Belajar Untuk Hidup


Pagi yang cerah setelah semalaman diterpa hujan nan deras. Dinginnya pagi membangunkanku menuju kesadaran. Rebah semalaman, merenggangkan badan dan duduk sejenak memikirkan apa yang hendak dikerjakan. Tanda salib, doa syukur, dan bangkit. Demikian aku bangun dan mengguyur tubuh dengan segarnya air di pagi hari. Aku teringat, inilah hariku mengajar. Setelah segalanya siap, kukenakan sepatu merah hitam yang kusol dengan tangan sendiri itu. Mencari sepeda dan sarapan untuk menghirup tenaga darinya. Mengayuhlah kami (aku tak sendiri) di sepanjang jalan Kota Malang, melewati aneka macam kendaraan yang lalu lalang. Setibanya di sekolah, kukenakanlah seragam andalanku, jubah putihku. Dan kamipun siap untuk membuka pikiran, hati nurani dan perasaan yang ditransferkan kepada anak-anak yang haus akan ilmu itu. 

Mengajar, bagiku bukan sekedar mentransfer ilmu tetapi juga pelajaran hidup untuk memanusiakan manusia. Sebagai manusia, hakekatnya adalah belajar. Dalam proses belajar, selalu ada proses mengalami kesalahan. Pengalaman akan kesalahan ini merupakan proses manusiawi untuk menyelami dimensi-dimensi kebenaran. Untuk sampai pada dimensi kebenaran, harus mampu membuka pintu kerendahan hati untuk meyakinkan kehendak untuk belajar. Jika pintu itu tidak terbuka, manusia akan terapung-apung di depan pintu, tiada kemajuan, takkan menemukan kebenaran. Baik yang diajar maupun yang mengajar, sama-sama belajar. Maka itu, belajar adalah untuk hidup, bukan untuk tujuan yang absurd. Belajar adalah untuk kebaikan, bukan untuk tujuan yang jahat. Guru yang berhasil adalah guru yang mengalami pengalaman belajar selama mengajar, itulah esensi dari belajar untuk hidup yang kita sebut sebagai mendidik. Demikian proses memanusiakan manusia sama tujuannya dengan keselamatan yaitu sampai kepada hidup itu sendiri. 

Fr. Fransesco Agnes Ranubaya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar