PEDULI PADA GEREJA

Umat gereja perdana merupakan sekumpulan umat yang sangat solid dan kompak dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Umat gereja pada masa itu begitu peduli pada kesejahteraan dan perbedaan di antara mereka bukan semata hanya dari ideologi masing-masing umat melainkan cara hidup yang diarahkan langsung dari kitab suci. Mereka bersosialisasi dan tampil di dalam masyarakat dengan cara hidup yang sangat berbeda dengan umat lainnya. Begitu demokratis dan hidup rukun bersama dalam sebuah komunitas kuat dari persatuan tubuh Kristus yang adalah pokok dan umat-umat inilah ranting-rantingnya (Yoh 15:5). Selain itu, cara hidup saling berbagi dan saling memberi mereka taati sebagai bentuk kesadaran mereka pada perintah Kristus untuk saling mengasihi satu sama lain dan diteruskan oleh para rasul di antara para jemaat perdana. 

    Ironisnya, pada masa kini cukup banyak anggota gereja yang masih belum memiliki kepedulian atau kesadaran solidaritas antarumat Gereja Katolik. Masih begitu banyaknya ideologi-idelogi pribadi serta kepentingan-kepentingan di luar gereja yang menjadi sorotan publik boleh terang-terangan masuk ke dalam tubuh gereja. Segala macam bentuk kepentingan pribadi atau kelompok menjadi trend bagi segelitir orang dalam memanfaatkan dukungan gereja bagi mereka. Beberapa di antaranya adalah kepentingan komersial, kedudukan, kekuasaan, politik, sara yang bisa kita nikmati secara sadar. Namun, begitu mirisnya bentuk kepedulian tersebut, kita lupa pada tujuan kita sebagai umat Katolik. Kita cenderung tidak tahu pada beberapa bentuk keindahan liturgi gereja. Banyak umat yang anti dalam pelayanan-pelayanan di tubuh gereja. Berpenampilan semau hati ketika menghadapi tubuh dan darah Kristus. Dan kelanjutannya hingga ke masyarakat luas. Semua hal tersebut masih banyak dipertanyakan oleh beberapa umat yang belum mendapatkan katekese jelas tentang hal-hal yang berkenaan dengan gereja. Alhasil,ketika dihadapkan oleh pertanyaan-pertanyaan dari umat lain, mungkin sebagian pertanyaan mampu kita jawab dengan baik, beberapa akan sulit dijawab oleh karena minimnya pengetahuan tentang katekese gereja Katolik. Ini akibat salah satu kurangnya perhatian umat untuk mengetahui lebih mengenai iman dan kepercayaan mereka sendiri.  Diperparah pula oleh kurangnya inovasi gereja  sendiri seperti para imam, biarawan-biarawati yang masih belum menyadari betapa pentingnya katekese khusus yang perlu diadakan demi memperkaya iman dan pengetahuan umat pada gereja dan Kristus sendiri. Seperti layaknya sebuah biji yang ditanam, tentu perlu disirami setiap hari agar dapat menjadi pohon yang kuat dan berbuah lebat. 

    Pengetahuan gereja mengenai liturgi, ritus dan sebagainya perlu diberikan kepada umat secara berkesinambungan. Ini tentu bertujuan agar antusias umat tumbuh dan berkembang sehingga kepedulian umat pada gereja terus lestari. Jangan sampai ketidaktahuan salah satu umat yang belum mendapatkan pengetahuan jelas mengenai katekese gereja dipertanyakan oleh sesama umat Katolik lainnya. Hal ini demi menghindari perbedaan pendapat oleh umat yang sungguh mengetahui katekese dengan umat yang belum mendapatkan informasi mengenai katekese gereja. Di tengah-tengah konflik ringan itu, pemimpin gereja atau imam dapat menjadi jawaban dari permasalahan. Akan tetapi, demi menghindari kejadian yang sama di kemudian hari, pemimpin gereja juga perlu melakukan sosialisasi mengenai katekese gereja secara mendasar hingga pendalaman iman yang dilaksanakan secara umum kepada umat. Generasi muda pada umumnya begitu menggebu-gebu menjadi saksi Kristus dengan pengetahuan seadanya, sekaligus rentan goyah dalam memikul salib mereka ketika kiri dan kanan mereka mulai mencambuk mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya belum mereka dapatkan jawabannya secara penuh dari gereja. Tidaklah heran jika pemuda-pemudi menjadi goyah imannya, berpindah agama dan berbalik menghina iman mereka sebelumnya. Ini dapat kita lihat melalui media-media sosial di mana para pemuda-pemudi yang semula memeluk iman Katolik, menjadi pemuda-pemudi yang sangat membenci iman mereka sebelumnya. Tidak dapat kita salahkan sepenuhnya kepada mereka, namun menjadi kepedulian bagi kita semua sebagai tubuh gereja untuk membina pengetahuan umat dan anak-anak generasi muda Katolik. 

    Sikap anti pada pelayanan gereja juga menjadi salah satu contoh kurangnya kepedulian umat pada gereja. Alangkah indahnya lantunan musik liturgi ataupun inkulturasi menghiasi tubuh gereja dalam berbagai misa, baik harian, mingguan, hingga misa khusus. Alangkah terbantunya imam ketika anak-anak muda membaktikan dirinya sebagai putra-putri altar dalam setiap misa yang diadakan gereja. Warna-warni liturgi gereja takkan menjadi hambar jika semua umat begitu antusias dalam gereja. Selain di dalam gereja, pelayanan-pelayanan gereja katolik lainnya masih sangat eksis di dalam masyarakat seperti komunitas-komunitas keluarga katolik, WKRI, OMK, Legio Maria, persekutuan doa dan lain sebagainya. Namun, masih juga banyak umat yang merasa dengan datang ke gereja hanya dengan duduk, mendengarkan homili, menyambut tubuh dan darah Kristus lalu kemudian pulang sudahlah cukup. Sikap monoton ini, kian lama kian mendominasi tubuh umat di masa modern ini. Banyak pula yang merasa dengan menjadi ‘umat biasa’ yang telah dibabtis, kemudian lepas begitu saja sudah cukup baik tanpa peduli dengan kegiatan-kegiatan pelayanan di gereja. Perlu kita ketahui bahwa menjadi pelayan dalam gereja merupakan salah satu bentuk pewartaan kerasulan kita sebagai umat Katolik di dalam tubuh gereja. Barulah kita secara bebas memberitakan kabar gembira dan kerasulan kita kepada seluruh dunia (Markus 16:15) dengan terlebih dahulu mengenal gereja itu sendiri. Hubungan yang begitu dalam antara gereja dan umat menjadi cermin begitu intimnya Kristus kepada mempelai-Nya yakni gereja itu sendiri (2 Kor 11:2, Ef. 5:22-27, Wahyu 19:7-9).  

    Hal lainnya yang tak kalah penting adalah menjaga sikap kita dengan memakai busana yang baik dan sopan pada saat ke gereja. Ini juga merupakan hal paling sederhana yang membuktikan bahwa kita sungguh memperhatikan gereja melalui diri kita sendiri. Pada dasarnya cara berpakaian adalah salah satu sikap penghargaan kita terhadap tubuh kita yang diciptakan Tuhan baik adanya (Kej 1:31). Bahkan pernah dikatakan pula oleh Rasul Paulus bahwa tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan (1 Kor 6:13) maka dari itu, kita harus menghargai tubuh kita sendiri bukan sebagai tujuan di mana setiap mata memandang tubuh sebagai objek kesenangan mata, melainkan sebagai ciptaan Tuhan yang mulia. Dalam Katekismus Gereja Katolik mengatakan bahwa “Supaya mempersiapkan diri secara wajar untuk menerima Sakramen ini, umat beriman perlu memperhatikan pantang yang wajib di gereja. Di dalam sikap (gerak-gerik, pakaian) akan terungkap perhormatan, kekhidmatan, dan kegembiraan yang sesuai dengan saat di mana Kristus menjadi tamu kita” (KGK 1387). Secara tidak langsung, gereja mengingatkan kita untuk tetap menjaga kesopanan dalam berpakaian pada saat di gereja. Oleh karena itu, setiap orang tua harus mengajarkan anak-anak mereka dengan teladan mereka sendiri. Bayangkan, jika kita bisa berpakaian rapi dan sopan pada saat ke kantor, seharusnya kita juga harus berpakaian yang sopan pada saat berjumpa dengan Tuhan Allah dalam perayaan Ekaristi.

    Masih banyak hal lainnya yang perlu menjadi kepedulian kita sebagai umat Katolik. Tak hanya di dalam gereja, melainkan di luar gereja yang menjadikan kita cerminan kebaikan Tuhan bagi sesama umat manusia. Ini bukan semata menjadi tuntutan gereja belaka, melainkan inisiatif kita sebagai umat untuk mencari kebenaran sejati di dalam Kristus secara terus menerus. Bukan menjadi umat gereja biasa, melainkan umat gereja perdana yang menjelma dalam tubuh gereja Katolik masa kini. Mari kita peduli pada gereja kita, mulai dari hal yang kecil, yaitu melayani gereja dari dalam. Sebab orang yang setia pada perkara yang kecil, akan setia pula pada perkara yang besar. Pax et Bonum. (Fransesco Agnes Ranubaya,OFS)