Pada hari ini, kami Keuskupan Ketapang mendapatkan tamu jauh dan spesial. Dia adalah kak Siska yang dikenal sebagai dokter Siska. Kak Siska datang ke Malang sebenarnya untuk menyempatkan diri bertemu para Frater Keuskupan Ketapang. Kak Siska mendapatkan tugas khusus bersama timnya di Surabaya. Ketika berjalan-jalan menuju Batu dan Malang, Kak Siska minta diturunkan di Bandulan. Demikianlah Kak Siska berjumpa dengan Suster Florentina PIJ. Pagi itu, Kak Siska dan Suster Florentina membawa satu orang lagi, seorang calon dari Suster PIJ yang tidak lain adalah adik dari Frater Ridho Palangkaraya. Kak Siska ternyata membawakan kami oleh-oleh berupa Kopi asli dari Kayong Utara, Ampang, Kue Lapis Surabaya dan Roti Unyil. Terutama Amplang, sudah cukup lama rasanya tidak memakan makanan khas Ketapang ini. Walaupun teksturnya mirip dengan kerupuk-kerupuk kebanyakan, tetapi ciri khas dari Amplang ini membedakan dari kerupuk yang lain yaitu ikan Belidak dan bentuknya yang bulat untuk hitungan kerupuk. Karena pukul 10.00, di antara kami akan ada yang Pastoral, demikian juga Kak Siska memiliki jadwal di Bandulan serta persiapan untuk berangkat kembali ke Surabaya menggunakan Travel, ia juga pamit bersama Suster Florentina. Kami semua kemudian berfoto bersama di depan patung Pie Ta dan Ikon Seminari kami patung Bunda Segala Suku. Kami juga membuat video khusus untuk Bunda Peduli Seminari yang selama ini telah membantu kami baik doa maupun donasi demi mendukung panggilan kami. Tentu saja, bagiku pribadi ini merupakan sebuah amanat untuk tidak menyia-nyiakan usaha dan dukungan umat Ketapang. Puji Tuhan! Saya bersyukur.
Senin, 2 Desember 2024
Kami melaksanakan pemilu calon Presiden BEM dan Ketua BPM 2024/2025 putaran pertama.
Selasa, 3 Desember 2024
Kami melaksanakan pemilu calon Presiden BEM dan Ketua BPM 2024/2025 putaran kedua. Hari ini setelah pulang kuliah, kami menghitung surat suara. Dari perolehan keseluruhan, Presiden BEM terpilih diraih oleh Yohanes Dwi N., C.M. dengan perolehan suara 28%, sementara Ketua BPM diraih oleh William Fortunatus D.A., PR. dengan perolehan suara 30%. Total suara sah dari pemilihan Ketua BPM sebanyak 348, suara tidak sah 13 dan golput 23. Sementara total suara sah dari pemilihan Presiden BEM sebanyak 360, suara tidak sah 6 dan golput 18. Total suara keseluruhan mahasiswa sebanyak 384. Saksi-saksi Cornelius Nuba Sakti, S.V.D., Blasius Diki, C.M., Windobrodus Mea, M.S.F. Ditanda tangani oleh Yoga Febriano, S.Fil. Ketua BPM 2023/2024, Fransesco Agnes Ranubaya, S.Kom Sekretaris BPM 2023/2024, dan Reginal, S.H. Ketua Panitia Pemilihan Umum.
Sabtu, 14 Desember 2024
Hari ini aku berjumpa dengan dua ekor anjing lucu jenis Husky miliki Frater. Dua anabul ini sangat aktif, yang satunya sangat agresif, yang satunya kalem. Aku mencoba berfoto bersama mereka, dan benar, hasilnya benar-benar lucu. Ketika melihat dua ekor anjing ini, aku teringat dengan kasus yang baru-baru ini dialami oleh Seminari. Ada beberapa ekor anjing yang masuk ke ruang Refter Romo lalu memporakporandakan sofa dan barang-barang yang ada di dalamnya. Selain itu, anjing-anjing tersebut juga merusak kabel sound system di kapel utama. Setelah itu, muncul gugatan dari komunitas dan para Frater. Bahkan ada yang mengatakan dengan gamblang,"Bunuh saja, anjing itu!" Aku rasa, ini sudah menjurus pada kebencian. Aku merenungkan kembali esensi manusia sebagai makhluk yang berakal budi, manusia berpikir dan mencari cara yang baik dan benar, bukan atas dasar kebencian belaka. Kembali pada kasus tadi, sebenarnya anjing tidak dapat dipersalahkan karena mereka adalah hewan yang jelas tidak memiliki akal budi seperti manusia. Pada dasarnya seekor anjing akan menggigit apa saja yang ditemui, karena ini adalah dasar naluriahnya. Maka, pemiliknya yang seharusnya bertanggung jawab untuk hal ini. Mengapa? Karena dia, sebagai manusia, yang tahu konsekuensi memelihara anjing yang memiliki naluri sedemikian, dialah itu yang mengontrol gerakan mereka. Maka, salah aku menyarankan kalau sebaiknya anjing-anjing itu dikandangi dengan layak agar tidak merugikan sesama anggota komunitas. Lalu, mengenai ujaran kebencian hingga niat untuk membunuh anjing hanya karena naluriah binatang, aku rasa, sebagai manusia, Frater ini gagal dalam berpikir rasional. Apalagi di zaman ini, tidak sedikit orang-orang yang mencintai hewan, dan gerakan-gerakan untuk memperlakukan hewan dengan layak sudah digalakkan. Bahkan, beberapa aktivitas pemotongan anjing sempat disorot, karena beberapa oknum dijerat hukum karena hal tersebut. Gunakanlah, akal dan budi dengan baik sebagai seorang calon imam, tidak mudah tersulut amarah dan menjadi provokator kebencian, karena semua ada solusinya.
Minggu, 15 Desember 2024
Hari Minggu ini merupakan Minggu Advent Gaudette yang dirayakan ketika memasuki Minggu Advent III. Minggu Advent penuh sukacita,"Sukacita bagi kita semua, kecuali tim Liverpool", ungkap Romo Maximilian Boas Pegan. Ini cukup lucu karena beliau sangat gemar bola sama seperti beberapa Frater lainnya termasuk saya pendukung Barcelona dan Real Madrid.
Setelah misa, kami berfoto bersama dan membuat video ucapan Selamat Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 yang nantinya akan digunakan untuk video ucapan saat Natal tiba.
Senin, 23 Desember 2026
Hari ini merupakan hari yang menggembirakan karena airnya aku bisa berangkat asistensi. Asisten sini merupakan syarat-syarat yang ditunggu-tunggu oleh para operator untuk berlibur dan juga sekaligus belajar. Tentu saja, aku tidak memilih untuk berlibur saja karena bagiku hanya sekedar libur lalu menghabiskan waktu, jalan-jalan, bersenang-senang, tidak ada artinya. Tetapi dengan melaksanaselaskan asistensi aku bisa menimba berbagai macam inspirasi, pengalaman, belajar, dan semakin memupuk rasa dan kecintaan pada panggilan yang Tuhan berikan dalam hidupku. Pada hari ini kami berangkat menuju Jakarta dengan menggunakan kereta Matarmaja 233. Aku di gerbong 5 bersama dengan Frater Jaka, sementara Frater Hans di gerbong 7. Pengalaman naik kereta api ini memang sejak dahulu kurasakan cukup menyenangkan, tetapi agak sedikit melelahkan karena seharian dari Malang menuju Jakarta itu bisa 12 jam lebih yang membuat kaki bisa kesemutan jika terlalu lama duduk. Ketika kereta sampai di Stasiun Pasar Senen, kami tidak bisa langsung pergi menuju tempat asistensi masing-masing karena kami harus menunggu loket commuter Line dibuka pada pukul 05.00 setelah loket terbuka saya baru bisa menuju ke stasiun commuter Line arah arah Pasar Senen menuju stasiun Duri. Baru dilanjutkan untuk naik kereta transit menuju arah Kalideres. Sementara Frater Hans terus melanjutkan perjalanannya ke Stasiun Manggarai dan dia harus transit menuju Stasiun Bogor. Kemudian sekitar jam 06.00 aku bersama Frater Jaka tiba di Stasiun Kalideres. Kami menunggu GoCar untuk mengantar kami menuju Gereja Paroki Santa Maria Immakulata Kalideres. Di sana Kami berjumpa dengan Binus yang ramah. Dia mengantar kami ke ruang di mana barang-barang Kami sudah ada di sana. Baru setelah itu kami berjumpa dengan Romo Bono dan Roma Eko dan Diakon Pras, dan seorang Frater OMI yaitu Fr. Vibo dan Bruder Fero.
Selasa, 24 Desember 2024
Pada malam Natal, aku bertugas juga untuk membagikan komuni. Ada sekitar 2 sesi pertama pada pukul 05.00 sore dan juga pukul 09.00 malam. Lalu juga ada hal yang tidak terduga bahwa aku berjumpa dengan teman lamaku Victoria Korina. Malam harinya, Pastor Bono, Pastor Eko, Diakon Pras bersama yang lainnya juga diJak umat ke tempat yang namanya Pig Hunter.
Rabu, 25 Desember 2024
Hari Natal ini, aku tetap stand by untuk melayani Misa pada pukul 6.00 terutama membagi komuni. Setelah itu bisa pada jam 10.00 pagi. Aku bersama Frater Vibo yang telah mempersiapkan kotbah untuk anak-anak. Kami juga berkolaborasi dengan 2 MC dari Bina Iman Remaja (BIR) Linda dan Vanessa. Sungguh pelayanan hari ini tidak dapat dilupakan.
Pada Kamis, 26 Desember 2024, sehari setelah perayaan Natal, Komunitas Paguter (Paguyuban Orang Tua Terpanggil) Paroki St. Maria Immakulata Kalideres mengadakan pertemuan di "Aula Harapan" Gereja. Kegiatan ini berlangsung dengan penuh kehangatan dan dihadiri oleh Pastor Paroki Kalideres, Romo Antonius Rajabana, O.M.I., bersama para frater dan bruder O.M.I., seorang Frater dari Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), dua frater tamu dari Keuskupan Ketapang dan Keuskupan Agung Pontianak, serta para suster ADM. Para anggota Paguter beserta tamu undangan turut memeriahkan acara ini.
Acara diawali dengan sesi perkenalan dari para frater, bruder, dan suster yang hadir. Dalam kesempatan ini, Sr. Elisabeth dari Kongregasi ADM (Amalkasih Darah Mulia) berbagi kisah tentang tugasnya di Komunitas ADM Cengkareng sebagai penanggung jawab Sekolah Serafim yang mencakup jenjang TK, SD, dan SMP. Sr. Elisabeth juga menyebutkan bahwa komunitas ADM Cengkareng terdiri dari enam anggota yang aktif melayani di berbagai bidang.
Sementara itu, Sr. Norbertin, ADM, memperkenalkan dirinya sebagai suster asal Sumba, NTT, yang sehari-hari melayani di Sekolah PG dan PAUD sekaligus menjalani studi lanjut. Kedua suster ini menyampaikan rasa syukur dapat berkumpul bersama dalam suasana Natal yang hangat dan penuh kekeluargaan.
Pada pertemuan Komunitas Paguter di Paroki St. Maria Immakulata Kalideres, Kamis, 26 Desember 2024, hadir pula dua frater tamu yang turut memperkaya kebersamaan. Mereka adalah Fr. Fransesco Agnes Ranubaya, PR, dari Keuskupan Ketapang, dan Fr. Jakarias Sukardi, PR, dari Keuskupan Agung Pontianak. Keduanya saat ini menjalankan tugas asistensi pastoral di Paroki St. Maria Immakulata Kalideres.
Fr. Fransesco, calon imam dari Keuskupan Ketapang yang berasal dari Pontianak, sedang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang. Saat ini, ia berada di Semester 8 pada tingkat IV program S1. Sementara itu, Fr. Jakarias atau Fr. Jaka, calon imam dari Keuskupan Agung Pontianak yang berasal dari Kabupaten Landak, sedang menjalani pendidikan S2 di kampus yang sama.
Kedua frater tersebut merupakan rekan satu rumah studi di Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII, Malang. Dalam perkenalan mereka, Fr. Fransesco dan Fr. Jaka berbagi tentang perjalanan panggilan mereka, yang memberikan inspirasi dan motivasi bagi seluruh peserta yang hadir. Kehadiran mereka menjadi salah satu momen berkesan dalam acara yang penuh kekeluargaan tersebut.
Pertemuan Komunitas Paguter Paroki St. Maria Immakulata Kalideres turut dihadiri oleh Frater dan Bruder dari Kongregasi Oblat Maria Imakulata (O.M.I.). Mereka memperkenalkan diri dan berbagi pengalaman tentang panggilan hidup religius dalam kongregasi ini. Fr. Fibo, O.M.I., yang saat ini berada di Tingkat II pada Fakultas Teologi Wedabhakti (FTW), adalah frater muda asal Cilacap. Ia mulai mengenal O.M.I. sejak masa Seminari Menengah. Lulusan SMA tahun 2018 ini mengikrarkan kaul pertama pada tahun 2023. Dalam perkenalannya, Fr. Fibo menjelaskan bahwa nama "Fibo" merupakan singkatan dari "Final Bola," julukan yang diterimanya karena kegemaran orangtuanya terhadap olahraga tersebut.
Sementara itu, Br. Vero, O.M.I., berasal dari Kalimantan Barat, tepatnya Paroki Sepauk. Ia saat ini sedang menjalani studi di Yogyakarta dengan latar belakang pendidikan di bidang Pendidikan Agama Katolik atau katekis. Meski tidak berlatar filsafat dan teologi seperti Fr. Fibo, Br. Vero menjelaskan bahwa ia memilih jalur sebagai bruder untuk mendukung karya-karya O.M.I. yang membutuhkan perhatian khusus. Ia menegaskan bahwa peran bruder dalam kongregasi ini serupa dengan peran para suster yang melayani di berbagai bidang.
Keduanya merupakan bagian dari angkatan yang terdiri atas enam anggota: dua bruder dan empat frater. Secara keseluruhan, Kongregasi O.M.I. saat ini memiliki 15 anggota muda yang sedang dalam tahap formasi. Fr. Fibo dan Br. Vero juga bertugas sebagai bagian dari Seksi Panggilan, bersama Fr. Andika, O.M.I., yang saat ini berada di Cilacap untuk menjalani studi di Tingkat I.
Dalam sesi perkenalan, mereka mengungkapkan bahwa kegiatan ini juga bertujuan mempersiapkan promosi panggilan Kongregasi O.M.I. yang akan digelar pada Februari mendatang. Kehadiran mereka di acara ini memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan religius di O.M.I. serta memotivasi para peserta untuk semakin mendukung karya-karya panggilan.
Renungan Natal oleh Romo Antonius Rajabana, O.M.I.
“Natal artinya kita tidak sendirian. Tuhan menyertai kita, Immanuel. Persoalan hidup mungkin belum berubah, tetapi yang berubah adalah kita. Kita tidak lagi menghadapi masalah seorang diri karena Tuhan menyertai dan bekerja bersama kita,” ujar Pastor Bono. Ia menegaskan bahwa merayakan Natal adalah menyadari bahwa kita telah diselamatkan, dan dalam menghadapi tantangan hidup, kita dipanggil untuk membawa damai dan menjadi bagian dari solusi.
Pastor Bono juga mengingatkan bahwa panggilan hidup sebagai biarawan-biarawati atau imam adalah bentuk kerja sama dengan Kristus yang menyelamatkan. “Ketika imam mempersembahkan misa, ia bertindak in persona Christi—sebagai perwakilan Kristus. Jika tidak ada seseorang yang terpanggil, bagaimana pelayanan bisa berlangsung? Kita semua, baik yang terpanggil maupun yang mendukung, memiliki peran dalam karya keselamatan Tuhan,” jelasnya.
Dalam pertemuan tersebut, Pastor Bono juga berbagi cerita tentang tantangan yang sering dihadapi dalam mendukung panggilan hidup religius, terutama dari pihak keluarga. “Banyak orang tua mendukung secara lisan tetapi berharap anak orang lain yang terpanggil. Namun, panggilan itu tetap milik Tuhan, dan dengan kesetiaan, hati orang tua pun bisa berubah,” katanya.
Ia memberikan contoh kisah seorang calon imam yang merupakan anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Sang ayah, yang belum memeluk iman Katolik, awalnya menolak keinginan anaknya untuk masuk seminari. Namun, melalui doa dan ketekunan, anak tersebut akhirnya mendapatkan izin dan sekarang sedang menempuh jalan panggilan di Kongregasi O.M.I.
Pastor Bono juga mengisahkan perjalanan Fr. Thomas, seorang frater yang sebelumnya menempuh pendidikan di bidang Kimia. “Ibunya awalnya tidak mengizinkan. Saya katakan, ‘Ya sudah, lanjutkan kuliah.’ Setelah lulus, Fr. Thomas menyatakan kembali keinginannya untuk masuk seminari. Kini ia sudah lulus dan akan dikirim ke Roma untuk studi lanjut tahun depan,” ungkap Pastor Bono.
Kisah Perjalanan Panggilan Fr. Jesen, Pr: Dari Misdinar hingga Calon Imam Projo Jakarta
Fr. Jesen, Pr., putera paroki Kalideres, berbagi kisah panggilannya menjadi calon imam Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Anak dari pasangan Pak Feri, Fr. Jesen saat ini sedang berada di Tingkat IV dan tengah menyusun skripsi. Adik kelas Romo Wilson selama lima tahun ini merenungkan perjalanan panggilannya yang penuh dengan rahmat dan tantangan.
Ketika ditanya mengenai awal ketertarikannya menjadi imam, Fr. Jesen menjawab bahwa panggilannya tidak muncul melalui bisikan ilahi sejak kecil. “Tentu tidak,” ujarnya sambil tersenyum. “Ada pengalaman-pengalaman kecil yang sederhana tetapi penuh misteri. Misalnya, waktu kecil saya sering diajak mama doa rosario, sampai umat lingkungan memanggil saya ‘Romo Jesen.’ Kemudian, saya menjadi misdinar, jadi lebih sering bertemu Romo. Selain itu, saat di sekolah, saya beruntung memiliki guru agama yang benar-benar mendukung calon imam. Dukungan ini membuat saya semakin bertumbuh. Akhirnya, di SMP, saya memutuskan untuk mengikuti jalan hidup ini.”
Keputusan Fr. Jesen membawa dia ke Seminari Wacana Bhakti. Namun, perjalanannya di seminari tidak selalu mudah. “Saat di seminari, saya bertemu banyak pribadi yang beragam. Ada yang bandel, ada candaan khas laki-laki. Itu sempat menggoyahkan saya. Tapi justru di situ ada rahmat. Saya mulai paham apa yang saya cari. Awalnya, saya hanya ingin menjadi orang yang tampil di tempat umum, tetapi Tuhan memurnikan panggilan saya. Saya diminta mencari lebih dalam.”
Fr. Jesen juga menyinggung soal ketaatan yang menjadi syarat utama panggilan imam. “Apapun jalannya—entah Projo, O.M.I., atau lainnya—menjadi imam berarti harus taat. Kalau ditugaskan menjadi dosen, anggota kuria, atau bahkan ke tempat misi berat, kita tidak tahu. Tapi saya percaya pada Providentia Dei, penyelenggaraan Tuhan. Tuhan akan memberi jalan melalui orang-orang dan pengalaman yang kita temui.”
Terkait dukungan orang tua, Fr. Jesen mengakui bahwa peran ibunya sangat besar dalam mengarahkan pilihannya. “Awalnya, saya tidak tahu apa itu Seminari Wacana Bhakti, apalagi O.M.I. Saya bertanya kepada mama, ‘Mak, saya mau jadi Romo. Katanya jadi Romo itu keren.’ Mama kemudian memberi dua pilihan: Merto dan Wacana Bhakti. Mama bilang, ‘Supaya nggak jauh-jauh, pilih Wacana Bhakti, ya?’ Akhirnya saya masuk ke sana.”
Masa awal di seminari juga penuh tantangan. “Tiga bulan pertama, masa karantina. Tidak boleh ada kunjungan dari luar. Realitas yang saya hadapi saat itu berat. Berat badan saya turun dari 80 kg menjadi 60 kg. Mama sampai berkata, ‘Kalau kamu nggak kuat di seminari, mending keluar aja, daripada mama nangis.’ Tapi saya bertahan, dan akhirnya bisa menyesuaikan diri. Berat badan saya pun kembali naik hingga 72 kg,” kenangnya dengan tawa.
Momentum penting terjadi pada tahun terakhir Fr. Jesen di Seminari Menengah. Sebelum ibunya meninggal pada Juni 2023, ia sempat bertanya kepada kedua orang tuanya, “Pa, Ma, apakah selama ini aku sudah berjuang di jalan ini? Apakah ada ganjalan kalau aku lanjut jadi Romo?” Orang tuanya sepakat menjawab, “Asal kamu bahagia dengan panggilan itu.”
Pilihan Fr. Jesen untuk menjadi imam Projo Jakarta juga melalui refleksi panjang. “Saya bukan pribadi yang spesifik, lebih ke generalis. Awalnya saya ingin menjadi Jesuit, tetapi ada ketakutan menghadapi lingkungan baru. Maka saya memilih yang realistis, yaitu Projo Jakarta, karena selain dekat, banyak teman yang juga memilih projo.”
Fr. Jesen menyadari bahwa setiap pilihan memiliki tantangan tersendiri. “Jakarta pun ada tantangan. Tidak ada yang lebih baik atau lebih superior. Saya sadar panggilan saya bukan soal menjadi A, B, atau C. Kalau merasa tidak cocok, ada dua pilihan: lanjut atau memilih jalan lain. Saya memilih untuk bertahan di Projo Jakarta.”
Ia mengakhiri kisahnya dengan refleksi mendalam. “Menjadi imam berarti berpindah dari bagian yang berpersoalan ke bagian solusi, bekerja bersama Kristus yang menyelamatkan. Saya yakin Tuhan yang akan memampukan, asalkan kita setia pada panggilan kita.”
Awal Perjalanan Bruder Fero, O.M.I
Awalnya, Bruder Fero, O.M.I. tidak merasa terpanggil secara khusus untuk menempuh jalan hidup religius. Keputusan untuk melangkah justru berawal dari keinginan mencari pengalaman baru. "Waktu itu, Romo Eko masih bertugas di Paroki pada tahun 2018. Paman saya yang sangat aktif di gereja menawarkan kepada saya untuk mencoba," ungkap Bruder Fero.
Ia mengaku saat itu belum mengetahui banyak tentang seminari. "Ketika mendapatkan formulir, saya memutuskan untuk mencoba demi pengalaman," lanjutnya. Meski begitu, ia menyadari ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi dan cukup sulit. Setelah melalui wawancara dengan Romo Eko, yang saat itu adalah provinsial terpilih, Bruder Fero akhirnya diterima. Namun, ia mengakui bahwa pada tahap awal, ia belum memiliki gambaran yang jelas apakah ingin menjadi Romo atau Bruder.
Di sisi keluarga, dukungan hadir dari sang ayah, sementara ibunya masih belum mendukung sepenuhnya karena memeluk agama Islam. "Soal ibu, serahkan pada Bapak," ujar Bruder Fero mengenang.
Perjalanannya dimulai di Seminari Menengah di Cilacap. Di sana, ia mulai diperkenalkan lebih dalam dengan karya-karya Oblat Maria Imakulata (OMI). Pada titik inilah gambaran tentang panggilannya mulai muncul. Ia sering kali diutus untuk membantu berbagai kegiatan studi, di mana ia melihat langsung karya-karya OMI, termasuk mengamati sosok inspiratif seperti Romo Carolus yang terkenal dengan dedikasinya.
Ketika memasuki masa Postulat, Bruder Fero kembali merenungkan keputusannya. "Dengan motivasi dasar yang ada, saya memutuskan untuk melanjutkan dan menyerahkannya kepada Tuhan," ungkapnya. Selama setahun di masa tersebut, ia mengalami banyak hal, termasuk mengenal lebih dalam karya-karya OMI melalui program live-in di komunitas Trinitas. "Saya semakin mengenal Romo-Romo OMI, dan akhirnya memutuskan untuk melamar lagi ke Novisiat," tuturnya.
Novisiat menjadi tahap yang penuh tantangan dan pembelajaran. Bruder Fero menjalani latihan rohani, mati raga, serta berbagai pengalaman menarik. Salah satu pengalaman yang paling berkesan baginya adalah peziarahan dari Posarang sejauh 227 kilometer, yang berlangsung selama satu minggu. "Program baru ini merupakan retret perjalanan, dan itu menjadi tahap paling menantang sekaligus menyenangkan karena kami melakukannya bersama sembilan orang lainnya," ceritanya penuh antusias.
Pada tahap ini, Bruder Fero semakin mantap dengan keputusannya untuk menjadi Bruder. Ia pun memberanikan diri mengucapkan kaul pertama. Setelah itu, ia mendapatkan perutusan untuk melanjutkan pendidikan agama Katolik di Sanata Dharma, Yogyakarta.
"Ada gerakan yang meneguhkan hati saya, yang membuat saya semakin yakin untuk meneruskan karya-karya OMI," ujar Bruder Fero dengan penuh keyakinan. Hal inilah yang mengokohkan langkahnya dalam menapaki panggilan sebagai Bruder, demi melayani Tuhan dan sesama melalui karya-karya Oblat Maria Imakulata.
Perjalanan Panggilan Suster Nobertin, ADM
Suster Nobertin, ADM, memiliki pengalaman panggilan yang unik dan penuh perjuangan. Kini ia berada di tahun keenam sebagai yunior. "Kenapa saya mau jadi suster ADM? Awalnya saya tidak punya bayangan sama sekali," ungkapnya. Ia menceritakan bahwa dirinya sempat mengenal beberapa tarekat lain seperti Suster sCMJ dan Pasionis, namun pada akhirnya justru bergabung dengan ADM.
Pengalaman ini ternyata selaras dengan orang tuanya yang sudah lebih dulu mengenal ADM. "Ketertarikan saya menjadi suster sebenarnya bermula saat saya duduk di kelas 4 SD," kenangnya. Ia terinspirasi oleh jubah putih para suster yang terlihat anggun dan penuh kebaikan. "Ah, saya ingin jadi suster," pikirnya kala itu.
Namun, semangat itu mulai memudar saat memasuki masa SMP dan SMA. Hingga pada tahun 2014, seorang suster berkenalan dengan orang tua Suster Nobertin. Peristiwa itu menjadi awal cerita yang menarik sekaligus penuh tantangan. "Waktu itu saya tidak ada di tempat. Suster tersebut mencari saya, tapi tidak bertemu," jelasnya. Hal ini bahkan sempat membuat salah satu kerabatnya, suami adik ibunya, marah. "Kenapa anak itu mempermainkan suster?"
Suster Nobertin kemudian ditelepon dan dijemput oleh pamannya. "Saya seperti disidang," ungkapnya. Sebagai remaja yang baru lulus sekolah, ia sempat bingung. Namun, di lubuk hatinya, ia merasa senang akhirnya bisa bertemu dengan seorang suster. "Tadinya saya ingin sekali ke suster Pasionis, tetapi orang tua saya selalu bilang, ‘Saya tidak mengizinkan kamu menjadi suster.’"
Ia tetap gigih dan mencari tahu syarat untuk bergabung. "Saya menanyakan syarat-syarat kepada suster Pasionis. Ternyata, salah satu syaratnya adalah rekomendasi dari orang tua, paroki, dan ijazah. Tapi orang tua saya tetap tidak mengizinkan," ungkapnya. Dalam tekad yang besar, ia akhirnya membuat surat rekomendasi sendiri namun pada akhirnya memutuskan untuk nekat mendaftar ke suster ADM, bukannya Pasionis.
Suster Nobertin mengaku, setelah mengucapkan kaul pada tahun 2018, ia tidak berani pulang ke rumah orang tua. "Saya ingin pulang, tapi masih takut," katanya. Hanya kakaknya yang saat itu mendukung keputusannya. "Ketika saya pulang, ternyata bapak lari ke belakang dan menangis diam-diam, dan mama yang sedang menyapu di depan rumah menyusul papa ke belakang," ceritanya penuh haru.
Hingga akhirnya, ia merasa Tuhan telah memberikan jawaban atas panggilannya. "Berawal dari jubah, saya sadar panggilan ini adalah pilihan yang tepat. Perjalanan ini membuat saya memperbarui diri dan membawa orang tua dalam doa. Awalnya hati mereka keras, tetapi doa membawa kelembutan dalam hati mereka," ujarnya.
Ketika ditanya apakah sulit menjadi suster, Suster Nobertin menjawab dengan yakin, "Tidak. Kalau jadi suster, hidup itu tertata. Kalau dinikmati dengan baik, semuanya terasa mudah. Bawa dalam doa, pasti akan mendapatkan kekuatan."
Suster Nobertin juga membagikan pengalamannya tentang cinta sebelum menjadi suster. "Kalau tidak pernah pacaran, kita tidak akan mengenal cinta," ujarnya. Menurutnya, memahami cinta manusia menjadi jalan untuk mengenal cinta Tuhan.
"Saat akan masuk ADM, saya masih pacaran. Dari awal sekolah hingga selesai. Ketika memutuskan menjadi suster, saya jujur padanya," kenangnya. Respons sang kekasih pun penuh pengertian. Dia bertanya, “Lah, kok jadi suster?” Lalu saya balik bertanya, “Apakah kamu mencintai saya?” Ketika dia menjawab iya, saya bilang, “Kalau begitu lepaskan saya."
Keputusan itu akhirnya diterima oleh sang kekasih. "Karena dia benar-benar mencintai saya, dia rela melepas saya. Ketika saya diantar ke dermaga bersama teman-teman, mereka rasanya kasihan juga, tapi saya tetap teguh dengan keputusan saya," ungkapnya.
Kini, Suster Nobertin tengah bersiap untuk kaul kekal, dengan keyakinan penuh bahwa panggilan ini adalah jalan hidup yang telah Tuhan siapkan untuknya.
Kesaksian Orang Tua Romo Wilson, Pr
Ibu Ie Cu dan Bapak Hwie Lie, orang tua dari Romo Wilson, Pr, berbagi cerita tentang perjalanan mereka merelakan anaknya menjadi seorang imam. Sebagai keluarga keturunan Tionghoa, mereka menyadari bahwa tradisi biasanya menempatkan anak pertama sebagai penerus keluarga. Namun, mereka dengan tulus mendukung panggilan sang anak.
Bapak Hwie Lie mengungkapkan, "Saya punya lima saudara, dan saya adalah anak keempat. Dua cici saya perempuan, kakak laki-laki saya tidak menikah, dan akhirnya anak saya yang menjadi Romo. Pada akhirnya, adik saya memiliki anak laki-laki, jadi penerus keluarga tetap ada."
Sementara itu, Ibu Ie Cu menambahkan dengan penuh keyakinan, "Sebenarnya, bukan hanya anak yang dipanggil, tetapi orang tua juga dipanggil." Ia menceritakan bahwa sebelum menikah, ia sudah memiliki firasat tentang panggilan ini. "Saya suka misa sore di Katedral, dan suatu hari muncul di hati saya, ‘Nanti kamu punya anak, jadi Romo,’ padahal waktu itu saya belum pacaran," kenangnya.
Ketika akhirnya ia menikah dengan Bapak Hwie Lie, firasat itu tetap ia bawa dalam doa. "Saya bilang ke Hwie Lie, kalau kita punya anak laki-laki, bolehkah dia jadi Romo? Kami bahkan berziarah ke Sendangsono dan berdoa, ‘Kalau memang anak laki-laki, bolehkah dia diserahkan sebagai imam.’ Saya tidak pernah memaksa, tetapi saya selalu mendoakan," ungkapnya.
Doa tersebut ternyata dijawab oleh Tuhan melalui keputusan anak mereka sendiri. "Setiap kali Ekaristi dan piala diangkat, saya selalu berdoa, ‘Kalau Tuhan mau pakai, panggil.’ Saya tidak pernah berkata apa-apa kepada anak saya tentang masuk seminari. Tapi suatu hari, dia sendiri bilang, ‘Mama, saya mau masuk seminari.’"
Keputusan itu diterima dengan penuh dukungan oleh kedua orang tuanya, tetapi mereka juga menekankan pentingnya usaha dari pihak sang anak. "Kalau mau masuk seminari, silakan urus sendiri formulirnya, minta dari kepala sekolah," ujar Ibu Ie Cu. Bahkan, ia berpesan agar anaknya memperhatikan nilai akademiknya. "Wacana Bhakti tidak bisa masuk kalau nilai rata-rata kurang dari 7. Semua harus dilakukan dengan usaha sendiri," tambahnya.
Perjalanan Romo Wilson menuju panggilannya pun penuh kemandirian. "Kami paroki Katedral, tetapi karena pekerjaan, kami pindah ke Cengkareng. Dia biasa tugas misa pagi, melakukan kegiatan gereja secara mandiri. Bahkan, untuk pergi untuk mencoba ke Mertoyudan, dia juga melakukannya sendiri," kenang Ibu Ie Cu dengan bangga.
Ia menambahkan, "Dia diterima di Mertoyudan bukan karena prestasi akademik yang luar biasa, tetapi karena kemandiriannya." Meski begitu, Ibu Ie Cu mengakui bahwa ia sempat merasa kurang percaya diri tentang apakah anaknya benar-benar akan menjadi seorang imam. "Sampai saat Tahbisan, saya masih tidak percaya kalau dia akan jadi Romo. Tapi kalau Tuhan mau pakai, ya dia jadi. Kalau memang bukan panggilannya, dia tidak akan jadi," katanya penuh iman.
Sebagai pesan kepada para orang tua yang menghadapi situasi serupa, Ibu Ie Cu menekankan pentingnya melepaskan kekhawatiran. "Banyak orang merelakan anaknya menjadi Romo, tetapi terlalu khawatir. Sebaiknya biarkan saja. Kegiatan gereja jangan ditunggui terus-menerus, jangan terlalu takut. Carilah kehendak Tuhan. Panggilan bukanlah ambisi, tetapi benar-benar menyerahkan hidup kepada Tuhan."
Kesaksian Bapak Feri, Ayah Frater Jason, Pr
Bapak Feri, ayah dari Frater Jason, Pr, berbagi kisah tentang perjalanan panggilan putranya menjadi seorang imam. Diakui, perjalanan ini bukan tanpa pergolakan batin, terutama bagi dirinya sebagai orang tua. "Awalnya saya kaget, karena sudah berjalan tujuh tahun baru pulang dan bertanya tentang keputusannya," ujarnya mengingat momen ketika putranya mulai menunjukkan niat sungguh untuk menjadi imam.
Sebagai anak bungsu dalam keluarga yang Katolik, keputusan Frater Jason sempat memunculkan pertanyaan dalam diri Bapak Feri. "Ada pertentangan ketika berada di persimpangan antara jadi atau tidak," akunya. Ia juga mengenang bagaimana keluarganya mulai memeluk iman Katolik, dimulai dari almarhum kakaknya yang keempat, yang menjadi Katolik karena calon istrinya juga beragama Katolik.
Bapak Feri juga bercerita bahwa perjalanan hidupnya pun penuh dengan pengalaman iman. Ia menikah dengan seorang istri yang kakaknya adalah seorang Romo di Papua. Namun, saat Frater Jason masuk seminari menengah, muncul keraguan. "Saya sempat merasa sedih, terutama saat berada di kapel Kodam, Trinitas, Kalideres. Saya melihat ada lima anak di sana, dan dari parasnya, saya pikir anak-anak itu lebih mungkin menjadi imam daripada anak saya. Tapi akhirnya mereka keluar juga. Saya bertanya-tanya, nanti anak saya tahun berapa ya keluar?"
Namun, seiring waktu, ia memilih untuk menyerahkan segalanya kepada Tuhan. "Saya sadar, ada mamanya (almarhum) yang selalu mendoakan. Itu menjadi kekuatan bagi saya untuk mendukung Jason dalam perjalanannya," ungkapnya penuh haru.
Frater Jason, Pr, menambahkan ceritanya tentang proses menemukan panggilan yang sesungguhnya. "Dalam perjalanan ini, pertanyaan-pertanyaan biasanya muncul di tengah proses," jelasnya. Ia lebih sering berbagi kepada almarhum ibunya, yang banyak memberinya pemahaman tentang apa artinya menjadi seorang imam.
"Mama mengajarkan bahwa imam bukanlah seseorang yang harus selalu dikenal atau terlihat hebat oleh orang lain," ungkapnya. Ia juga terinspirasi oleh pengalamannya melihat teman-teman di seminari menengah. "Ada teman-teman yang terlihat bangga karena didukung orang tua, tapi rasanya berlebihan. Sementara itu, saya merasa cukup menjalani proses ini tanpa terlalu banyak tekanan."
Momen yang paling berkesan bagi Frater Jason adalah ketika ia berada di persimpangan dan bertanya kepada orang tuanya, "Apakah papa dan mama keberatan atau tidak?" Menurutnya, momen tersebut menjadi titik di mana panggilannya semakin dimantapkan. "Di saat itu, saya merasa panggilan ini semakin dimurnikan, dan akhirnya saya semakin yakin untuk melanjutkan perjalanan ini," tuturnya dengan penuh keyakinan.
Kisah Bapak Feri dan Frater Jason menjadi cerminan bagaimana dukungan orang tua dan doa yang tulus dapat menjadi landasan kokoh bagi perjalanan panggilan seseorang. Bapak Feri menyimpulkan, "Pada akhirnya, saya serahkan semuanya pada Tuhan. Kalau memang panggilannya dari Tuhan, biarlah kehendak-Nya yang jadi."
Kesaksian Ibu Caroline: Mendukung Panggilan Anak Sejak Dini
Ibu Caroline, ibu dari calon imam Reinhart yang masih belia, menceritakan perjalanan panggilan anaknya yang unik dan penuh makna. Reinhart, yang merupakan anak kedua dalam keluarganya, sudah menunjukkan keinginan menjadi imam sejak usia sangat dini. "Dari TK, dia sudah mengatakan ingin jadi Romo," ungkap Ibu Caroline.
Ia mengingat sebuah momen di bulan Oktober, ketika anak-anak diminta menyebutkan cita-cita mereka. "Setiap bulan Oktober, selalu ada kegiatan di sekolah di mana anak-anak ditanya mau jadi apa. Dia selalu menjawab ingin jadi Romo. Saat saya menjemputnya, Miss-nya bertanya, ‘Mau jadi apa?’ dan ketika Reinhart menjawab, Miss itu bingung, ‘Romo itu apa?’ karena dia berasal dari komunitas Buddhis," kenangnya sambil tersenyum.
Bagi Ibu Caroline, keinginan anaknya ini terasa luar biasa karena berbeda dengan kakaknya yang sering mengubah cita-citanya. "Kakaknya berubah-ubah, tapi Reinhart ini konsisten," ujarnya dengan bangga.
Ibu Caroline juga menceritakan bagaimana peran doa dan aktivitas gerejawi membantu membentuk karakter Reinhart. "Semenjak saya berhenti kerja, saya mulai aktif di kor dan lingkungan, dan selalu mengajak anak-anak. Itu juga pesan orang tua saya sebelum meninggal. Mama dulu selalu bilang, ‘Kamu harus ikut doa lingkungan,’ dan itu yang terekam dalam ingatan saya, lalu saya terapkan ke anak-anak."
Ketika menghadapi tantangan, Ibu Caroline tidak ragu untuk meminta nasihat dari pembimbing rohaninya. "Kalau ada problem, saya selalu cerita ke Romo pembimbing saya, yang dulu adalah seorang Frater Xaverian yang mengajar di sekolah negeri saya. Beliau selalu mengingatkan, ‘Olin, kamu ingat janji pernikahanmu. Kamu harus mendidik anak-anakmu sebagai Katolik. Dan nanti, saat SD, kamu harus menyekolahkan mereka di sekolah Katolik,’" katanya.
Reinhart sendiri menunjukkan minat yang besar terhadap sosok imam. "Setiap kali melihat Romo, dia selalu ingin duduk di sebelah Romo Bono," ungkap Ibu Caroline.
Meski begitu, Ibu Caroline dan suaminya menyadari bahwa keputusan akhir ada di tangan anak mereka. "Yang bisa saya dan suami lakukan adalah mendoakan. Mau jadi Romo atau tidak, doa itu adalah penguat," tegasnya. Ia juga mengapresiasi pendidikan yang diberikan oleh para biarawan dan biarawati, yang menurutnya telah membantu Reinhart menjadi mandiri.
Melalui doa dan dukungan penuh dari keluarga, Ibu Caroline berharap panggilan Reinhart dapat terus berkembang sesuai kehendak Tuhan.
Kesaksian Pak Frans: Minat Anak Menjadi Suster
Pak Frans, ayah dari Yuliana, calon Suster ADM, berbagi cerita mengenai perjalanan panggilan putrinya yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Yuliana adalah anak ketiga dan bungsu di keluarganya. Ia mengungkapkan bahwa di daerah tempat tinggalnya, sangat jarang ada imam atau suster yang masuk ke kampung.
Pak Frans mengenang sebuah pengalaman saat ia masih muda. "Ketika saya masih bujang, ada suster yang datang ke kampung. Wah, suster itu cantik sekali, anggun," ujarnya, mengingat kekagumannya terhadap kehadiran para suster. Namun, ketika Yuliana lahir dan tumbuh dewasa, ia tidak pernah menyangka bahwa putrinya akan tertarik mengikuti jalan hidup seperti itu. "Saya kira dia tidak akan tertarik menjadi suster," katanya.
Sebuah titik balik terjadi saat ada kunjungan keluarga ke kampung mereka. Dalam kunjungan itu, seorang Diakon bernama Pras bertanya langsung kepada Yuliana. "Yuliana, mau tidak menjadi suster?" tanyanya. Dengan antusias, Yuliana menjawab, "Mauuu, Diakon."
Namun, tidak semua anggota keluarga mendukung keputusan tersebut. "Mamanya tidak setuju," ungkap Pak Frans. Meski begitu, ia memilih untuk menyerahkan semuanya kepada kehendak Tuhan. "Ya sudah, kita serahkan pada Tuhan," tuturnya dengan penuh keyakinan.
Jumat, 27 Desember 2024
Hari ini tidak ada kegiatan yang berarti selain misa sore. Setelah misa, aku dan semua Frater/Bruder jalan-jalan ke Bunda Maria, Our Lady of Akita di seperti miniatur Jepang dan taman Doa didekat taman Belanda.
Sabtu, 28 Desember 2024
Hari ini, kami diajak jalan-jalan bersama ibu dan anaknya, Bu Dewi dan Ricca. Kami makan ramen dan bercerita banyak hal. Kebersamaan antara Diakon Pras dan ibu anak ini menginspirasiku untuk tetap luwes, santai, dan ramah pada setiap orang.
Malam harinya kami diundang untuk mengikuti Konser Malam Natal di Aula Kasih. Aku bersama para Frater, Diakon dan Romo Bono mempersembahkan dua lagu: "Mukjizat itu Nyata" dan "Akhirnya, Kumenemukanmu" by Naff. Romo Bono dan Diakon Pras memainkan gitar, sementara aku, Fr. Jaka dan Fr. Fibo bernyanyi. Malam itu, suaraku sudah parau dan meskipun demikian, umat sangat senang dengan persembahan penampilan ini. Selain itu, ada penampilan kor anak-anak yang sangat bagus, dan juga ada teater musikal yang dibawakan anak-anak. Konser natal malam ini sungguh berkesan dan aku benar-benar bangga karena bisa turut ambil bagian dalam kegiatan ini bersama mereka.
Minggu, 29 Desember 2024
Hari ini aku diberikan tugas untuk berkhotbah di Stasi St. Vincentius Palloti Dadap. Stasi ini tidak dapat dibayangkan seperti Stasi di Kalimantan. Stasi milik Gereja Sta. Maria Immakulata ini benar-benar seperti Gereja Paroki di Ketapang. Mampu memuat banyak umat, punya aula pertemuan, dan Pastoran yang sederhana namun nyaman untuk ditinggali pastor. Misa dipimpin oleh Rm. Antonius Rajabana, O.M.I. Turut ikut serta juga Fr. Fibo, O.M.I. ke stasi ini. Dan benar, umat yang hadir memenuhi isi Gereja.
Setelah misa, kami bergegas untuk ikut bersama rombongan keluarga Ibu Revy, kenalan Fr. Jaka dan Fr. Hans asal Paroki St. Abrosius, daerah Serpong. Kami berjalan ke daerah PIK 2 (Pandai Indah Kapuk 2) dan makan bersama-sama. Keseruan hari ini bersama keluarga kecil ini sungguh membawa sukacita.
Malam harinya kami menghabiskan waktu bersama OMK St. Thomas Aquinas SMI.
Senin, 30 Desember 2024
Aku mengalami batuk pilek sejak beberapa hari lalu dan hari ini benar-benar tidak tertahankan. Aku minum obat dan kemudian tidur. Sementara kegiatan hari ini aku skip, karena tubuh sedang tidak mendukung energi yang meluap-luap. Biar kutenangkan diri sejenak, mana tahu besok dapat melaksanakan kegiatan dengan baik dalam keadaan sehat.
Selasa, 31 Desember 2024
Misa tutup tahun dilaksanakan pada pukul 19.00. Aku diminta kembali untuk memberikan kotbah tutup tahun. Teks yang ku persiapkan berbunyi berikut:
"Romo/Frater/Bapak/Ibu/Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,
Sebelum membuka refleksi di penghujung tahun ini, terlebih dahulu saya memperkenalkan diri dengan menggunakan pantun:
Sakit kepala obatnya Bodrex
Kalau tak sakit jangan pergi berobat
Perkenalkan saya Frater Alex
Asalnya Ketapang dari Kalimantan Barat
Beli tas baru pakai di lengan
Untuk di bawa ke Balikpapan
Tahun lama menjadi kenangan
Tahun baru menjadi harapan
Saudara-saudari terkasih,
Pembukaan Injil Yohanes 1:1-18 merupakan pernyataan agung tentang identitas Yesus sebagai Firman yang telah ada sejak awal mula. Firman yang menjadi manusia menunjukkan inisiatif Allah untuk menyatakan kasih-Nya kepada dunia secara nyata. Kasih Allah ini ternyata bukan kaleng-kaleng bapak ibu saudara-saudari sekalian, seperti yang kita tahu bahwa janji Allah ini sudah dinubuatkan sejak lama dari perantaraan para Nabi bahwa Allah akan datang untuk menyelamatkan umat-Nya. Tidak seperti tokoh-tokoh superhero seperti Marvell atau DC yang menampilkan kekuatan super, dasyat, dan menyelamatkan orang dari kekuatan-kekuatan jahat, Tuhan Yesus tampil sebagai makhluk lemah, sama seperti kita manusia. Yang Maha Besar turun ke dunia sebagai manusia. Janji yang Tuhan buat tidak seperti janji-janji pas lagi kampanye, janji-janji ketemu, menjanjikan sesuatu yang masih belum terbukti kebenarannya dan bahkan janji-janji manusia, seringkali diingkari.
Ada orang yang meminjam uang temannya,”Eh pinjam dulu seratus, besok ntar dibalikin”. Sekali ditagih, yang dipinjemin tiba-tiba amnesia. Ini janji manusia.
Janji Tuhan itu konkret, Tuhan menepati janjinya dengan mengutus Firman it uke dunia untuk menjadi manusia.
“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah” (Yoh. 1:1). Dari ayat ini, kita semua diajak untuk menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, yang menciptakan, memelihara, dan memberikan kehidupan.
Segala sesuatu yang kita peroleh bapak ibu saudara-saudari terkasih, tidak lepas dari campur tangan Tuhan. Bahkan udara yang bisa kita hirup setiap hari (seperti yang kita tahu, udara memang gratis bapak-ibu, tetapi sekali kita sakit, oksigen itu jadi mahal, sangat-sangat berharga), lalu kehidupan, senyuman yang kita berikan dan kita terima, rasa damai, itu adalah salah satu dari sekian banyak pemberian Tuhan yang acapkali tidak kita sadari.
Firman yang telah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus adalah wujud nyata kasih dan terang Allah yang melawan kuasa kegelapan. Bahkan dalam kejatuhan dan kegagalan manusia, Allah tidak membiarkan kita berjalan dalam kegelapan. Firman itu datang untuk menebus, memulihkan, dan memberikan kita kesempatan baru untuk hidup di dalam terang-Nya.
Ini sering terjadi, Ketika kita mengalami kesenangan, happy, perasaan enak, ngga ada masalah, semua baik-baik saja, acapkali kita melupakan Tuhan. Tiba-tiba ketika mengalami kesusahan, muncullah nama Tuhan, Tuhan kok begini, Tuhan kok begitu, Tuhan tidak adil, Tuhan pilih-pilih kasih; kejadian-kejadian ini membuat kita teringat pada Tuhan, seolah Tuhan menjadi obyek penderita yang menyebabkan segala macam masalah-masalah dalam hidup kita. Justru sebaliknya bapak-ibu saudara-saudari, jika kita mau merenungkan lebih dalam, betapa banyak kebaikan yang kita peroleh, tetapi tidak pernah kita menghadirkan Tuhan atas segala kebaikan dan keberhasilan itu.
Tahun 2025, Tahun yang akan kita sambut di penghujung bulan Desember ini adalah sebuah kesempatan untuk melanjutkan perjalanan iman dengan menjadikan Sang Firman sebagai pusat hidup kita. Dengan terang-Nya, kita dipanggil untuk membangun hubungan yang lebih erat dengan Tuhan dan sesama. Harapan di tahun 2025 adalah bahwa kita dapat semakin menyerap Sabda Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga Sabda itu tidak hanya menjadi bacaan, tetapi menjadi darah dan daging yang hidup dalam tindakan kita. Kita diajak untuk menjadi saksi terang, menghadirkan kebaikan, keadilan, dan kasih di tengah dunia yang sering kali dipenuhi kekelaman.
Selain itu, kita juga diminta untuk berkomitmen dalam memperbaiki hubungan dengan sesama melalui pengampunan, kerendahan hati, dan kerja sama. Kalau ada konflik dengan sesama teman, dalam keluarga, antara anak dan orang tua, rekan kerja, rumah tangga atau siapa saja yang menyakiti kita, datanglah dengan damai, ucapkanlah permohonan maaf dengan rendah hati, yang dimintakan maaf, ampunilah dengan penuh kasih. Tidak ada masalah yang tidak dapat dibicarakan bersama, semua dapat ditemukan jalan keluarnya jika kita sama-sama mau membuka hati, menghadirkan Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai mediator rekonsiliasi sebagaimana kita mempersiapkan diri menyambut Tuhan dengan pertobatan.
Dalam kehidupan keluarga, komunitas, dan masyarakat, kita berharap untuk dapat menciptakan harmoni yang mencerminkan kasih Allah. Secara pribadi, kita dapat meningkatkan kebiasaan doa agar dapat semakin peka terhadap suara Tuhan yang berbicara melalui segala hal di sekeliling kita, menggali inspirasi dari Kitab Suci, dan menerapkan kebaikan-kebaikan Tuhan dalam pewartaan hidup sehari-hari. Dengan kata lain, setiap langkah yang kita ambil di tahun baru ini diiringi oleh karunia demi karunia yang diberikan oleh Allah, sehingga kita dapat bertumbuh dalam iman, pengharapan, dan kasih.
Dengan meninggalkan kegelapan masa lalu dan berjalan bersama terang Kristus, mari kita memulai tahun 2025 dengan semangat baru, penuh keyakinan bahwa Allah yang memulai segala sesuatu akan setia menyertai kita hingga akhir perjalanan. Selamat Tahun Baru 2025, mari melangkah dengan Firman yang menuntun hidup kita.
Renungan ini saya tutup dengan pantun:
Angin malam berhembus pelan,
Membawa damai ke hati yang tenang.
Selamat tinggal tahun yang silam,
Mari sambut masa depan yang gemilang.
Mentari pagi memancar terang,
Awal cerita baru penuh semangat.
Tahun yang lama tinggalkan kenangan,
Tahun yang baru ciptakan berkat."
Demikian kotbah yang kusampaikan di penghujung tahun ini.
Setelah kotbah itu, aku berjumpa dengan Bu Imelda yang sudah 22 tahun tinggal di Kalideres. Beliau orang Simpang Dua dan menikah dengan orang Flores serta memiliki dua orang puteri. Selain itu ada juga pak Darius Wie yang sangat ceria yang mengabadikan momen kami.
Setelah misa, kami persiapan tutup tahun dengan kegiatan bersama tim KPU (Pengantar Umat). Ada banyak menu yang dipersiapkan, paling spesial adalah ikan patin bakar yang dipanggang langsung oleh Romo Bono, ada juga menu lainnya seperti jamur panggang, udang bakar, udang rebus, babi bakar, beberapa minuman seperti wine juga disuguhkan di atas meja. Ada yang memanggang, ada yang makan, ada yang bernyanyi di ruang tamu, semuanya bersukacita menyambut tahun baru. Di tempat lain mungkin mengalami situasi serupa, dan hal ini patut dirayakan terutama disposisi batin yang dipenuhi rasa syukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar