Dua hari lalu, saya mendapatkan kabar mengejutkan melalui whatsapp group "Keluarga Gereja St. Gemma" yang mengabarkan bahwa ibunda Romo Matheus Yuli telah pulang ke pangkuan Bapa. Ibunda Romo Yuli, Ibu Anastasia Elip meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 2020 dan disemayamkan di Balai Semandang, tempat kediaman ibu Elip dan suaminya yang merupakan orang tua dari Romo Yuli. Seluruh umat St. Gemma dan kenalan Romo Yuli sangat berduka dan mengucapkan turut berbela sungkawa kepada Romo Yuli.
Perjalanan Menuju Balai Semandang
Pada tanggal 28 Juni 2020, saya bergegas diri untuk berangkat menuju Balai Semandang, Kabupaten Ketapang. Sebelumnya, Frater Alfa telah memberitahukan bahwa Bapa Uskup meminta Frater dan saya untuk ikut serta melayat di rumah duka, tepatnya di Balai Semandang bersama pak Harun sebagai juru mudi. Hari ini juga merupakan kali pertamanya Frater Alfa melakukan perjalanan ke salah satu daerah di Regio Utara Keuskupan Ketapang. Meskipun saya sendiri sering melewati Balai Semandang saat pulang dari Pontianak menuju Ketapang, namun ini juga salah satu momen di mana saya sendiri bisa menginjakkan kaki di Balai Semandang. Dengan mengenakan jaket berawarna merah, kami siap berangkat menuju Balai Semandang menggunakan Mobil andalan Bapa Mgr. Pius Riana Prabdi, si Hilux Hitam. Namun, saat akan berangkat ternyata kami berdua tidak membawa masker. Mendengar hal itu, Bapa Uskup kemudian menawarkan masker kepada kami. Tidak hanya satu masker, tetapi dua masker; satu berwana merah dan yang lainnya berwarna hijau tua. Persiapan selesai, Pak Harun segera membanting setir dari Seminari Menengah St. Laurensius menuju Balai Semandang.
Selama perjalanan, kami memandang sekeliling dari dalam kendaraan yang kami tumpangi. Kami melalui jalur Indotani, Sungai Melayu dengan kondisi jalanannya yang aduhai. Sejak betahun-tahun lalu hingga saat ini jalur Pelang menuju Indotani memang terkenal oleh masyarakat sebagai jalan bubur, jika musim kering menjadi jalanan berdebu. Tidak hanya itu, jalur tersebut memiliki banyak lubang yang dalam, cekungan-cekungan yang jika dilalui memberikan sensasi turun naik dan hempasan yang cukup keras apabila kendaraan melaju cukup kencang. Maka, tidak ada satupun kendaraan yang berani melaju dengan sangat kencang sehingga rute yang seharusnya tidak terlalu jauh, terasa begitu jauh karena bentuk jalanan yang sangat rusak. Namun demikian, kami sangat menikmati kondisi jalanan tersebut meskipun begitu banyak lubang mengombang ambilkan kami di dalam mobil, nyatanya saya dan frater bahkan Bapa Uskup bisa tidur pulas juga.
Kami sempat mencoba melewati jalan alternatif yang cukup cepat seharusnya dilalui, namun oleh karena adanya pembangunan jembatan, dan petugas yang menjaga di sana tidak mengijinkan kami lewat. Akhirnya kami berputar balik dan melanjutkan perjalanan di jalur Sungai Melayu Rayak. Kiri kanan yang terlihat adalah kebun kelapa sawit, namun sesekali pemandangan indah menyegarkan mata, salah satunya adalah air biru yang berada di sekitar tanah kapur yang ada di daerah SP (saya lupa nama kebun sawit tersebut). Jiwa sebenarnya ingin turun sejenak mengambil gambar di situ secara dekat, namun apa daya, raga tak berdaya sebab Pak Harun terus melaju dan niat suci tersebut akhirnya urung juga.
Jalanan Ketapang-Nanga Tayap memang agak lucu sebenarnya, karena di balik jalanan yang rusak, ada saja jalanan yang bagus, namun tidak lama jalanan rusak kembali menanti. Saya agak menggerutu di dalam hati sebab pemandangan ini sudah bertahun-tahun saya rasakan dan alami ketika hilir mudik dari Nanga Tayap (tempat ayah saya bekerja) menuju Ketapang dan sebaliknya, tidak ada perubahan perbaikan jalan sama sekali. Saya sangat berharap sekali jalanan Ketapang menuju Nanga Tayap tersebut bisa kelar, setidaknya oleh Putera Daerah Ketapang siapapun nanti, sebab Jalan merupakan urat nadi masyarakat Ketapang. Jika akses jalan rusak, maka segala aktivitas harian dari desa ke Kota Ketapang akan terhambat. Sambil tetap menikmati perjalanan, kami menyantap pisang rebus, amplang dan Peyek dari kotak bekal yang dibawa Bapa Uskup. Mungkin dengan mengunyah, rasa campur aduk tersebut menghilang sejenak untuk masa depan dan debu-debu di jalanan itu.
Mulai dari Nanga Tayap sampai ke Balai Semandang, jalanan terasa sangat mulus. Agak sorenya, kami tidak sengaja menabrak seekor anjing (entah anak anjing atau bukan), karena kecepatan kami yang stabil. Si anjing ini ragu-ragu untuk maju dan akhirnya mundur sehingga kami tidak bisa mengelak. Saya bisa merasakan semacam gundukan di bawah mobil seperti menabrak sebuah batu. Tiba-tiba air liur saya tertahan di leher, karena saya sendiri adalah seorang dog lover. Namun kondisi kami tersebut membuat saya memahami bahwa kondisi kami tidak memungkinkan untuk menghindar, demi kebaikan dan menghindari kecelakaan. Itu petuah yang dikatakan oleh ayah saya ketika mengajari saya mengendarai mobil. Sebelum menuju Paroki Balai Semandang, kami singgah sebentar di Paroki Tembelina untuk BAK dan berhenti minum kopi. Setelah berbincang-bincang bersama Romo Boni, kami bertolak menuju TKP.
Akhirnya kami tiba di Pastoran Balai Semandang dan disambut langsung oleh Pastor Paroki Romo Benyamin. Romo Ben ini perangainya humoris sekali, sampai mengantar menuju kamar tamu saja dibikin ketawa. Sambil bercanda beliau berkata kepada saya dan Frater,"Kalian berdua tidur di kamar ini ya, WC nya ada di luar jadi kalau mau mandi, di luar saja." Sementara pak Harun dan Bapa Uskup menempati kamar masing-masing yang telah disediakan. Meskipun sudah di kamar, kami tidak lekas langsung tidur. Bapa Uskup meminta kami semua untuk hadir di rumah duka.
Sesampainya di rumah duka, banyak orang duduk di teras sambil berjaga. Ada yang mempersiapkan kayu untuk nisan, ada yang bermain kartu dan ada yang berbinang-bincang di luar. Di ruangan paling depan, sebuah peti (konsoi) dari kayu belian di mana almarhumah dibaringkan di situ. Romo Yuli dan keluarga menyambut kedatangan bapa uskup dan kami yang baru tiba di Balai Semandang. Sambil berjaga, kami bermain kartu bersama ibu-ibu yang hadir di situ, sementara Bapa Uskup dan Romo Yuli berbicang-bincang tidak jauh dari tempat kami bermain kartu. Tidak hanya itu, kami juga disuguhkan tuak untuk diminum dan cemilan berupa ubi goreng yang sangat lezat. Karena sudah mulai larut malam dan esok akan diadakan misa kematian di Gereja Yohanes Rasul Balai Semandang. Kami lekas pulang untuk beristirahat di Pastoran, hanya saja saya tidak bisa tidur karena badan kepanasan akibat meminum tuak (padahal saya minum tidak terlalu banyak). Akibatnya selama saya tidur, saya berkali-kali bangun dan terjaga.
Di Gereja Santo Yohanes Rasul, Balai Semandang
Hari ini tanggal 29 Juni 2020 diadakan misa Pemakaman Ibu Anastasia Elip di Gereja Santo Yohanes Rasul Balai Semandang. Gerejanya ini terletak di depan atau seberang jalan Pastoran Balai Semandang, sementara dari rumah duka kira-kira sekitar 200 meter jaraknya. Saya mandi pagi-pagi untuk mempersiapkan diri dan mengganti pakaian. Para Romo dari berbagai Paroki hadir untuk ikut serta mendampingi Bapa Uskup dalam Misa Pemakaman tersebut. Saya berjumpa dengan Romo Fransesco Eltara, Romo Cyrilus Ndora, Romo Pamungkas, Romo Indra Lamboy, Romo Dedi, Romo Budi Nugroho, Romo Busyet, Romo Basri, Romo Anton, dan juga Romo Lintas. Hadir juga suster Patricia, OSA yang bertugas di Balai Berkuak, suster ini semasa saya SMA selalu mendukung saya menjadi imam. Dan ketika saya kembali ke Seminari, suster Patricia sangat senang sampai berkali-kali beliau memukul bahu saya saking senangnya. Guyonan segar menjadi penambah semangat pagi ini, dan para imam bersiap menggunakan alba dan stola ungu masing-masing. Hanya Bapa Uskup, dan selebran pembantu yang mengenakan kasula berwarna ungu.
Suasana Gereja masih dalam masa Pandemi Covid-19, ini menjadi sejarah pertama di Gereja Santo Yohanes Rasul diadakannya misa secara langsung yang dipimpin oleh Bapa Uskup Ketapang. Romo Yuli juga turut serta menjadi konselebran sekaligus tuan rumah dari rumah duka. Suasana di dalam Gereja tentunya mengikuti protocol kesehatan yang telah dianjurkan. Sebelum masuk Gereja, seluruh imam dan para umat mencuci tangan terlebih dahulu, dan wajib mengenakan masker saat mengikuti misa. Setiap orang duduk saling berjarak dan selang-seling sesuai tanda yang telah dibuat di bangku masing-masing, hal ini bertujuan untuk mencegah penyebaran covid-19 melalui kontak langsung.
Ibadat misa dimulai, peti jenazah sudah dibawa masuk dan siap untuk diberkati. Prosesi misa berlangsung dengan sangat hikmat dan diikuti oleh sanak keluarga serta handai taulan dari ibu Anastasia Elip. Turut hadir pak Kartono Nuryadi yang merupakan guru saya sewaktu SMA dahulu. Beliau merupakan keluarga kandung dari ibu Anastasia Elip. Pak Kartono menyampaikan rasa berduka yang terdalam mewakili keluarga dan gambaran tentang perjalanan hidup Ibu Anastasia yang dipaparkan oleh beliau memberikan kesan yang mendalam bagi saya pribadi, bahwa Ibu Elip merupakan orang tua, nenek, ibu dan sosok yang sangat berarti di mata keluarga besarnya. Hati saya semakin terenyuh ketika Romo Yuli juga memaparkan bagaimana kasih yang diungkapkan ibu Anastasia Elip dan Pak Petrus Peder saat saling melayani satu sama lain. Bu Anastasia Elip mempersiapkan air kopi untuk Pak Petrus Peder, dan sebaliknya sang suami menyiapkan air putih untuk Ibu Anastasia Elip. Sementara ibu telah tiada, tak ada lagi yang membuatkan air kopi. Gambaran cinta kasih keluarga kudus Nazareth yang nyata telah dilakukan oleh Ibu Anastasia Elip bersama Pak Petrus Peder. Setelah dilaksanakan misa, Peti Jenazah kemudian disemayamkan di daerah Paseran, tempat makam keluarga Ibu Anastasia Elip.
Setelah melaksanakan misa, kami semua termasuk rombongan para Romo dan Bapa Uskup bergegas menuju rumah duka untuk bersantap siang bersama. Kami menyalami Romo Yuli dan mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya Ibu Anastasia Elip. Sekitar pukul 14.00 kami berbegas kembali ke Pastoran Balai Semandang untuk berkemas dan kembali ke Ketapang.
Requiescat In Pace, Semoga Ibu Anastasia Elip berbahagia bersama Para Kudus di Surga dan suami, anak, cucu serta keluarganya senantiasa memperoleh kekuatan dan ketabahan. Kita harus berbagia oleh karena iman kita pada-Nya. Sebab di dalam Kitab Suci dituliskan kurang lebih seperti ini: "Baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan" (Roma 13:8)
Kamipun kembali ke Ketapang melalui jalur yang sama dan menemukan permenungan mendalam akan perjalanan dan juga kematian yang membahagiakan.
Dokumentasi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar