Refleksi: Pengenalan Pastoral Di Tumbang Titi


Saya sangat bersyukur atas penyertaan Tuhan Yesus Kristus yang sungguh amat sangat baik di dalam merencanakan hal-hal baik yang terjadi di dalam hidup saya. Khususnya keputusan untuk perutusan  dalam melaksanakan pengenalan pastoral di Paroki St. Paulus Rasul Tumbang Titi, Keuskupan Ketapang. Banyak hal yang terjadi baik suka dan duka yang saya alami khususnya selama menjalani pengenalan pastoral di Paroki Tumbang Titi ini. Namun itu semua sangat saya syukuri sebab tanpa suka duka itu, saya tidak akan bisa merasakan sukacita yang sempurna selama saya menjalani proses ini.

Saya merasakan sukacita besar sejak dikeluarkannya SK penugasan dari Rektor TOR St. Laurensius Ketapang RD Andreas Budi Setyosambodo yang mengutus saya di Paroki St. Paulus Rasul Tumbang Titi ini. Saya tidak terlalu memikirkan apa yang akan terjadi, apa yang akan saya alami, saya hanya merasa bersyukur bisa ditempatkan di daerah yang belum pernah sama sekali saya kunjungi. Dan tentu, semangat belajar saya akan reksa pastoral, kebudayaan dan pelayanan di pastoran menggugah diri saya untuk semakin membuka pikiran pada pembelajaran langsung yang akan saya terima.

Di awal perutusan, saya ditempatkan pada sebuah pastoran yang sangat menarik bagi saya, bangunan terbuat dari kayu, bergaya klasik seperti rumah Panembahan zaman dahulu dan sangat nyaman untuk ditempati. Apalagi saya akan tinggal bersama dengan dua sosok imam yang saya kagumi yaitu RD Bonifasius Ubin dan RD Fransisco El Tara yang sangat ramah menerima saya sebagai pelajar yang baik di pastoran. Saya tidak khawatir pada apa yang ada, untuk mencuci, untuk mandi dan perlengkapan, makan selalu teratur selama tiga kali sehari, segala hal yang saya butuhkan sudah tersedia. Saya sangat bersyukur untuk segala hal yang sudah saya terima selama dua bulan ini.  

Saya juga mendapatkan banyak teman, sahabat, umat yang sangat baik, para penasehat dan rekan di pastoran. Khususnya Romo Ubin dan Romo El Tara yang senantiasa memberikan saya masukan dan pelajaran yang berharga selama saya melaksanakan pembelajaran. Terkadang ada kritik dan juga ada saran, semuanya itu diutarakan kendati untuk membuat saya semakin berkembang dan semakin maju. Baik Romo Ubin dan Romo El Tara tidak pernah mengabaikan saya. Ini saya anggap sebagai perhatian akan diri saya karena segala masukan yang saya dapatkan dari keduanya sangat amat membantu saya dalam menjalankan tugas-tugas saya di Paroki St. Paulus Rasul Tumbang Titi ini.

Setiap tugas yang didelegasikan kepada saya, saya kerjakan dengan sebaik mungkin. Pertama-tama mendengarkan saran dari keduanya agar saya tidak salah mengambil keputusan, diskusi dalam menafsirkan perikope, dan lain sebagainya. Melalui nasehat-nasehat beliau berdua, saya mendapatkan pelajaran berharga untuk lebih banyak mendengarkan daripada berbicara serta menjadi lebih rendah hati. 

Selain sukacita, saya juga tentu merasakan dukacita pada saat melaksanakan tugas pastoral dan semua itu saya terima dengan lapang dada sebagai pembelajaran untuk semakin lebih baik. Saat perjalanan turne misalnya, saya merasakan berkali-kali jatuh bangun saat mengendarai kendaraan motor. Bahkan karena jatuh tersebut, motor saya mengalami kerusakan di bagian depan. Saya merasa sedih dan menyesal karena jatuh, namun Romo El Tara senantiasa menasehati saya untuk tidak khawatir akan hal tersebut, yang paling penting saya baik-baik saja. 

Saya juga merasakan kesedihan setiap kali menghadiri ibadat kematian yang dipimpin baik oleh Romo Ubin maupun Romo El Tara. Saya merasakan kesedihan dari hati keluarga yang ditinggalkan. Betapa tidak mudah meyakinkan umat bahwa kematian kekal adalah hal yang membahagiakan. Betapa sulit untuk berbahagia ketika kenangan-kenangan masih tersirat begitu jelas. Namun saya merefleksikan ini sebagai air mata duka yang manusiawi dan wajar dirasakan oleh setiap orang. Pada iman yang sejati, umat melalui sang waktu akan memahami bahwa cinta kasih Allah pada orang yang meninggal dunia dinyatakan di dalam Kristus yang bangkit dari antara orang mati sebagai yang sulung. Dan bagi mereka yang meninggal ini karena pembabtisannya, ia menjadi serupa dengan Kristus, mati untuk hidup kekal. Kejadian sedih yang saya rasakan berkisar di lingkaran kejadian kematian di mana orang menangis dan meratap kepergian orang-orang yang mereka kasihi.

PENGALAMAN LUCU

Saya juga mengalami pengalaman lucu pada saat melayani di Paroki Tumbang Titi, salah satunya di stasi Punuk saat akan membabtiskan anak-anak bayi, salah satu ibu yang menggendong bayinya tiba-tiba menyusui di depan saya. Saya lekas menoleh ke arah lain sembari tetap konsentrasi membantu Romo Ubin membawakan air untuk pembabtisan anak. 

Kemudian, saat rekreasi bersama teman-teman OMK menuju Bukit Maloy Indah, kami tersesat di dalam area kebun sawit karena sama-sama tidak mengetahui jalan menuju tempat wisata tersebut. Akhirnya selama dua jam kami berkeliling di dalam kebun sawit perusahaan. Ketika kembali ke jalan besar, anak kecil memandu perjalanan kami dan barulah kami tiba di tujuan. 

Kejadian lucu lainnya, ketika saya melaksanakan ibadat pemakaman di Marau Sinar Bulan dan ada Bukong di sana. Bukong dalam Adat Budaya Daya merupakan semacam jelmaan “hantu” yang dilakoni oleh beberapa orang yang mengantarkan jenazah pada saat orang meninggal dunia. Saat saya sedang melayani ibadat, Bukong yang sedang mabuk tiba-tiba berteriak,”Amin!”, tidak lama kemudian berteriak lagi,”Lama gak! (“Lama sekali!”)” umat akhirnya menyuruh Bukong tersebut untuk tenang. Saya sempat tertawa di dalam hati namun memaklumi sebab mereka dalam keadaan mabuk.

Di Batu Tajam 1, saya berkenalan dengan seorang laki-laki paruh baya dengan kaki buntung sebelah, dia memperkenalkan diri,”Frater, kenalkan nama saya Romo”, saya terheran-heran,”Maksudnya, pak?” Ia menjawab lagi,”Iya ter, saya Romo.” Lalu orang-orang sekeliling menjelaskan kalau nama beliau memang bernama Romo. Setelah dijelaskan demikian, barulah saya mengerti. 

Ketika saya berkunjung ke Jungkal bersama Romo Ubin, motor saya mengalami masalah dan saya berhenti untuk memperbaiki. Karena pikir saya, saya pasti tertinggal, akhirnya saya mengebut. Dan ternyata Romo Ubin memutar kembali dan saya tidak menghiraukan beliau karena saat itu beliau mengenakan helm tidak seperti biasanya, karena saya mengira beliau orang lain. Setelah sampai di Gereja Jungkal, barulah beliau bercerita dan saya meminta maaf sambil tertawa. 

Saya merefleksikan perjalanan selama saya melaksanakan orientasi pastoral ini persis seperti jalanan yang berada di Petebang, Pasir Mayang, Sepauhan ataupun Sungai Maram. Jalanan yang terjal dan licin, kadang berliku-liku, berbatu, curam, bertepi jurang, meniti jalan yang kecil di antara parit-parit, ada rasa khawatir, bimbang, takut, ragu, tetapi pada akhirnya keyakinan pada Dia yang telah mengutus saya menghancurkan segala keraguan. Meskipun terjatuh, saya terus bangkit, meskipun saya terluka, saya tetap maju, dan pada akhirnya sampai pada tujuan oleh karena jiwa Kristus yang menuntun saya memikul salib dan pantang menyerah sebelum sampai tujuan. Orientasi pastoral ini semakin menguatkan saya di dalam panggilan dan saya tidak akan ragu untuk setia memilih jalan panggilan yang telah Tuhan tawarkan dalam hidup saya. Sebab rancangan-Mu bukanlah rancanganku dan Dia sendirilah yang telah memanggil saya. Saya merasa sangat bahagia menjalani proses orientasi pastoral ini dan semuanya berjalan dengan baik dan lancar.

KEBUDAYAAN SETEMPAT

Corak budaya Tumbang Titi didominasi oleh kebudayaan Dayak meskipun di antaranya terdapat orang-orang non-Dayak seperti orang Jawa, Tionghoa, Batak, Flores dan lain sebagainya. Dalam berbagai macam acara entah itu pernikahan maupun kematian, orang-orang cenderung melaksanakan ritual adat dan dilanjutkan dengan misa atau sebaliknya. Biasanya tuan rumah mempersiapkan segala hal dengan mengundang orang-orang Dewat Adat Dayak untuk melaksanakan prosesi adat. Item-item yang seringkali ditemukan dalam prosesi adat ini antara lain tajau (tempayan/guci), piring keramik, beras pulut, beras padi, rokok, sirih dan lain-lain. Di dalam prosesi adat ada semacam perbincangan antar demong adat yang biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Di tengah-tengah perkacapan biasanya ada seorang penggayung yang siap menyuguhkan hadirin dengan arak ataupun tuak dalam sebuah gelas. Selain itu, prosesi adat biasanya dibarengi dengan acara begendang (memainkan gong, gendeng, kulinang dll) sepanjang prosesi adat. Tidak jarang, baik demong adat dan umat serta undangan mengalami mabuk karena disuguhi arak atau tuak yang berlebihan (bahkan ada yang menggunakan tanduk kerbau). 

Pada saat adat kematian, umat mengikuti tradisi untuk mengadakan adat betipak (memainkan gong dengan nada khusus untuk kematian) selama 3 s/d 5 hari. Sehingga tidak jarang, pada saat pelayanan ibadat penguburan, bau mayat tercium keluar dari peti yang terbuat dari kayu secara swadaya oleh umat. Tidak jarang, cairan dari tubuh jenazah keluar dari peti karena terlalu lama untuk dikuburkan. Namun demikian, menurut umat setempat, hal tersebut sudah biasa dan bukan hal yang aneh. Selain betipak, ada pula Bukong yang menurut adat setempat dianggap sebagai jelmaan hantu atau menyamar menjadi hantu untuk berbaur dengan arwah-arwah yang ada di sekitar. Ciri-ciri bukong biasanya menggunakan ikat kepala dari akar merambat, menconteng wajah dan badan dengan arang, terkadang menggunakan topeng bukong dan mengeluarkan suara yang mengerikan untuk menakut-nakuti anak-anak dan perempuan. Berdasarkan informasi dari salah satu Demong, awalnya Bukong berfungsi untuk membantu orang yang berduka untuk mencari air, kayu bakar atau hal-hal yang dapat meringankan keluarga yang berduka. Namun saat ini, Bukong dirasa lebih banyak iseng daripada membantu. Di hari terakhir menjelang penguburan akan muncul istilah Bukong Raja yang dianggap mengepalai para bukong yang ada.  

Prosesi adat pengangkatan anak juga tidak berbeda dari adat pernikahan dan kematian dengan syarat-syarat yang serupa. Hanya saja tajau atau tempayan yang digunakan berukuran kecil. Upacara adat pengangkatan anak ini juga menghadirkan anak yang akan diangkat dan juga orang yang ingin mengangkat anak tersebut. Di dalam prosesi adat ini ada semacam ikatan perjanjian antara orang tua kandung dan orang tua angkat di mana si anak yang diangkat memiliki hak yang sama seperti anak kandung yang pengesahannya ditandai dengan memberikan tajau kecil kepada si orang tua angkat.

Hal yang serupa penulis temukan di setiap akhir adat adalah cara menyuguhkan hidangan makan atau makan adat. Sebelum makan juga dilakukan prosesi yang tidak terlalu panjang tetapi cukup memakan waktu sebagai kata pembuka. Para pastor, frater, suster, bruder biasanya dianggap orang yang dituakan, maka saat memulai prosesi adat hingga makan adat harus duduk di samping atau di sebelah demong adat. Setiap lelaki yang melaksanakan adat wajib mengenakan tengkulu’ atau ikat kepala yang dilingkari di atas kepala (boleh terbuat dari kain apa saja).

Penulis menyimpulkan bahwa adat yang dilaksanakan orang-orang Dayak tersebut sangat baik sebagai kekayaan dan kearifan lokal yang diwariskan turun temurun. Dan kolaborasinya dalam inkulturasi masih dapat memungkinkan meskipun belum kentara untuk mendahulukan ritus liturgi entah misa maupun ibadat baru kemudian upacara adat.  


Dokumentasi:







































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar