) ini mengakibatkan penggunaan obat yang lebih ekonomis dan efisien;
c) bahwa pengobatan yang ditentukan diikuti lebih ketat dan karenanya akan bekerja lebih efektif;
d) khususnya umat Katolik terbiasa untuk berkontribusi pada pemeliharaan para rohaniwan
6) Berkaitan dengan pemberian obat selama kunjungan kampung dan perjalanan pelayanan kami, obat-obatan tidak sampai 100% diberikan karena pengobatan satu kali saja biasanya tidak cukup; tetapi reputasi pengobatan Barat, pengetahuan dan pengalaman kami, kemampuan dedikasi dan pengorbanan kami dapat dengan mudah bersaing dengan pedagang Cina atau Melayu, dan para dukun Dayak yang licik. Relasi yang kami dapatkan melalui obat-obatan kami di semua kampung di wilayah Oeloe yang jauh dan penghargaan tinggi kami serta pekerjaan kami dan dengan demikian secara tidak langsung juga untuk agama, dapat dibuktikan oleh banyak babtisan dalam bahaya maut dan karena itu sangat jelas dari arsip stasi dan asisten dan dari banyak laporan perjalanan pelayanan.
Beberapa Contoh yang Menarik
Dari lusinan kasus pasien malaria parah, bisul tropis yang mengerikan, raspberry, penyakit disentri dan anak-anak, patah tulang, memar, luka bakar, penyakit gigi, telinga dan mata, penyakit cacing, keluhan perempuan dan gangguan kulit, beberapa dapat disampaikan di bawah ini:
1) Tifus tropis yang diderita P. Gerardus dan penyembuhannya
Pada awal Oktober 1939, P. Gerardus dibawa pulang dengan mobil dari perjalanan yang sulit di wilayah hulu. Dia sakit selama seminggu, demam, tidak bisa makan atau tidur, dan sakit kepala dan punggung; singkatnya: dia tampak amat menyedihkan.
Meskipun dipaksa untuk tidur malam, suhu badannya naik ke 39 derajat keesokan paginya, sehingga kami meminta petugas karet Dumosch untuk datang setelah perjalanannya yang memakan waktu selama empat hingga lima hari, dengan maskud untuk menanyakan kemungkinan P. Gerardus ke rumah sakit Ketapang. Karena P. Gerardus menderita serangan malaria lebih dari satu hari, pilihan lain tidak segera diperhitungkan.
Pada hari-hari berikutnya suhu badan tetap konstan sekitar 39 derajat. Penyakit yang diderita menjadi jelas ketika pada hari ketiga dan keempat terlihat luka kecil di bahu. Hal ini merupakan gejala khas tifus tropika yang kami ketahui dari pengamatan terhadap lima penderita tifus. Tidak ada hal lain yang dapat dilakukan selain memeriksa kembali semua data dan peraturan mengenai tifus tropis dan mematuhinya seketat mungkin. Selama hari-hari itu dia dirawat dengan hati-hati, cucian dan makanannya diurus secara terpisah untuk mencegah kontaminasi lebih lanjut. Selama tidur ia diawasi pada malam hari. Dalam beberapa hari, penyakit ini menghancurkan sosok yang sulit ini. Dia menderita sakit kepala yang parah, siang dan malam, tidak tidur dan hanya bisa menyedot susu yang diresepkan dengan pipa karet. Pada hari ketujuh ia mulai berjuang melawan kematian. Ia nampak gelisah. Kami berharap krisis segera dan penderita sendiri siap untuk akhir yang fatal. Dia tetap berpikiran jernih hampir tanpa gangguan, sebagaimana dibuktikan dari kata-kata yang ia ucapkan. Sebagai misionaris, walaupun dalam keadaan sekarat dia menghibur Tauke A. Kau yang malang dan mengarahkannya kepada kehidupan yang bajik dan hadiah masa depan di surga. Ucapan perpisahannya yang kebapakan kepada guru kami yang sudah menikah, Bantang, menghangatkan hati dan, penuh semangat. Ia juga mendiktekan selamat tinggal terakhirnya kepada Yang Mulia, Kakak dan keluarga di Belanda. Situasi ini tetap tidak berubah sampai sore dan tengah malam ketika terjadi pergantian penjaga. Oleh karena itu kami mengira akhir hidupnya sudah dekat. Pasien, bagaimanapun, sepenuhnya sadar dan, meskipun lelah, merasa lega. Baru pada hari berikutnya menjadi jelas bahwa bahaya telah berlalu, demam berkurang dan berkurang setiap hari sesuai dengan kurva tipus yang telah dikenal.
Lagi pula, proses penyakit ini, seperti halnya demam tifoid, menunjukkan perubahan yang dapat dibedakan dengan jelas setiap minggu, yang juga menunjukkan stadium penyakit dan dengan demikian perawatan terhadap pasien dapat diatur. Namun apa yang disebut periode pemulihan masih membutuhkan perawatan yang sangat akurat, karena isitrahat baring mutlak diperlukan untuk mencegah pendarahan fatal pada usus. Diet ketat juga tetap harus dilaksanakan walaupun berat karena pasien merasa kelaparan. Itu karena saluran usus yang hipersensitif hanya dapat menoleransi sangat sedikit makanan. Juga dengan pasien kami, kami harus berurusan dengan sembelit dan diare. Hal ini menuntut pelayanan dari kami. Dia juga merasa tergangnggu beberapa kali oleh detak jantung yang keras; sementara itu eksim dan beri-beri dicegah dengan susah payah. Terlepas dari situasi primitif di stasi Oeloe yang jauh ini, meskipun kami kekurangan sumber daya dan terbatasnya pengobatan, kami dapat dengan bantuan Tuhan untuk menyelamatkan pendiri Tumbang Titi kami dari kematian dan mencegah penyebaran lebih lanjut dari penyakit ganas ini.
Hal yang menarik adalah bahwa tetangga kami orang Melayu telah memberi perhatian yang besar pada pasien kami dan bahkan mendoakannya.
2) Beberapa kasus penting lainnya
a. Perawatan Tjenggari, istri Guru Bantang
Keguguran mengakibatkan pendarahan yang serius, tetapi ini segera diatasi dengan tetes Secala. Belum sepenuhnya pulih, dia pergi ke gereja melawan saran P. Leo, tetapi dalam perjalanan kembali dia mengalami pendarahan yang sangat buruk sehingga hampir kehilangan nyawana. Dengan dosis berulang dari Secala cornuta, istirahat total di tempat tidur dan perawatan yang dijelaskan oleh guru kepada istrinya, kami dapat mempertahankan perempuan mungil ini untuk keluarganya.
b. Gantar, seorang mantan siswa Nyarumkop, dirawat di Pastoran karena fraktur lengan atas yang rumit. Dengan menggunakan bantalan rol dan bantuan dari kuli Dajak, lengan dapat diputar dan disambungkan ke posisi yang benar. Setelah tiga minggu, lengan Gantar sembuh total.
c. Istri Kepala Kampung Tumbang Titi mengalami keguguran. Semula ia tidak ditangani dengan higienis dan mengalami peradangan payudara. Ia dapat diselamatkan karena kami tangani sesuai dengan ilmu medis. Kasus serupa terjadi pada Simba, istri pembantu kami Montoei. Andaikan tidak ditangani secara medis, nyawanya dalam bahaya.
d. Dengan puas, kami akhirnya bisa menunjuk pada penyembuhan istri mantri kontrol kami, yang dirawat oleh P. Leo ia mengalami serangan malaria yang hebat. Suhu tubuhnya mencapai 41 derajat celcius. Keberhasilan penyembuhan yang dilakukan dengan menurunkan demam dan menginjeksi kina dibicarakan di seantero Matan Hulu. Kalangan elit Melayu dan Moefti menjadi saksi atas penyembuhanini. Semua lalu yakin bahwa lebih banyak orang sakit dapat disembuhkan.
Kami akan menutup pembicaraan tentang klinik rawat jalan Tumbang Titi ini dengan beberapa fakta aneh dan tidak dapat dijelaskan tentang agama, yang juga mengungkapkan dengan lebih jelas beberapa kurangnya rasa hormat di Matan Hulu. Dua kampung terpenting di sekitar Tumbang Titi, yang paling kami cintai, adalah Batoe Tadjam II dan Natai Pandjang: obat selalu dihargai di sini juga.
1) Di Batu Tajam, P. Leo pernah dipanggil untuk mengobati seorang lelaki tua yang menderita disentri yang sudah akut. Namun, ia tidak tahan terhadap bau tak sedap dan berjanji untuk mengirim Denggol, Guru Agama kami, dengan obat-obatan. Pada sore hari guru itu mengunjunginya, tetapi pertanyaan tentang agama menuntut diskusi yang panjang dan juga guru itu tidak tahan lagi. Hari berikutnya dia dikirim lagi dan sekarang dia bisa membabtisnya. Tidak lama kemudian dia meninggal dan empat hari kemudian P. Leo mengunjungi rumah duka untuk berkabung dan untuk pemakaman. Namun, dia tidak melangkah lebih jauh dari tangga, karena pria yang baru meninggal itu membuatnya tidak nyaman.
Nota. Tergantung pada posisi atau pangkatnya, mayat-mayat itu terkadang dibiarkan tidak diapa-apakah hingga lima hari, sehingga mayat yang bengkak itu hancur berantakan di dalam peti. Kami diberitahu bahwa beberapa anggota harus menyedot dengan tongkat bambu cairan yang menetes dari mayat. Fakta bahwa situasi semacam itu diizinkan oleh pemerintah adalah bulti bahwa mereka berpikiran sempit dan memiliki ketakutan berlebih akan melanggar apa yang disebut aturan adat suci.
2) Di kampung Batu Tajam P. Leo kembali tertahan dalam misi perjalannya ke Randau. Di kampung tersebut terbaring seorang wanita yang sedang sakit parah setelah melahiirkan. Dikabarkan bahwa wanita itu tidak dapat buang air kecil selama 10 hari. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa wanita itu sudah tidak memiliki hahrapan. P. Leo masih harus bersepeda sejauh 83 km ke Randau, dia pun membiarkan P. Gerardus datang berkunjung. Dia pikir diskusi tentang pembabtisan terkadang bisa memakan waktu yang cukup lama. Ketika P. Gerardus datang berkunjung pada sore hari, ternyata kondisi wanita itu lebih baik dan itulah sebabnya dia menunda pembabtisan sampai bahaya kematian yang lebih jelas hadir. Sayangnya, wanita itu meninggal keeskokan harinya, tanpa bisa dibabtis.
3) Di kampung Natai-Panjang, P. Leo pernah dipanggil untuk mengunjungi seorang anak kecil yang sakit. Ia berumur satu bulan dan hanya mengkonsumsi sekaleng susu selama sebulan penuh karena kurangnya ASI. Susu asam ini dijejalkan ke dalam mulut anak kecil itu dengan menggunakan dot kecil yang terbuat dari kulit pohon. Anak itu sangat kurus kering dan mengalami keram perut yang parah. Tidak ada uang untuk membeli sekaleng susu baru. Berharap diperbolehkan untuk membabtis anak itu, P. Leo memberikan sekaleng kecil susu sebagai hadiah. Namun cukup mengejutkan, dia tidak mendapat kesempatan membatis anak itu, dan itulah sebabnya dia akhirnya bertanya secara terbuka. Jawabannya adalah P. Leo harus bertanya kepada kakek-nenek dari anak itu terlebih dahulu. Akan tetapi, ia menyingkirkan gangguan lebih lanjut, seluruh keluarga pergi ke ladang. Dalam seminggu, bukan hanya anak itu, tetapi ibunya juga meninggal, dan Kepala kampung mengaitkan kejadian ini dengan kutukan "orang kasar"
4) Masih di kampung Natai-Panjang, P. Leo kemudian tertahan karena ada seorang wanita yang tidak sadarkan diri. Dia sedang sekara dan dengan izin dari suami dan keluarganya, ia pun membabtisnya. Dia berjanji berdoa untuk wanita tersebut pada Minggu pagi di Serengkah. Ketika ia kembali dari Serengkah sehari setelahnya, wanita itu sudah bisa duduk dan tampak jauh lebih baik. Wanita tersebut berjanji padanya, jika kondisinya membaik, ia akan datang bersama putrinya untuk belajar agama.
5) Akhirnya, sebuah contoh lain kematian yang indah, meski diikuti oleh pemakaman secara animis di Randau, P. Leo, dipanggil menemui seorang eks anak sekolah yang lumpuh ("Tetanus"?! Seperti halnya seorang bocah laki-laki di Serengkah). Dia memiliki luka besar yang membusuk dihinggapi semut dan hanya ditutupi dengan sepotong daun pisang. Anak lelaki ini dalam kondisi sekarat dan ingin dibabtis; dia merupakan orang ke-3 yang diizinkaan untuk dibabtis di rumah ini. Dia meninggal dengan tenang, tetapi anggota keluarga yang animis ingin dia dimakamkan menurut adat. P. Leo juga menerima sebuah undangan untuk pemakaman dari Lentok, yang membenci pemakaman Katolik dan menganggapnya sebagai "pemakaman anjing" dan yang sekarang ingin menunjukkan kepadanya adatnya.
Pembuatan kuburan dilakukan oleh orang-orang muda yang berlaku sepeprti roh-roh jahat dan yang diizinkan untuk bermain-main dengan bebas menolong atau lebih tepatnya menggoda gadis-gadis muda.
Di sisi lain, mereka mencoba untuk menjejalkan celana-celana panjang atau rok-rok dengan lumpur yang banyak, serta melumuri tubuh dengan lumpur.
Di pemakaman itu sendiri, keluarga merintih di sisi kanan kuburan, sementara di sisi kiri kelompok setengah mabuk asyik permainan gila mereka (bukong?). Puncak dari ritual jahat ini berakhir dengan mengguncang tikar besar, di mana anak laki-laki dan perempuan yang disebutkan di atas saling berhadapan dan menjerit di dalam kubur yang berbau busuk ini. Mereka bertempur seperti babi luar dan satu sama lain mencoba mengotoroi dengan bola-bola kotoran, di mana bagian payudara dan kemaluan adalah sasaran utamanya. Seluruh ritual pemakaman ini ditutup dengan pesta minum-minum.
6) Perawatan orang sakit selama kunjungan ke kampung memang menjadi perhatian penting kami, tetapi sebenarnya sejak awal kami hendak mengutamakan katekese agama dengan pengobatan orag sakit sebagai tujuan sekunder.
Nota1. Pada sebuah perayaan yang diselenggarakan oleh Panembahan di Ketapang seorang kepala kampung Batu Bulan⁵ meninggal. Dia juga berasal dari "Bangsa bakar" agung yang sebagaimana orang-orang katakan, akan langsung pergi ke surga setelah pembakaran mayat dilangsungkan. Panembahan tidak menghendaki pembakaran di Ketapang. Melainkan mayat diangkut untuk dipindahkan ke Hulu dengan perjalanan selama 6 hari menggunakan perahu terbuka pada musim kemarau (waktu kering). Setibanya di Batu Bulan, orang-orang harus menunggu satu hari lagi (dari waktu tiba, sehingga total 2 hari) untuk mengundang seluruh keluarga ke ucapara besar pembakaran dan ketika mereka tidak ingin datang karena lokasi yang jauh, mereka dipaksa untuk membayar dengan denda adat yang berat. Semua kuli perahu jatuh sakit akibat perjalanan itu dan hampir tidak makan apa-apa, sementara pengemudi perahu tetap bertahan di kemudi untuk waktu yang lama dan menderita mual berkepanjangan.
⁵Teks aslinya Batoe Boelan
Nota 2. Secara umum, tidak ada keberatan untuk dibabtis, kecuali pada keluarga-keluarga yang menunjukkan atau mempertahankan hubungan yang kuat dengan orang-orang Melayu. Di kampung ini (Batu Bulan) BAWAT yang masih belum menikah (sekarang perawat di Ketapang) dan ayahnya (kepala kampung) sangat menyukai kami.
Hal-hal di atas adalah hal-hal rinci utama yang dilakukan oleh poliklinik rawat jalan kami. Sebenarnya layanan medis yang dilakukan oleh para guru kami dengan bimbingan kami cukup penting untuk diingat tetapi kami tidak memuatnya di sini. Ini adalah pengecualian yang seharusnya disebutkan dalam kaitannya dengan Poliklinik Rawat Jalan, dan akan cukup penting untuk dicatat.
---
ARTIKEL III
STASI-STASI
Serengkah
Di Ketapang misi Katolik Roma dimulai tahun 1911 di antara beberapa umat Katolik Cina. Ada tanah dan rumah yang dibeli dan berfungsi sebagai gereja, bangunan perkumpulan dan juga tempat tinggal bagi pastor yang bertugas. Sejak 1911 dilayani dari Pontianak.
Pada tahun 1917 Monsinyur Bos dalam suatu perjalanan tugasnya diundang oleh Tan A Hak, seorang Katolik Tionghoa, yang berdagang sampai ke Pesaguan Hulu, untuk bersama0sama mengunjungi orang Dayak di Serengkah. Menurut pernyataan Tan A Hak, orang-orang Dayak tersebut meminta untuk diajari agama Katolik. Perjalanan ini memerlukan izin dari Pemerintah mengingat penduduk Melayu masih sering gusar dan tidak dapat dipercaya. Pada awal tahun 1918, perjalanan pertama ke Matan Hulu diterima; perjalanan ini dilakukan oleh rombongan Tan A Hak yang telah disebutkan sebelumnya. Penyambutan yang antusias di Serengkah segera mengarah pada pembicaraan yang menguntungkan mengenai pendirian sekolah misionaris, terutama karena orang-orang takut jika anak-anak mereka akan diklaim untuk bersekolah di Tumbang Titi, di mana sebuah sekolah Melayu sedang dibangun pada saat itu. Orang-orang memanggil Tan A Hak dengan sebutan Sensang dan dia pulalah yang akan mengurus bahan bangunan dan pendirian sekolah misionaris tersebut.
Upaya Mencetak Guru Masa Depan
Dalam waktu tiga hari kepala kampung bernama Moerial menerima pelajaran agama dan kemudian dibabtis. Dengan sepenuh hati ia ingin menyebarkan kepercayaan baru kepada rakyatnya dengan kata dan propaganda. Dengan maksud untuk mencetak guru-guru masa depan, Monsinyur juga diminta untuk membawa beberapa anak laki-laki dari keluarga-keluarga terkemuka untuk menuntut ilmu ke Pontianak, termasuk juga keluarga dari kepala kampung. Akan halnya Moerial, sang kepala kampung memiliki beberapa orang cucu yang diusulkan untuk dikirim.
Untuk menghindari perselisihan dengan keluarga lain, kemudian disepakati bahwa anak-anak yang dikirim akan dipilih jika mereka berani mendekati Tuan Uskup yang memiliki janggut yang panjang. Monsinyur pun mencoba mendorong keberanian anak-anak tersebut dengan bermodalkan permen. Orang pertama yang memberanikan diri adalah BANTANG, cucu dari Moerial. Dia dibesarkan di rumah kakeknya, kaena ayahhnya telah melarikan diri dari kejaran tentara Kompeni (seperti yang masih akan kita lihat). Setelah itu Pakit dipilih sebagai temannya. Kedua anak laki-laki itu kemudian pergi ke Pontianak dengan Tuan asing dari luar negeri, dan Tarik menyusul kemudian sebagai yang ketiga. Setelah tinggal sebentar di Pontianak, anak-anak itu kemudian dibawa oleh Monsinyur ke sekolah misi di Sejiram, untuk menyelesaikan sekolah rakyat tiga tahun di sana.
Insiden aneh terjadi dalam perjalanan menuju Sejiram. Pada suatu pagi tanpa ada petunjuk dari siapapun, Monsinyur memberi tahun Bantang bahwa kakeknya meninggal di Serengkah. Hal tersebut kemudian diketahui benar terjadi. Bagi Bantang itu merupakan salah satu bukti yang ia percaya untuk menguatkan keimanannya.
Namun, sekolah baru benar-benar buka pada akhir tahun 1918. Sekolah tersebut masih harus mengalami tahun-tahun yang sulit setelah antusiasme tinggi yang hanya bertahan di awal dan juga karena kematian Moerial. Tan A Hak ternyata lebih berjiwa pedagang daripada Sensang; guru Tionghoa pertama A Hoa ternyata tidak diperhitungkan dalam menjalankan tugasnya. Karena itulah guru Runtu asal Manado dari Benua Martinus dikirim ke Serengkah, tetapi bahkan guru yang satu ini juga tidak bisa bertahan di lingkungan aneh dengan kepala kampung yang ambisius dan kaum Melayu yang agresif.
Bantang: Guru dan Pemimpin yang Sukses
Pada tahun 1921, Bantang kembali ke Serengkah untuk liburan dan segera memenangkan simpati dari rekan-rekannya. Mereka satu suara untuk memproklamirkan Bantang sebagai guru, dan meskipun ia belum menjadi guru sepenuhnya, ia dapat memastikan bahwa ia akan memegang kepemimpinan dan jabatan tersebut.
Penunjukkan Bantang terbukti benar-benar sukses dan tindakannya dalam memperjuangkan kesejahteraan kaumnya, berhasil menutupi kekurangannya akan pengalaman. Ia sempat mengambil jeda singkat dari masa tinggalnya di Nyarumkop untuk praktis sementara sebagai asisten guru di Pejintan. Ia kemudian diangkat menjadi pengajar tetap di Serengkah pada tahun 1925 dan di bawah asuhannya, sekolah menjadi sangat berkembang. Jumlah siswa naik menjadi lebih dari 70 da guru Bantang terus gigih dan bersemangat, meskipun ada tantangan dari orang-orang tua yang konservatif dan pihak Melayu.
Kematian Moerial mengakibatkan kesulitan. Mastahil dinyatakan tidak layak karena jatuh sakit dan menyebabkan dia tidak memiliki keturunan sehingga ia tidak punya ahli waris yang sah. Banjo, ayah Bantang bukanlah orang yang disenangi (persona no grata) di kalangan pemerintahan; Bantang sendiri terikat dengan sekolah, dan putra kedua yang bernama Banding masih terlalu muda. Akhirnya Barek yang merupakan menantu laki-laki Moerial, diangkat menjadi kepala Kampung.
Untuk memahami kesulitan Serengkah, kisah berikut ini patut dicantumkan di sini:
Pada tahun 1914 para pemberontak Melayu dengan bermodal janji berusaha mencari dukungan orang-orang Dayak, dan Banjo juga terikat sumpah untuk tidak membayar pajak dan melakukan kerja paksa. Pada bentrok pertama dengan tentara Kompeni, di mana bahkan sersan terbunuh, para pemberontak sudah dipukul mundur dan orang-orang Dayak melarikan diri. Namun Banjo tetap menepati janjinya. Sebagai seorang individu, ia harus lari dan dianggap sebagai seorang pelanggar hukum. Iapun menghabiskan dua tahun di hutan dan di gunung-gunung. Ladangnya dikepung dan dibakar. Akan tetapi, dengan bersembuni di pohon berlubang, dia lolos lagi dari kematian. Akhirnya dia menyerah dan dihukum di Ketapang. Setelah hukumannya selesai dia kembali sebagai warga biasa, tetapi kesehatannya terganggu; sebelum kematiannya pada tahun 1919 (1921? - ...) dia meminta untuk dibabtis, yang ditolak oleh guru Runtu dengan alasan yang tidak diketahui secara jelas. Laki-laki mulia ini mati dengan mulia.
Di tanah misi ini sekitar tahun 1930, gereja kulit kayu dibangun dan memperoleh izin tertulis dari Panembahan dan diperbolehkan untuk mengadakan praktek keagamaan, dengan klausul yang sebenarnya aneh: Bagaimanapun juga agama tidak akan membuat mereka lepas dari kerajaannya.
Pada tahun itu juga (1930) dibangun gedung sekolah yang sekarang ada ini. Karena pedagang Cina Tan A Hak terlalu hemat untuk kedua kalinya (?!), pembangunan sekolah ketiga berikut galeri dan dinding rendahnya dipercayakan kepada Lim A Tsai, seorang Katolik CIna, yang meninggal pada tahun 1931 di rumah sakit di Pontianak. Misi Katolik-Roma menyimpan harta bendanya di Serengkah dan akan diwariskan kepada anak-anak A Tsai.
Ini adalah sejarah singkat Serengkah sebelum 1938.
Serengkah Sebelum 1938
Gemala Mastahil yang menderita epilepsi, dengan kekurangannya, telah mampu membawa diri dan berada di bawah perlindungan yang jelas dari Panembahan, meskipun mendapatkan protes dari P. Geraldus dan orang-orang kampung. Dengan arogansinya, ia menjalankan rezimnya dan berambisi untuk memerintah Serengkah Kiri dan memperoleh asal-usul dan gelar bahkan otoritas atas kampung-kampung lain yang ada di Dayak Pesaguan.
Orang Kaya Borneo mengendalikan kelompok kecil Serengkah Kanan. Setelah menyelesaikan sekolah dasar di Serengkah, ia dilatih di Ketapang di bawah pengawasan Panembahan. Dengan kesetiaannya pada pangerannya, dia menjadi sosok hebat dengan mentalitas kafirnya; ia diam dan berpikir panjang, cerdas dan penuh perhitungan, tetapi rencana-rencananya yang penuh pertimbangan biasanya dipatahkan dan digagalkan oleh Mastahil yang bodoh dan sombong: singkatnya, perbandingan panci dan ketel sangat cocok untuk disematkan pada dua orang terpilih tersebut.
Berkat kepedulian dan kebijakan taktis guru Bantang, sekolah ini selalu dipenuhi dengan jumlah siswa yang besar, yaitu sekitar 60-70 pelajar. Berkat sekolah ini, jumlah umat Katolik Serengkah dan daerah sekitarnya saat ini terhitung lebih dari 200 dengan 20 hingga 30 katekumen. Namun karena kurangnya ladang, orang-orang tetap hidup kekurangan; mereka tidak agresif seperti orang-orang Tanjung atau berani seperti orang-orang Randau. Beberapa kali wilayah ini dilanda musibah kelaparan, dan ini selalu menjadi penyebab banyaknya absen dari sekolah.
Banding, saudara Bantang, secara hukum memenuhi syarat untuk menjadi demung, tetapi ia adalah seorang Katolik dan meskipun ia tidak lagi menjadi seorang kabayan (?), ia selalu menerima komentar dan peringatan dari kantor bahkan dihukum secara tidak adil.
Katekis A Sawat berprestasi baik di kampungnya, Tanjung Bunga dan hampir semua penduduk kampung mengikuti bimbingannya dan menyerahkan diri sebagai katekumen. Namun, dia tampaknya tidak mampu mencegah pembakaran mayat ibunya, sama seperti guru Rehal yang tidak menentang pemakaman kafir ibunya. Keduanya berasal dari keluarga bangsawan Demung dan memilih tetap diam untuk menghindari kekacauan.
Partisipasi dalam praktek-praktek kekafiran juga merupakan kesalahan terbesar umat Katolik Serengkah. Bahkan di pemakaman Katolik, kami belum bisa memperkenalkan pembaruan umum, seperti yang dilakukan di Tanjung dan makan guru Laje, seorang mantan katekis yang masih selalu dihiasi dengan atap penyembahan berhala.
Kampung Beringin telah lama menunjukkan kelemahan karena pengaruh buruk dan fitnah dari Sensang pertama kami dan pemasok egois Tan A Hak, yang menjalankan otoritas besar di kampung ini. Di masa lalu A Hak menjebat pastor dengan fitnah. Akan tetapi, karena penipuan yang mengerikan menyangkut waris Lim A Tsai dan pergundikan yang ia lakukan di kemudian hari, ia telah sepenuhnya melanggar agama. Dia terus menerus membalas dendam untuk membahayakan Misi dan untuk mencari muka di hadapan Panembahan. Namun, dengan "H.H. Sacramenten" (sakramen-sakramen kudus?) Kampung Beringin yang menunjukkan perbaikan, masyarakat melanjutkan kembali semangat dan niat baik mereka.
Kampung Batu Bulan telah kehilangan banyak hal karena derita kekurangan yang terus menerus, penyakit yang selalu menyerang dan juga banyak kematian terjadi. Meskipun demikian, kami juga masih memiliki beberapa umat Katolik terkemuka yang baik di sana.
Sebagai tambahan kami menyebut penghalang kecil dari Augustinus Barik. Beberapa keluarga menunjukkan kesetiaan yang kuat, dengan adat kekafiran. Bahkan dua anak angkat Barik masih tetap belum dibabtis.
Secara keseluruhan, kami dapat memberi kesaksian tentang Serengkah dan sekitarnya, bahwa misi itu sudah mapan, bahwa ada atmosfer yang baik di antara umat Katolik dan bahwa terlepas dari kesulitann dan pertentangan kita dapat selalu bergantung pada daerah Kristen ini.
Situasi yang Menguji Kesabaran
Pada bulan Juli 1940, Panembahan muncul di Serengkah untuk mengadakan pertemuan rahasia sehubungan dengan penyelidikan sekolah. Pertemuan ini dibuka di bawah ancaman hukuman: "Tidak satupun dari hal-hal yang dibahas dapat dikomunikasikan kepada pastor, dan barang siapa berani mengambil risiko akan dihukum berat oleh-Ku. Jadi berhati-hatilah!" Tiga poin yang dibahas dengan istilah-istilah terselubung dan sangat disarankan adalah:
1) Apakah mereka tidak lebih suka memiliki sekolah engeri daripada Sekolah misi Katolik.
2) Jika perlu, apakah gaji besar Bantang bisa diperoleh dari pajak?
3) Apakah merek tahu bahwa pendidikan agama tidak wajib dan siapa yang berkebaratan?!
Ini adalah situasi yang menyakitkan bagi banyak orang, tetapi semua dapat mengatasi ujian ini secara pasif mendiamkannya. Borneo sendiri menunjukkan antipati terhadap sekolah dan agama di dalam percakapan pribad setelah pertemuan. Perlawanan yang dilakukan Serengkah terhadap Panembahan semakin diperparah oleh penyelidikan ini. Sebelumnya, terlihat dari rekaman gambar milik Panembahan Ketapang perempuan-perempuan Serengkah secara terbuka menolak untuk menari sambil mengekspos tubuh bagian atas mereka. Kemudian pada ahun 1941 P. Leo secara pribadi menyaksikan bagaimana mereka mengabaikan kesewenang-wenangan yang dilakukan Penguasa dalam sebuah acara penghormatan adat. Bertentangan dengan permintaan guru Bantang, P. Leo melarang mereka mengikuti kebaktian Minggu aoabila mereka melakukan penghormatan itu. Akibatnya, hanya orang-orang kafir yang membawa kehormatan adat mereka, sementara orang-orang Katolik menghindarinya dengan jalan memutar dan datang ke gereja. Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, raja bahkan mengurus si pembimbang Barik.
Pada bulan September 1940, P. Donatus menghadiri inspeksi sekolah setelah penyelidikan Panembahan dan menyusun petisi untuk pemeliharaan sekolah dengan bantuan subsidi. Tanpa keberatan berarti, petisi ini ditandatangani oleh semua kepala kampung (bahkan oleh Borneo yang pengecut). Kemudian Asisten Residen Ketapang, Tuan Plasmans dan Panembahan untuk penilaian sekolah resmi di Tumbang Titi, kata Asisten Residen. (agar tidak mendapat masalah sendiri) memainkan Misi melawan Panembahan da sebanyak tiga kali tantangan brutal ini diulang. Kami hanya bisa berdiam diri di hadapan Panembahan dan meruju Asisten Residen secara sopan kepada Vikaris Apostolik dari Pontianak. Ketika pastor yang diberi kuasa diundang untuk berpartisipasi dalam penilaian sekolah Serengkah, penolakan pastor mempermalukannya dan Asisten Residen mencoba dengan cara bersahabat memintanya berulang kali utuk menerimanya. Bersama-sama mereka berangkat ke Serengkah; penilaian itu ternyata hanya formalitas belaka. Segalanya cukup jelas bahwa Serengkah akan tetap dipertahankan dan bahwa Randau a priori dihapus. Keterikatan dan loyalitas umat Katolik Serengkah pada bulan-bulan terakhir masih terasa. Meskipun ada perintah dari Mastahil untuk membakar semua buku Katolik, mreka pasti tidak ragu untuk terus bertahan sampai kami kembali.
---
RANDAU
Rehal: Guru yang Otodidak
Radau berterima ksih atas jasa Guru JOHANES XAVERIUS REHAL, seorang anak laki-laki dari Serengkah dan terutama teman masa kecil Bantang.
Setelah kepergian Bantang pada tahun 1918, anak ini merasa kesepian dan itulah sebabnya dia juga ingin belajar di sekolah yang baru dibuka. Dia juga ingin menjadi guru seperti temannya, dan karena tidak ada kesempatan lain, dia meninggalkan Serengkah untuk menyelesaikan sekolah menengah di Nanga Tayap dengan menanggung segala risikonya sendiri.
Akhirnya, ia juga ingin menjadi Katolik seperti Bantang, dan poin ketiga ini menyebabkan banyak kesulitan bagi studinya. Dia meminta dan memperoleh buku-gereja tua dari seorang Katolik Cina. Pertama-tama memulai belajar doa-doa, sebuah pekerjaan yang berat untuk seorang bocah laki-laki Dayak yang tidak berpendidikan. Meskipun ada ajaran Katolik yang nampak aneh baginya, dia tetap tekun.
Berkat tingkah lakunya yang baik dan kemajuan pesat, ia dibiayai oleh negara untuk belajar menjadi guru. Dengan demikian ia memiliki akses untuk berhubungan denkat dengan Islam dan dunia Melayu. Namun dia tetap setiap pada niatnya, seperti kemudian Tjoroh, dia mengindari semua situasi yang suit, Pekerjaan pertamanya sebagai guru di Semapau, 18 km di hulu Randau, dan dengan bakat jeniusnya dia tahu bagaimana cara menarik anak-anak sekolah untuk bergabung dengannya. Dia mencari pasangan di Serengkah dan ingin menentukan pilihannya sendiri tanpa ikut campur orang tuanya. Pilihannya jatuh pada seorang gadis yang baik hati, penuh dengan aroma frambos: "karena jiwa melampaui tubuh", katanya. Dia juga menerima Alkitab Protestan dari Darah Misi Kudangan dan bacaan tersebut berhasil membangkitkan kesalehan dalam hatinya dan juga semua hal yang baik dan mulia.
Di Semapau Rehal telah mengatur ruang doa, di mana dia dan istrinya membaca dan bermeditasi. Di tempat itu juga belajar kebenaran yang paling utama dari anak-anak sekolah, dari buku gereja Katolik dan Alkitab Protestan. Kebanyakan murid berasal dari Randau, dan dari keturunan campuran Katolik dan Protestan berkembanglah katekumen pertama, yang menurut statistik lama sekitar 20 jumlahnya. Sebagai bukti kesalhean dan imannya pada Alkitab, kami ingin menyebutkan dua contoh di sini.
Mukjizat yang Menguatkan Iman
Pada tahun 1927 atau 1928 terjadi kekeringan yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh wilayah yang mengancang ladang-ladang. Di kampung-kampung para dukun menyerah setelah melakukan segala cara untuk menangkal bencana tersebut. Pada akhirnya, orang-orang mendatangi Guru Rehal dan meminta bantuan agar mereka menggunakan kekuatan agamanya. Rehal, meskipun masih menjadii katekumen, ia berani memenuhi keinginan tersebut, dengan syarat berupa tuntutan agar semua orang berkumpul di sekolah untuk berdoa bersama atau setidaknya mendengarkan doanya dan untuk sempatan ini ia akan membuat salib besar dan menempatkannya di sekolah. Ketika semua berkumpul, dia memulai doanya dengan sabda Injil: "Mintalah, maka kamu akan menerima", dan mendorong semua untuk percaya dan berserah. Kemudian setelah berdoa tiba-tiba mulai turun hujan lebat sehingga ladang-ladang terhindar dari kegagalan. (Contoh ini diambil dari otobiografi J.X. Rehal).
Contoh lain dari kisah keimanan pada Tuhan diceritakan oleh P. Leo sendiri: sekitar tahun 1927 Guru Rehal mendapatkan anak pertamanya, anak itu lahir prematur dan dibabtis olehnya saat sekarat. Rehal menghubungkan kematian ini dengan fakta bahwa dia kurang tekun dalam agama dan oleh karena itu dia berniat untuk berdoa dan belajar lebih giat. Tak lama kemudian, istri mungilnya kembali hamil (1928). Namun, isterinya mengalami keguguran dan bayinya meninggal tanpa dibabtis. Sekarang Rehal berjanji untuk selanjutnya menjauhkan diri dari semua berhala, dan setelah dua tahun terus berdoa, akhirnya Riang (yang berarti sukacita) lahir dengan sehat.
Begitulah orang-orang Randau pertamayang belajar ajaran Kristen dan guru Rehal meminta P. Marcellus yang pada tahun 1929 menjalankan misinya di Sandai, untuk mengunjungi Semapau sambil membawa buku-buku Katolik untuk diberikan ke banyak katekumen. Ini harus ditunda sampai tahun berikutnya.
Laporan dari P. Marcellus menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya pada musim semi 1930 ia mengunjungi kampung Semapau dan Randau atas usul dan di bawah arahan dari seorang Katolik Tiong-hoa bernama A Long Chen dari Sandai. Kepala Kampung di Randau, Lentok, sangat menghargai kunjungan ini dan menyarankan untuk mendirikan sekolah misi di kampungnya, untuk mencegah pelanggaran dan imoralitas yang ada.
Sekitar 1918 Monsinyut Bos mengunjungi Kampung Randau, tetapi perwakilan sekolah tidak ada yang bisa datang saat itu. Kunjungan tersebut terlihat menguntungkan. Maka semua batuan dan dukungan dijanjikan untuk sekolah dan rumah guru. Masih dalam perjalanan yang sama, pendirian sekolah disetujui oleh otoritas, Roeqwaes dari Nanga Tayap. Keputusan tersebut tanpa sepengatahuan Panembahan Matan dan berakibat pada banyak kerugian yang dialami Randau di masa depan, seperti yang akan diperlihatkan alam sejarah berikutnya. Pada akhir tahun 1930, pendidikan dimulai oleh J.J. Bahar, murid senior Serengkah dan di rumah Orang Kaya Lontor. Orang yang sangat berpengaruh, tetapi telah ditahan karena membantu pekerja paksa melarikan diri.
Pembukaan Sekolah Baru di Randau
Pada tahun 1931, sekitar bulan Februari, sekolah baru dibuka. Pada bulan Mei, guru Manado yang terampil tetapi juga sadar diri H. Pandi mengambil alih kepengurusan untuk menghindari kesulitan yang akan datang. Dalam perjuangan terus-menerus melawan pemimpin-pemimpin tua Melayu yang tidak dapat dipercaya, yang berlangsung selama 5 tahun, guru Pandi berhasil berdiri teguh memperjuangkan sekolahnya sehingga dapat bersaing dengan yang terbaik. Ia pun dituduh melanggar adat dan mengganggu ketenangan kampung-kampung dengan cara mengekploitasi anak-anak sekolah. Atas permintaan eksplisit P. David, ia diberi kesempatan untuk membela diri di Ketapang. Ternyata, ia berhasil memenangkan proses itu dengan cara yang brilian, sehingga Panembahan memberi tahu P. Geradus bahwa guru Pandi dapat dipertahankan, tetapi karena berbagai alasan, lebih baik membawa pergi.
Penerus sementara adalah guru A. Sawat di tahun 1936. Penunjukkan tersebut dilakukan karena guru S. Tjoroh sementara tinggal di Nyarumkop untuk mengikuti pelatihan katekumen agar ia dapat menjadi lebih mahir dalam praktik agama. Pada tahun 1936, guru Silvester Tjoroh mengambil alih kepengurusan sekolah dan seperti pendahulunya, Guru Bantang, ia meraih kesuksesan: karena alasan-alasan berikut: 1) karena pernikahannya ia menjadi terkait dengan Orang Kaya Lontor yang berpengaruh dan berkuasa. Demong tua yang bijak ini membimbing laki-lakinya dalam segala situasi yang sulit; 2) dan Tjoroh sendiri sebelumnya menjabat Kebayan di kampungnya; 3) sebagai faktor yang ketiga dapat disebut: karena pemerintahan yang tenah dari MAS RIA yang juga merupakan menantu Lontor.
Berkat kehati-hatiannya, Guru Tjoroh mampu menghindari sebagian besar kesulitan dan tetap bertahan. Namun ada yang bersekongkol diam-diam untuk melawan Tjoroh terutama mantan kepala Lentok, yang dicopot jabatannya karena simpatinya untuk sekolah misionaris dan sekarang bertindak sebaliknya untuk mendapatkan kepercayaan kembali dari pangerannya. Dengan fitnah dan ancaman, seluruh wilayah Laur diteror; Penduduk Randau sendiri harus siaga setiap kali Panembahan yang menentang sekolah misionaris kembali dari Ketapang. Secara bertahap jumlah siswa menjadi berkurang (70 di masa kejayaan). Keluhan yang sama yang dulu dialamatkan ke guru Pandi kini diarahkan ke guru Tjoroh, tuduhan anonim dikirim ke kantor di Sandai dan Ketapang. Tetapi berhadapan dengan seluruh aksi rahasia dan berbahaya ini guru Tjoroh menunjukkan diri sebagai sosok yang berani dan tenang, dan dia kurang melawan mereka yang memfitnahnya tetapi ia membuat orang banyak berpihak padanya. Ini adalah situasi dan lingkungan ketika P. Gerardus dan P. Leo mengunjungi Randau dari markas utama di Tumbang Titi pada bulan Juni 1938.
Kasus yang Menjadi Titik Balik
Pada kunjungan pertama ke Randau, kai dikejutkan oleh hal baru yang menjadi titik balik yang jelas tetapi tidak untuk diceritakan atau diumumkan. SINDAT, siswi yang baru kembali dari Nyarumkop karena hutang orangtuanya dipaksa untuk bertunangan dengan Djandoet, seorang penganut agama Islam dari kampung Randau. P. Gerardus berusaha mempertanyakan pilihan Sindat meskipun dia tiak berharap banyak: memutuskan pertunangan itu atau tetap tidak dibabtis. Setelah pelajaran berat dari MANTOEL, "bapa muda", dia memutuskan untuk bercerai. Perempuan itu menjelaskan ini kepada kepala kampung untuk bercerai secara adat. Untuk mencegah gangguan lebih lanjut dari Djandoet, ayahnya Nyalang membawanya secara pribadi ke Tumbang Titi dan untuk sementara meninggalkannya di Serengkah.
Djandoet yang kecewa pergi ke Sandai pada hari yang sama. Dia membuat permintaan untuk melakukan perjalanan lebih jauh ke Ketapang, untuk meminta bantuan Panembahan. Dari Panembahan, tidak lama kemudian ia ke Serengkah dan menyalahkan Sindat. SIndat menjawab dengan singkat dan tegas: bahwa Guru Tjoroh tidak ikut campur masalah ini, tetapi dia sendiri secara sukarela ingin pisah dari Djandoet, karena dia tidak ingin kehilangan iman Katoliknya. Ancaman bahwa proses gugatan akan berlangsung lebih lama dan denda yang menanti keluarganya tetap tidak membuat Sindat bergeming. "Kamu tidak boleh bercerai, karena itu akan membawa kemalangan kepada dirimu dan yang lain," demikian ucapan Djandoet. Sindat marah dan tetap diam. Ketika Panembahan bertemu dengan dua pastor di Tanjung pada hari berikutnya, dia tidak membahas tentang masalah di Serengkah dan kamipun tidak membicarakannya karena kami masih tidak mengetahui tentang interogasi yang diklaim Djandoet dan tidak tahu apakah Djandoet sudah mengajukan permohonannya kepada Panembahan.
Djandoet kembali ke Randau dengan penuh semnagat dari Ketapang dan menyatakan ke seluruh kampung bahwa Panembahan telah menyelidiki gugatannya dan telah mendukungnya dan yang terpenting Sindat akan dipaksa untuk kembali kepadanya. Dia memfitnah Sekolah Misionaris dan guru setempat dan mengancam semua yang menyebut Sindat sebagai seorang Katolik saat kedatangan Panembahan, karena dia adalah "Soekarman" seorang muslim. Djandoet mengatakan pula bahwa ia seorang anak didik dari penguasa.
P. Gerandus akan mengirim penentang Djandoet ke Ketapang tetapi tanpa konsekuensi.
Mantri Kontrolir dari Sandai Gusti Muslima melakukan penyelidikan di Randau, tetapi alih-alih menyelidiki, ia hanya berkhianat melawan umat Katolik dan Sekolah Misionaris dan menyatakan bahwa semua orang Kristen harus menandatangani berkas yang tidak jelas dan kemudian akan dikirim ke Ketapang untuk penyelidikan ketat lebih lanjut. Pada kesempatan ini, katekumen SONTANG (saat ini ketua kampung) meninggalkan keyakinannya dan kelompok setia lainnya. Pada pertemuan di Nanga Tayap dengan Panembahan ia menjelaskan kepada P. Leo bahwa penyelidikan itu masih menggantung dan membantah bahwa dia telah menginterogasi Sindat di Serengkah, karena "dia hanyalah seorang perempuan yang terlalu muda untuk menikah." Di Tumbang Titi dia berjanji kepada kedua pastor bahwa pada 20 September mendatang untuk mengunjungi Randau bersama Pettor dan akhirnya mengakhiri proses ini secara definitif.
Djandoet sementara itu menjadi brutal dan karena fitnah dan ancamannya dia berhasil mendapatkan berbagai elemen yang menakutkan dan tidak puas di tangannya, LENTOK yang terkenal juga ikut bergabung.
Karena keraguan, yang bahkan dikhawatirkan akan muncul di kalangan umat Katolk, setelah mendapat tanggal kunjungan resmi P. Leo memberkati pernikahan Sindat dengan Denggol pada 21 September 1938. P. Gerardus mengkomunikasikan keputusan ini ke Panembahan, melalui bantuan dari Asisten Residen (yang anehnya tidak tahu apa-apa tentang masalah ini!) dan diskusi lebih lajut mengenai masalah ini dengan Asisten Residen secara pribadi di Ketapang. Pettor dan Panembahan mengunjungi Randau dan seacara singkat melakukan penyelidikan yang bersifat pro forma saja; setelah itu mengunjungi Tumbang Titi dan menanyakan kepada Asisten Residen keseluruhan cerita. Untuk Panembahan ia ingin bertindak sebagai mediator dan ketika P. Gerardus kembali dari Pontianak ia mengunjungi Asisten Residen dan disetujui bahwa Sindat membayar denda sesuai adat Melayu. Akan tetapi, malang untuk sekolah Randau. Kerugian yang dialaminya jauh lebih besar, karena dengan durasi lama dari fitnah, otoritas Misi dilemahkan. Ketakutan terhadap Panembahan dan ketidakpercayaan terhadap sekolah meningkat. Perlahan ketenangan terlihat, tetapi kebencian dan kekecewaan tetap ada.
Pengunduran diri tiba-tiba MAS RIA yang baik hati berarti pukulan baru bagi sekolah. Pemilihan kepala kampung yang baru menimbulkan banyak konflik: Letok mendapat harapan lagi; bahkan Djandoet disebut, tetapi pengamat Koreng yang inferior, menuntut kepada Sandai agar Njantoeng yang diangkat, karena menurutnya lelaki ini bisa memurnikah adat lama dari semua kebusukan. Njantoeng tidak lagi disebut-sebut. (Njantoeng meninggal saat pengasingan di Ketapang pada bulan Juli 1946 karena T.B.C)
Kampanye Rahasia
Kini Kampanye rahasia tersebut dapat dilakukan tanpa gangguan karena Demong ini bertentangan dengan misi. Dalam setiap kesempatan, jika ia kembali ke Ketapang, ia secara terbuka memberitahu Panembahan bahwa Sekolah Misi tidak diharapkan berada di situ, juga bahwa anak-anak tidak boleh dipaksa. Politiknya sesuai dengan komentar yang sudah disebutkan sebelumnya, yaitu: untuk menjatuhkan sekolah tersebut dengan mengambil siswa-siswa di sana. Sedikit informasi dari 'stamboek' (buku register) menegaskan kebenaran dari taktik yang menyedihkan ini. Alasan baru untuk perlawanan terbuka tersebut adalah pemakaman Katolik Njalang, ayah dari Sindat, pada bulan Desember 1939. Lentok tergoda untuk membuat kuil berhala di atas kubur ini, dengan maksud untuk menguasai warisan Njalang sepenuhnya.
KEtidakadilan ini dicegat oleh P. Martinus dan P. Leo; namun hal ini mengaibatkan musuh-musuh kami dengan dipimpin oleh Njantoeng dan Koreng, karena kepahitan dan keserakahan, melakukan aksi yang lebih tajam melawan sekolah dan agama.
Nota 1. Lentok menyatakan dengan terus terang: apabila ia tidak diizinkan untuk membangun "rumah" di atas makam Njalang, ia akan melarang semua anak sekolah.
Nota 2. Dengan adanya perkara di Tajap setahun kemudian, upacara pemakaman ini disinggung lagi dan dimainkan untuk melawan Missie.
Pada kunjungan P. Martinus yang pertama Njantoeng menolak untuk menerima kami (walapun Panembahanlah yang mengusulkan dengan sangat agar Missie melakukan kunjungan kesopanan seperti itu); Koreng menolak meminjamkan perahu kampung (sementara orang-orang telah sekitar 5 tahun lamanya diperbolehkan menggunakan perahu misi). Keluhan mengenai hal ini telah disampaikan kepada Panembahan tetapi tidak mendapat tanggapan; sebaliknya Njantoeng kembali dari Ketapang dengan membawa gelar patih dan dengan sebuah dokumen konfirmasinya yang resmi.
Sejarah yang Menyedihkan
Pada September 1940, P. Donatus Dunselman, sebagai inspektur, mengunjungi sekolah Randau untuk menandatangani petisi yang serupa dengan Serengkahm yang juga pasti ditolak.
Pada Juli 1941, muncul orang-orang yang ingin memaksa untuk menyudahi hal ini. Njantoeng kembali dari Ketapang dan memulai pembangunan landschapsschool di bawah paksaan. Sekolah ini dimiliki dan dibiayai oleh Panembahan dan di sekolah ini ada 5 kelas berbahasa Melayu. Ketika P. Martinus menjelaskan hal ini kepada Asisten Residen di Ketapang, Panembahan menolak seluruh skema dan menyatakan bahwa Njantoeng telah salah paham dan akhirnya dia tidak dapat mengajukan tuduhan apapun terhadap guru Tjoroh kecuali untuk ini: bahwa guru ini pada 1938 tetap pada kedudukannya di hadapan Demong.
Ini adalah bagian sejarah yang menyedihkan dari kampung Randau yang merenggut kedamaian kami.
Dari hampir 800 jiwa yang tinggal di sana, sekitar dua puluhan merupakan umat Katolik. Beragam pemuda menempuh pendidikan di Nyarumkop. Tahun terakhir ada 24 murid, 13 di antaranya adalah anak perempuan dan pada tahun tersebut 7 anak perempuan pergi ke Nyarumkop walaupun mendapat ancaman dari kepala kampung. Generasi muda tidak diragukan lagi adalah yang dapat memikirkan misi ini lebih baik lagi dan juga harapan yang kami percaya dapat mendominasi orang Melayu setelah situasi yang tidak menentu ini.
---
Tanjung
Penyebar Benih Pertama
Di kampung Tandjoeng, orang pertama yang menyebarkan benih penginjilan adalah guru REHAL.
Sekitar tahun 1930, ia pindah dari Semapau ke Tandjoeng yang terletak di daerah Jelai, 32 km di sebelah selatan Tumbang Titi⁶. Di sini pulalah ia mulai mengajak beberapa pemuda dan lambat laun mendirikan rumah doa atau persekutuan doa.
⁶Teks aslinya Toembang Titi.
Khususnya dua bersaudara memperlihatkan minat besar pada kisah-kisah Alkitabnya, yaitu TEMBIRIK dan HADIR, tetapi saudara mereka MANGGAT tidak tertarik pada teori-teori baru dan menunjukkan sikap permusuhan terhadap Rehal. Rupanya Tembirik dan Hadir mengubah pikiran Manggat sehingga ia pun mengikuti pelajaran agama.
Kelompok teman-teman dengan cepat berkembang dan minat juga meningkat di kampung-kampung lain. Dalam beberapa tahun, di Tandjoeng dan sekitarnya terdapat 70 orang yang menyebut diri mereka katekumen. Baik pria maupun wanita, tua dan muda, secara teratur mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Rehal. Macam apa kekristenan yang bertumbuh ini, semoga ditunjukkan contoh berikut:
Orang-orang Melayu tidak terlalu tertarik pada berita ini, karena itu mempengaruhi keramahan yang sebelumnya mereka terima dan mereka merasa pengaruh mereka berhenti. Dengan cemoohan dan pertikaian mereka berusaha menghentikan penyebaran ajaran baru. Jadi, suatu kali seorang Melayu mengklaim bahwa dia bisa tahu agama yang sebenarnya: Islam atau Katolik dengan cara uji api. Dia rupanya berharap itu akan membuat orang-orang Dajak yang kikuk itu pergi meninggalkan pelajaran agama, tetapi yang sebaliknya terjadi. Tes itu langsung diterima oleh bocah lelaki, pembantu Rehal, yaitu Semboen, seorang katekumen dari Sepoting. Dengan penuh minat orang ingin mengetahui penghakiman ilahi ini.
Orang melayu meletakkan jerami terbakar di tangannya sendiri sebentar saja dan kemudian (tiga kali lebih lama) pada tanggan Semboen. Tetapi ketika hasilnya diperiksa pada hari berikutnya, tangan orang Melayu itu jelas terbakar, sementra tangan Samboen baik-baik saja. Fakta (kebetulan) lainnya memperkuat keyakinan mereka.
Kampung Tandjoeng segera tidak disukai oleh orang-orang Melayu yang tidak puas, karena penduduk Kampong yang berapi-api dengan keras menolak tuduhan dan mengabaikan ancaman. Karena ketidakhadiran bekepanjangan tuan-tuan, perselisihan berlanjut terus.
Dikatakan bahwa pada masa itu ada keluhan serius terhadap apa yang disebut Komite Layanan, dan tampaknya ada pelanggaran menjengkelkan di Tandjoeng. Apapun itu, faktanya adalah bahwa di Kampung Tandjoeng dibuat petisi terhadap Komite-Pelayanan yang dibenci ini, yang didukung oleh banyak bukti; dan bahwa dokumen ini, yang ditandatangani oleh Komisi kepala Kampung, dikirim ke Asisten Residen Ketapang. (Nota. Bagian ini disiapkan atas dorongan Letnah Gubernur Rocqwaes dan dengan bantuan Oeti Hallil. Guru Rehal telah terlibat secara tidak langsung dalam perkara ini). Dapat dimengerti alau Panembahan menjadi sangat kesal dengan perkeara ini, dan akibatnya Tandjoeng diperlakukan dengan buruk. Karena itu, misi dan guru Rehal juga dicurigai dan meskipun gelar yang sama sekali berbeda diberikan, guru Rehal dipindahkan ke Ketapang (Promoveatur ut amoveatur) . Khususnya orang-orang jahat dan musuh-musuh ajaran baru ini menemukan alasan untuk menyalahkan dan menentang agama dan - cukup aneh - di sini juga semuanya itu dinyatakan dalam nama dan wewenang Panembahan. Sudhah pasti bahwa selama kunjungan berikutnya, Panembahan bertindak dengan amarah yang sengit terhadap para pemberontak dan khususnya terhadap mereka yang tidak menaati adat dan kerajaannya. Juga pasti bahwa jemaat kecil Kristen telah memahami dan merasakan ucapannya sebagai kutukan dan mengaggap apa yang mereka lakukan sebagai pelanggaran resmi.
Tapi sekarang sebuah fakta kebetulan:
Ternyata kutukan yang ditakuti, seperti penyakit dan bencana, tidak terjadi. Ya, bahkan alih-alih panen yang gagal, sebaliknya sekarang ladang-ladang menghasilkan padi berlimpah dan temuan ini, yang juga diamati pada tahun-tahun berikutnya, benar-benar putus (tidak sesuai) dengan kepercayaan lama dan tradisi lama.
Musuh terbesar yang melawan misi di daerah Tandjoeng adalah Demong kampung Pakit, dan sungguh dia telah memenjarakan banyak katekumen. (Nota: Guru Rehal menandatangani perjanjian dengan kampung bahwa siapaun yang akan melecehkan umat Katolik akan dihukum. Sebagai kesaksian dan ratifikasi perjanjian ini, tiga tempayan ditinggalkan pada Demong dan sampai sekarang masih ada tempayan-tempayan itu.)
Bagaimanapun paroki tetap tumbuh, meskipun menghadapi berbagai macam kesulitan, dengan cepat dan tanpa takut para umat di Tandjoeng berdiri dalam pertempuran demi keyakinan mereka dan umat yang belum percaya menjadi semakin terpinggirkan, sedang antusiasme dan semangat umat Katolik meningkat.
Banyak dari mereka yang dikaitkan dengan umat Katolik adalah keturunan Tionghoa, yang pada saat itu juga dengan semangat meneladani dan menghidupi agama Katolik. Keluarga Soeng A La sudah dikenal: anak-anak mereka sudah dibabtis meksipun Sung A La sendiri masih hidup bersama dua istrinya. Juga A Keng dan A Lie, dua bersaudara yang pada masa itu merupakan umat Katolik yang baik dan dengan sukses menyebarkan nilai-ilai ketuhanan dan setelah kepergian guru Rehal, mereka mendirikan sebuah perkumpulan atau persekutuan pemuda.
Tanjung Merindukan Sekolah
Bagaimanapun Tanjung merindukan adanya sekolah Katolik yang dapat mendidik anak-anak sesuai ajaran dan prinsip-prinsip agama.
Dengan syarat yang menguntungkan, maka landschapsschool diambil alih (seperti yang terjadi di Riam Dadap dan Batu Mas), namun dengan adanya protes senigt di Tanjung dan pendirian sekolah di Randau yang dipaksakan, maka tidak seperti yang diharapkan usaha ini tidak berhasil.
Sekitar tahun 1933 orang-orang Tanjung membangun gereja di atas lahan tidur tersebut atas inisiatif mereka sendiri, tetapi tidak ada permintaan tertulis dengan klausul dari Serengkah.
Gereja kecil itu dibangun dengan cara yang primitif, namun bagi orang Tanjunf gereja ini sangat berarti, karena itu berarti bahwa kekristenan telah resmi berdiri di kampung ini dan bagi umat Kristiani tempat ini menjadi tempat ibadah umum dan pusat kehidupan beragama. Di belakang bangunan gereja ada bagian tanah kosong yang direncanakan untuk menjadi area pemakaman. Kami tidak dapat memungkiri bahwa proses pemakaman sebelumnya dilakukan tanpa pastor dengan prakitk-praktik yang dilakukan orang yang belum percaya dan tidak semua orang dikubur dalam keharuman kekudusan. Namun keyakinan mereka tulus untuk menyatukan makam dengan gereja Katolik, terlepas dari fakta bahwa keluarga mereka (yang telah mati tersebut) belum percaya.
Sekitar akhir tahun 1935 atau awal tahun 1936, Rehal harus pergi/berangkat, benar-benar dengan rasa kesal. Bagi umat ini merupakan kehilangan yang berat, karena pemimpin umat yang begitu berapi-api/bersemangat harus dibawa pergi dan meninggalkan umatnya bagai domba tak bergembala. Bagaimanapun Rehal masih merasakan kebahagiaan, kelompok pertamanya akhirnya dibabtis.
Pada tahun 1937 kembalilah guru Sawat dari Randau, dipindahkan ke Tanjung untuk meneruskan pekerjaan Rehal. Melihat hasil pelayanannya di Randau, ia membawa harapan baru bagi Tanjung. Di area atau tanah milik misi, ia membangun rumah bagi guru/pastor yang bertugas dan ia juga memimpin pertemuan pada hari Minggul; ia mengajar banyak katekumen di Tanjung dan juga perkampungan sekitarnya.
Karena kontrol yang terbatas atas pekerjaannya, yang dilakukan oleh para Pater yang bertugas, katekis muda ini jatuh ke dalam kelalaian dan dinyatakan bersalah atas kelalaiannya tersebut. Ia diskors keluar dari kantor untuk sementara sebagai hukumannya. Namun, karena semangatnya akhir-akhir ini, namanya pun dipulihkan kembali dan ia kembali dihormati. Sebagai gantinya, guru Ringkat yang masih lebih muda darinya diangkat. Ia belum lama menyelesaikan kursus di Nyarumkop. Namun, ia tetap tidak mampu mengatasi bahaya moral di kampung dengan menginginkan tunangan Kopral dan sebagai akibat dari skandal publik ini, P. Gerardus meminta untuk sesegera mungkin dilakukan pemecatan. Bagaimanapun, Ringkat kemudian diangkat kembali setelah masa pencobaan selama 2 tahun.
Begitulah situasinya pada masa Tumbang Titi didirikan tahun 1938.
Setelah 1938, Tanjung berada dalam situasi yang tenang sehingga para pemuda ini dapat memperdalam pengetahuannya tentang iman Kristen dan menjalani kehidupan yang tenang. Setiap minggu ada kunjungan dari P. Gerardus hingga September 1939 dan kemudian dari P. Leo.
Di tempat itu dibangun juga sebuah rumah tinggal yang kecil untuk pastor yang bertugas. Rumah ini dibangun sesuai dengan lingkungan Dayak dengan dapur dan ruang untuk guru yang mudah dijangkau orang Dayak di Jelai dan Kendawangan. Di tempat ini juga dibangun poliklinik dan rumah pastor agar tugas parki dapat dilakukan juga di sini.
Banyak katekumen tua dari guru Rrehal diajar dan dibabtis di tempat ini pada tahun-tahun yang tenang ini, juga banyak pernikahan dilangsungkan. Jumlah umat Katolik meningkat menjadi 75 orang, sementara juga masih ada sekitar sepuluh katekumen yang secara teratur menerima pengajaran pada tahun 1942.
Bertentangan dengan di Serengkah, orang-orang di Tanjung lebih ceria dan hidup, keyakinan mereka sangat impulsif dan spontan, adat mereka halus (supel) dan luwes. Penyalahgunaan minuman keras dan pesta pora adalah permasalahan terbesar yang sering muncul, yang melekat pada tabiat mereka dan adat yang lemah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di kalangan umat Katolik, banyak terjadi perubahan dan perbaikan.
Kepala kampung yang muda, yang bernama Patih Foekar (Sukar?) sangatlah dibutuhkan dan ia memimpin dengan kewajaran dan keadilan meski terdapat dua aliran yang berbeda di kampungnya. Ia tahu cara menghargai yang baik dan bersedia mendukung kegiatan umat Katolik. Saudaranya, Putar, menempuh pendidikan guru di Nyarumkop (Ia meninggal saat terjadi wabah TBC di Pontianak).
Pengaruh Melayu di Tanjung sudah rapuh dan hampir hilang seluruhnya. Namun, ada seorang guru bernama Ali, di Landsscahpschool yang meskipun ia keturunan Dayak mencoba menyebarkan superioritasnya dan kesombongannya yang konyol sebagai seorang Muslim. Dalam persidangan di kampung ia dituduh: propter concubitum cum puellies internis scholae, namun di kantor Tumbang Titi diputuskan bahwa urusan pribadi seperti ini tidak dadpat diberi hukuman berdasarkan adat Melayu. Dalam kasus ini gadis itu terlalu muda untuk bersaksi, bahkan kesaksian istri Ali sendiripun tidak dapat diperhitungkan. Singkatnya, proses sidang ini tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya saksi. Meskipun demikian, ia kemudian harus kehilangan kehormatan dan kekuasaannya sebagai guru.
Umat yang baru percaya ini dengan segala natur kemanusiaan mereka dan ajaran tradisional yang mereka dapatkan, yang masih melakukan berbagai pelanggaran, dalam prosesnya memperbaiki diri. Meskipun begitu mereka tetap meneladani apa yang telah diajarkan oleh guru Rehal dan ini dapat disebut sebagai karakteristik umat Katolik: dalam berbagai keadaan dan di atas segalanya mereka tetap ingin menjadi Katolik. Berbagai tindakan yang benar-benar heroik dikutip di bawah ini untuk mengkonfirmasi hal ini.
Kasus Manggar dan Si Oelas
S.A. Manggar ingin menikah dan memilih si Oelas sebagai teman hidupnya, seorang perempuan yang telah bercerai dari Alas. Alas ini bekerja sebagai kuli dan telah berangkat ke pesisir. Setelah menunggu lama dan berulang kali mencoba, interpelasi akhirya bisa dibuat dan jawaban Alas terdengar jelas: Si Oelas tetap si Oelas dan Alas tetap Alas; dengan kata lain: masing-masing mencari jalannya sendiri. Pernikahan ini kemudian dilayani oleh P. Gerardus dan pasangan ini bahagia walaupun pernikahan mereka kemudian belum juga dikaruniai anak.
Pada tahun 1940, setelah lima tahun menghilang, Alas datang kembali ke kampungnya. Si Oelas kemudian selingkuh, pergi dari rumah dan bersatu kembali dengan Alas. Manggar yang setia terpaksa melakukan persidangan di kampung dan kedua pelaku didenda. Dengan demikian menurut Demong, keduaya bebas menurut adat dan Si Oelas yang keras kepala tidak lagi dapat dihukum di masa depan. Dalam keputusasaaannya Manggar mencari dukungan dari kantor Tumbang Titi, namun untuk kasus ini tidak berlaku nilai-nilai moral Katolik, apalagi si Oelas menyatakan bahwa ia pada saat itu berada di bawah ancaman pastor dan Alas juga berulang kali menyatakan bahwa ia tidak pernah ditanyakan mengenai pernikahan si Oelas yang kedua kali tersebut. Menurut adat, kerabat dekat dapat, melalui hukuman, perampokan dan kejengkelan, menyebabkan pihak yang bersalah mengubah pikiran mereka dan dengan demikian memaksa mereka untuk kembali tapi kami lebih suka menahan diri dari tindakan keras ini, dan itulah sebabnya P. Martinus meminta intervensi dari Panembahan. Namun, dia tidak ingin tahu tentang mediasi dalam urusan ini dan juga menyarankan agar semua tindakan kekerasan tidak dilakukan, karena itu dia mengatakan bahwa: "Ini hanya anak-anak!!!". Dengan demikian kasusnya diselesaikan dan selama lebih dari satu tahun Manggar hidup sendiri dan tetap setia pada imannya.
Selama itu, ia menunggu dengan sadar, ia bertarung melawan godaan/cobaan dari kampung dan akhirnya ia mendapat izin untuk berankat ke Nyarumkop. Si Oelas yang keras kepala tetap dengan kemarahannya, namun menjelaskan berulang kali bahwa ia tidak akan meninggalkan kepercayaannya dan yang cukup aneh, ia juga ingin tetap menyimpan buku gereja dan rosario. Dia diusir oleh keluarganya dan dijauhkan dari tempat pembaringan terakhir kakaknya, dan meskipun demikian, hingga kini tidak ada yang bsa mengusirnya, tidak diragukan lagi ketetapan imannya akan terus bersamanya dan dengan rahmat Tuhan ia akan berubah.
Sama seperti Manggar, TENGKOELAS juga bertahan dalam selibat paksa kira-kira selama setahun, karena perempuan yang diduga istrinya, si Hanggir, tidak mau kembali. Secara kebetulan, ketika kami membuat buku pernikahan resmi kami, diketahui bahwa si Hanggir tidak bisa menjadi istri sahnya, dan ia kemudian menemukan pernikahan yang baru dan bahagia sebagai imbalan atas kebajikannya, sikap heroiknya, serta kesetiannya pada kewajibannya.
Si KITAS, ketika ia masih kafir, melakukan sebuah kesalahan terhadap anaknya yang aru lahir, tetapi kemudian ia sendiri harus mengalami bahaya kematian, setelah itu ia dibabtis. Dia belajar agama dan setelah satu tahun ia boleh menerima sakramen-sakramen. Meskipun perilakunya tidak ada yang salah, tidak ada yang berani memintanya untuk menikah. Karena itu dapat dijelaskan bahwa, atas permintaan pertama sebagai seorang kafir., dia mendekati dengan kedua tangan dan tidak dapat dijelaskan dengan buku atau peringatan. Tidak lama kemudian meskipun penyakit serius membawanya hampir mendekati kematian, pada saat itu ia tidak putus asa melainkan tetap berharap. Namun, ketika ia mendengar bahwa dia tidak dapat menerima Sakramen Perminyakan dan juga tidak akan dikuburkan secara Katolik, dia menyerah dan secara terbuka menyuruh amasius-nya (kekasih?) menjauh dari ranjang sakitnya.
Akhirnya, berikut ini adalah reformasi total pemakaman. P. Leo menyarankan agar kubg akan datang, ritual ini akan diwajibkanuran tetap terbuka dan dibersihkan sesering mungkin, dan dia juga berjanji untuk memberkati kuburan agar terbebas dari takhayul kafir. Pada hari Senin berikutnya mereka sudah mulai mengerjakkannya, baik pria maupun wanita dan anak-anak. Ketika P. Leo memeriksa pekerjaan tersebut pada hari Sabtu, semuanya benar-benar diciptakan kembali sebagai pemakaman Katolik. Setiap orang, bahkan orang-orang kafir (heiiden) juga merindukan agar kuburan keluarga mereka diberkati. Bersama-sama mereka mendirikan sebuah 'Bukit Kalvari' dan sebuah salib besar. Semua kuburan bisa diberkati dan selanjutnya di masa yang , ritual ini akan diwajibkan. Pekerjaan ini dilakukan secara sukarela dan juga dibentuk sebuah kelompok yang bersedia menjaga kebersihan kuburan.
Renovasi gereja juga akan dilaksanakan tanpa biaya, termask pengerjaan seluruh area dan juga jalan menuju gereja. Juga guru Ringkat, yang diizinkan untuk mempraktikkan pelayanan katekisasi, menunjukkan semangat dan pengabdiannya meskipun salib berat harus ia tanggung, yaitu kematian istriya.
Kami harus menyebutkan satu hal lagi yang dilakukan oleh umat Katolik Tandjoeng. Semu termasuk perempuan dan anak-anak turut serta dalam prosesi menuju Serengkah untuk menerima Sakramen-sakramen kudus untuk terakhir kalinya, karena Toean-toean (para pastor) diperintahkan untuk pergi ke Ketapang dan selanjutnya ditahan di interniran.
Kepari dan Sepotong
Pada kunjungan pelayanan rutinnya ke Randau, P. Leo juga beberapa kali mengunjungi kampung Kepari yang jaraknya 24 km dari Randau ke arah utara di wilayah Laoer, tempat tinggal keluarga D. PALOENG dan saudaranya PANGGOENG. Di sini kami menghitung ada beberapa katekumen.
Berulang kali orang-orang telah meminta kami untuk membangun sekolah karena jarak ke Randau terlalu jauh dan wilayah Laur membentuk kelompok kampung sendiri.
Orang Dayak Laur asli selama bertahun-tahun telah bercampur dengan imigran dari daerah Simpang dan Sekadau dan bahkan unsur-unsur dari wilayah Keriau dan Pawan dapat ditemukan di sini. Rumah panjang mereka berbeda dari rumah keluarga tunggal, membentuk perbedaan yang khas dengan rumah keluarga tunggal yang ditemukan di mana-mana di Hulu Matan. Bahasa dan adat mereka juga berbeda. Mereka pada dasarnya memiliki sifat yang ramah dan menyenangkan, juga benar-benar layak disebutkaan secara khusus bahwa perempuan secara moral dihargai dengan tinggi dan di atas segalanya, dalam pernikahan dikenal sebagai sosok yang setia.
Belum pernah sebelumnya Panembahan mengunjungi wilayah ini dalam masa pemerintahannya selama 25 tahun. Pada masa awal misi D. Paloeng (seorang lulusan kelas V Nyarumkop dan seorang Katolik teladan) meminta P. Gerardus agar ia diperbolehkan memberikan pelajaran agama (katekese) bagi penduduk kampung dan memberikan pendidikan sekolah bagi para remaja yang sedang tumbuh. Dalam penjelajahannya di Simpang, P. Gerardus membahas masalah ini dengan para tokoh masyarakat, yang semuanya setuju secara lisan dan berjanji untuk mengurus bahan bangunan serta membantu mereka dalam membangun dan juga mengisi sekolah. Mereka bahkan berjanji untuk menyediakan beras yang cukup untuk sang guru sebagai imbalan atas pengajarannya. Melihat besarnnya antusiasme untuk pendirian sekolah, P. Gerardus berpikir bahwa lebih baik untuk mengubah rencana awal dan mendirikan sekolah rakyat lengkap. Untuk tujuan ini, dia mengirim D. Paloeng ke Randau untuk menimba ilmu di bawah bimbingan Guru Tjoroh dan untuk mendapatkan latihan untuk mengajar.\
Pada tanggal 4 Oktober 1939, ia memulai pengajarannya di sebuah pinggiran kampung dengan murid sejumlah kurang lebih 12 orang, kemudian berkembang pesat hingga menjadi 26 orang sehingga kelas itu menjadi terlalu kecil untuk menampung mereka. Pendirian sekolah ini telah dikomunikasikan kepada Mantri dari Sandai, tetapi karena penyakit yang diderita P. Gerardus dalam perjalanan ke Simpang, informasi ini baru sampai kepada Panembahan beberapa waktu kemudian. Sementara itu, kepala kampung yang tidak dihormati, yang karena kebodohannya diabaikan di kampung, pergi ke Sandai dan ketika kembali ke kampung mengatakan bahwa dalam proses pendirian ini Panembahan tidak diakui dan karena itu sekolah ini pun tidak diakui. Orang-orang kampung menjadi ragu dan takut serta tidak berani berurusan dengan pembangunan tersebut. Namun, para siswa tetap melanjutkan pekerjaan dan membangun sekolah dengan bentuk yang sederhana, dengan upaya keras mereka sendiri. Setidaknya dengan jerih payah kami membangun itu, kami dapat meyakinkan Panembahan mengenai niat tulus kami dan bahwa pemberitahuan itu menjadi terlambat semata-mata karena P. Gerardus menderita sakit. Meskipun demikian, proses belajar mengajar tetap berjalan normal. Namun, karena lambatnya proses penyelesaian perkara, persetujuan atas resminya sekolah baru yang dibentuk ini baru diberlakukan pada tanggal 1 Mei 1940. Sekarang diharapkan bahwa pada tanggal ini semua permusuhan akan dihilangkan, tetapi hal sebaliknya terjadi.
Demong Kepari diinterogasi dan ditanyai dengan serius di kantor, tetapi dari kunjungannya ke Sandai ini, ia tidak menyampaikan apa-apa selain:
1) bahwa dengan bantuannya, adat Kepari hilang atau rusak
2) bahwa dengan dukungan lebih lanjut kepada sekolah kampung Kepari, maka semua daerah Laur akan menjauhkan diri dari pangeran (panembahan?)
Karena bayangan buruk ini, ia melarang anak-anak sekolah untuk melakukan pekerjaan bagi guru mereka; bahkan mereka pun dilarang mencari kayu api untuk guru.
Dari kantor Sandai muncul keputusan bahwa Panggoeng, saudara dari guru dicopot dari jabatannya sebagai Kebayan dengan alasan yang jelas yaitu bahwa ia mendukung prinsip-prinsip Katolik sehingga tugasnya mengatur dan memimpin desa menjadi bias.
Sebanyak dua kali anak-anak dikeluarkan dari sekolah untuk melakukan pelayanan kepada Mantri sebagai perawat dan pengasuh anak. Keluhan tentang hal ini sudah disampaikan kepada Panembahan, namun tdak ada tanggapan. Khususnya di kampung-kampung di sekitarnya yang kurang terkontrol oleh kekuasaan, karena pengaruh misi tindakan tersebut ditentang dan dengan demikian terlihat pengaruh "merusak" sebuah sekolah swasta. Akibatnya, secara bertahap murid-murid dari Sepotong meninggalkan sekolah dan banyak anak-anak Kepari karena satu dan lain hal juga dilarang sekolah.
Namun, hingga masa interniran kami, sekolah tetap dipertahhankan. Terepas dari keberadaannya yang merana, seolah itu telah membentuk beberapa katekumen yang baik, yang membentuk inti komunitas kristiani di masa depan. Selain dari Kepari, saat ini ada empat (4) umat Katolik yang layak dan 5 anak-anak yant telah dibabtis.
Sedangkan Sepotong adalah kampung yang terletak 4 km dari Kepari dan merupakan kampung yang terbesar di wilayah Laur dan di desa ini cocok untuk menjadi lingkungan sekolah karena penduduknya yang padat. Akan tetapi tujuan semula untuk mendirikan sekolah di Kepari tetap dipertimbangkan, karena Kepari dapatmenjadi titik penghubung Katolik dan telah ada katekumen di sana. Sejauh ini preferensi jatuh pada Kepari. Perpindahan ke Sepotong akan menimbulkan beberapa kesulitan.
Sudah ada 2 katekumen Sepotong, bernama Semboen dan Paggar yang telah menyediakan tanah untuk gedung sekolah dan bersedia membersihkan tanah itu, tetapi karena pernikahan Semboennyang tidak stabil dan kemudian kematianya, peluang menjadi semakin berkurang dan setelah propaganda fitnah melawan Kepari pembangunan tidak lagi dibicarakan.
SEMBOEN ini yang sudah dikenal sejak masa di Tanjung, menyelesaikan kursus pertanian di Nyarumkop dan kemudian menikahi gadis dengan penyakit lepra (penyakit yang sering muncul di kampung ini). Kenyataan bahwa Semboen berusaha menyembunyikan pernikahan ini dari Pastor serta ketidakkonsistenan pernikahan yang nekat ini membuat hubungan menjadi dingin. Meskipun demikian, Semboen dan istrinya tetap menjadi katekumen yang baik. Setelah satu tahun Semboen mati mendadak tapi masih sempat dibabtis oleh temannya, Paggar.
Sekukun dan Sungai Kiri
SEKUKUN adalah sebuah kampung besar di hulu sungai Pawan dan dalam perjalanan dinasnya ke sana, seorang pastor membicarakan tentang sekolah misi karena seorang Katolik Cina, A Sjong darai Sandai memiliki warung di kampung ini dan juga menawarkan pekerjaan misi di tempat ini. Rupanya kepala kampung mendiskusikan rencana misi tersebut dengan kantor. Karena itu Mantri Controleur, GOESTI MOESLIMA berangkat ke Sekukun dan memaksa untuk membangun sekolah yang dimaui raja dan bukan sekolah misi. Seorang anak laki-laki dari kelas 5 diangkat untuk memimpin pendidikan dan menerima penggantian sebagai kompensasi untuk semua jenis pekerjaan. Namun ternyata tuntutan itu terlalu tinggi sehingga dalam waktu satu tahun sekolah tersebut ditutup. Misi juga memiliki masa depan yang kecil.
Sedangkan SUNGAI KIRI merupakan kampung yang terletak di anak sungai kiri dari Jelai (karena itu dinamai demikian). Bersama dengan PETEBANG dan PASIR MAYANG membentuk pusat yang bagus untuk sekolah. Sudah beberapa kali masyarakat, melalui keluarga Katolik JOEMAL (Yumal), meminta untuk mendirikan sekolah misi di sana karena mereka tidak menginginkan sekolah Melayu. P. Martinus, bagaimanapun menuntut agar permintaan mereka diajukan secara tertulis dengan tandatangan semua kepala dan pejabat daerah karena kali ini dia tidak ingin mengambil risiko lagi dan Panembahan telah secara tegas menetapkan, setelah kasus Kepari, bahwa permintaan lebih lanjut harus dibuat secara tertulis. Salinan dokumen ini dikirim dan akhirnya bahkan tidak ada jawaban karena Pemerintahan Swapraja (Zelfbestuurder) sedikit menulis namun banyak berbicara!!!
Dalam beberapa kesempatan, kepala-kepala yang disebutkan di atas datang ke Ketapang dan mereka ditanyai pertanyaan semacam ini:
Apakah Anda ingin mendirikan sekolah misi? Ya Tuan. Jawab mereka. Bukankah Anda lebih memilh sekolah negeri? Mereka tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan ini dan diam karena mereka tahu dari pengalaman bahwa hal ini tidak dianjurkan karena akan membangkitkan murka pangeran mereka.
Karena hal ini mereka diusir, dan hanya ayah Joemal yang masih bertahan selama satu bulan di Ketapang karena dia adalah orang andalan. Sementara itu, di Sungai Kiri terjadi banyak pembahasan tentang keinginan tak terucap itu sehingga Mantri Controleur dari Tumbang Titi datang memberikan saran.
Dia menyusun proposal sekolah negeri yang akhirnya ditolak; proposal yang kedua juga ditolak untuk ditandatangani, dan akhirnya mereka mendapat proposal ketiga dan menandatanganinya. Jadi, tidak ada cara lain selain meninggalkan kedamaian Sekolah Misi karena petisi baru tidak akan berguna dan sudah tidak ada harapan lagi dalam memperjuangkan hak kami di Sungai Kiri.
Sehubungan dengan surat dari Serengkah yang telah ditandatangani dan dikirim oleh P. Donatus, Pemerintah Swapraja angkat bicara dengan menyinggung dokumen Sungai Kiri: "Anda melihat bahwa surat yang telah ditandatangani ini, tidak penting bagi saya. Siapa yang memberontak mendapat balasan. Oh lebih buruk lagi, Ini balas dendam saya!
Bagi kami, fakta terakhir ini adalah sebuah pelajaran, namun ini juga menunjukkan kenyataan yang menyedihkan bahwa tanpa dukungan Pemerintah Swapraja di sebuah daerah, tidak mungkin membuka sekolah-sekolah baru di masa mendatang. (Panembahan ini, bagaimanapun, dibunuh oleh Jepang selama pendudukan Jepang).
Dengan ini,, sejarah Misi Katolik Roma di Matan Hulu dapat dianggap selesai dan kami akan melanjutkan untuk membahas tentang METODE MISI, KESULITAN (dikarenakan) MASALAH ADAT dan PERJALANAN TUGAS di Matan Hulu.
Ditulis dari Buku Seri 1 Sejarah Keuskupan Ketapang Judul: AWAL KARYA KESELAMATAN DI KETAPANG-CATATAN P. LEO DE JONG, O.F.M.CAP. DARI BALIK PENJARA JEPANG DI KUCHING
Tidak ada komentar:
Posting Komentar